(4)
وَ الَّذينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَناتِ ثُمَّ لَمْ
يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَداءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمانينَ جَلْدَةً وَ لا
تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهادَةً أَبَداً وَ أُولٰئِكَ هُمُ الْفاسِقُونَ
Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan terhormat (berbuat
zina), kemudian itu tidak mengemukakan empat saksi, maka hendaklah mereka
didera delapan puluh kali deraan, dan janganlah diterima kesaksian dari
mereka selama lamanya. Itulah orang-orang fasik.
(5)
إِلاَّ الَّذينَ تابُوا مِنْ بَعْدِ ذلِكَ وَ
أَصْلَحُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحيم
Kecuali orang yang taubat sesudah itu dan memperbaiki.
Sesungguhnya Tuhan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Hukuman Menuduh-nuduh
Perempuan baik-baik dan terhormat yang disebut dalam bahasa al-Quran
Muhshanat yaitu yang terbenteng, aman damai dalam rumahtangganya, kasih
setia bersuami-isteri, pengaruh yang santun terhadap anak-anaknya, dihormati
oleh seluruh pelayan dalam rumah amat baik hubungannya dengan tetangganya.
Fikiran mereka hanyalah melaksanakan tugas sebagai isteri setia atau ibu
yang kasih.
Menyediakan makanan suami dan menyelenggarakan pendidikan
anak-anak. Seluruh hati, jiwa dan raganya telah diserahkannya kepada
suaminya. Tidak ada ingatan lain.
Dia jujur, sebab itu disangkanya orang lain jujur seperti dia pula. Dia
qana'ah mencukupkan apa yang ada. Jika dia berhias dan bersolek, kasih
suaminya lah yang diharapkannya, bukan supaya menarik minat laki-laki lain.
Tidak banyak dia bertandang ke rumah perempuan lain untuk mengumpat dan
memuji, sanjung cela keadaan orang lain. Dapat saja dia menegakkan
ketenteraman rumahtangganya, dia sudah merasa syukur. Sebab dia merasai
sebagai isteri, atau sebagai ibu, bahwa dia mempunyai tanggung jawab besar
dan berat, yang tidak kurang besar dan beratnya daripada tanggung jawab
suaminya, yang pagi-pagi keluar dari rumah, mencari rezeki menurut wadah
hidup masing-masing. Dan sore membawa perolehan berapa dapatnya.
Si suami
pun merasalah kebahagiaan besar karena rumahtangga yang demikian. Dia tidak
bermata ke belakang. Dia tidak merasa cemburu dan ragu terhadap isterinya,
bahkan isterinyalah yang akan pemah ragu kepadanya karena matanya lepas
buat memandang perempuan lain. Dia sendiri perempuan terhormat itu, tidak
ada yang dipandangnya, melainkan suaminya serta anak-anaknya. Itulah
kebahagiaannya.
Itulah yang dinamai MUHSHANAT. Perempuan yang
terbenteng. Kadang mereka dinamai pula GHAFILAT.
Perempuan yang lengah. Segala kelengahan adalah tercela, tetapi bagi
perempuan demikian menjadi pujian.
Bila dia berjalan di jalan raya, fikirannya hanya tertuju kepada urusan yang
akan diurusnya, tidak menoleh ke kiri-kanan, tidak bemiat hatinya hendak
lenggang-lenggok supaya mata orang tertarik. Tidak diperdulikannya, bahwa
dia tidak tahu sama sekali bahwa mata pemuda-pemuda jahat sedang menukik
kepada wajahnya, menilai rupanya yang cantik, kadang-kadang ditegur orang
dia dengan teguran yang salah, namun dijawabnya dengan jawaban jujur jua.
Dia lengah, sebab dia menyangka hati orang baik semua, sebaik hatinya yang
belum rusak. Hidupnya hanya untuk suaminya, untuk anaknya.
Inilah yang dikatakan Muhshanat dan Ghafilat.
Inilah perempuan-perempuan yang lengah, sebab dia percaya bahwa dalam
dirinya tidak ada "penyakit" apa-apa, dia percaya bahwa ticlak ada orang
terhormat yang akan mengganggu itu.
Adalah suatu keajaiban dalam jiwa manusia! Apabila seorang perempuan
Muhshanat dan Ghafilat itu, sekali telah jatuh bentengnya, karena tak dapat
menahan hawa nafsunya, atau rayuan iblis yang mengganggu kesuciannya; sekali
saja dia terjatuh, wajahnya pun berubah sekali, lenggangnya berubah,
sikapnya berubah, gunting pakaiannya berubah. Kalau tadinya dia lengah,
tidak ada mengingat hal yang lain kecuali urusannya, apabila dia telah jatuh,
maka segala sikap langkah dan tingkah lakunya itu tidak "lengah" lagi,
melainkan semuanya dengan "perhitungan", yaitu "laki" kepadanya. Dia telah
rusak ! Sekali lihat, orang yang arif sudah dapat mengetahui bahwa perempuan
ini telah rusak jiwanya. Sekarang bagaimana dengan perempuan yang terbenteng
dan masih terpelihara kesuciannya itu? .
Perempuan demikianlah yang disebut `imaadul bilad, tianq-tiang negara.
Perempuan demikian yang disebut ibu-ibu yang di bawah telapak kakinya
terletak "syurga", sebagaimana tersebut di dalam Hadits. Pada penghargaan
atas isteri yang setia dan ibu yang pengasih itulah terletak inti
kebahagiaan dan ketenteraman negara. Merekalah guru pertama sebelum manusia
masuk ke dalam gelanggang hidup yang luas. Dan apabila seorang laki-laki
pulang dari medan perjuangan hidup, ke dalam penjagaan perempuan demikianlah
mereka akan mencari ketenteraman jiwa. Dan dialah akan didapat apa yang
dinamai "sakinah", hati menjadi tetap dan hilang ragu bagi seorang laki-laki.
Dia adalah sendi bangunan negara. Biasanya sendi tiadalah nampak. Tetapi
kalau bangunan telah condong tanda sendinyalah yang telah rusak. Engkau
sendiri hai pemuda. Berapa engkau rasai kasih ibu?
Tiba-tiba keadaan menjadi goncang. Tiba-tiba datang saja tuduhan bahwa orang
perempuan baik-baik seperti demikian berlangkah serong. Seorang perempuan
rusak namanya karena tuduhan. Padahal nama yang tidak pemah rusak karena
perzinaan, adalah kekayaan yang tiada dapat dinilai. Sekarang kekayaan
itulah yang dihancurkan orang.
Cerita-cerita demikian lekas benar tersiarnya dari mulut ke mulut. Orang orang
yang hasad dengki belum merasa puas kalau belum memindahkan "rahasia" itu
dari mulut ke mulut, sampai hancur nama itu karena dikunyah, disepah dan
dimamah oleh mulut-mulut yang tidak bertanggungjawab.
Bagaimana perasaan anak-anak yang hidup tenteram penuh kepercayaan kepada
ibunya, mendengar nama ibunya menjadi buah mulut orang ? Bagaimana perasaan
seorang suami yang selama ini percaya kepada kesucian isterinya mendengar
nama isterinya sudah menjadi " bola sepak " ?
Masyarakat Islam tidak boleh membiarkan hal itu berlarut-larut.
Seorang perempuan adalah pengharapan satu-satunya buat membina ummat.
Tuduhan yang hanya dapat disahkan ialah yang cukup bukti alasan. Harus ada 4
orang laki-laki yang menyaksikan bahwa perempuan itu memang berzina dengan
seorang laki-laki. Mereka berempat melihat sendiri dengan mata kepalanya
perempuan itu berzina. Mereka harus berani bersumpah bahwa mereka melihat
benar-benar.
Sampai ada ahli-ahli Fiqh memisalkan: "Dilihatnya, laksana melihat pisau
dimasukkan ke dalam sarungnya...!"
Sekarang cobalah berfikir, adakah agaknya empat orang laki-laki yang
dipercaya, yang bisa didengar pengakuannya, akan tampil ke muka hakim
mengadukan bahwa mereka melihat orang berzina? Dan berani disumpah?
Orang-orang yang bersopan-santun tidaklah mungkin mengerjakan pekerjaan ini.
Kalau misalnya kebetulan ada 4 orang laki-laki menyaksikan perbuatan
demikian, mereka akan bermusyawarah lebih dahulu yang bermaksud menutup
rapat khabar itu. Mereka akan merasa malu kalau 4 orang laki-laki orang
baik-baik dihadapkan ke muka hakim untuk didengar keterangan mereka bahwa
mereka memang benar menyaksikan orang berzina. Dan orang lain yang akan
pergi menonton ke tempat sidang itu pun sudah terang orang yang tidak begitu
tinggi budinya.
Mungkin hal ini hanya akan kejadian kalau sudah terlihat lebih dahulu
tanda-tanda pada perangai atau gerak-gerik perempuan itu sehingga suamiriya
cemburu, lalu dicarinya 4 orang buat turut menyaksikan.
Dan kalau keterangan
ini cukup bukti kuat, maka dilakukanlah hukum rajam atau dera kepada
perempuan itu bersama laki-laki yang menzinainya dan dengan itu jatuh
hancurlah nama Muhshanat dan Ghafilatnya itu berganti dengan Zaniat. Sudah
teranglah bahwa satu rumah tangga telah hancur-lebur. Dan sudah terang pula
bahwa suami yang mengadukan ke muka hakim itu lebih keras rasa dendamnya
daripada pertimbangannya terutama kalau-dia telah beranak-anak. Padahal
kalau dia seorang lelaki baik-baik, kalau memang dia sudah merasa angin
bahwa isterinya telah beralih, perangainya telah berubah dan sikapnya telah
lain, tidaklah ada pedunya dia mencari 4 saksi buat menyaksikan isterinya
berzina. Mudah saja sikap yang akan diambilnya dan tidak banyak resikonya,
yaitu thalaq.
Tersebut hikayat seorang laki-laki mentalak isterinya di zaman Rasulullah
s.a.w. Lalu orang bertanya kepada laki-laki itu: "Sebaik itu isterimu,
mengapa engkau talak?" Dia menjawab: "Dengan segala hormat saya meminta
janganlah tuan mencampuri urusan rumah tangga saya !"
Kemudian bekas isterinya itu pun bersuami laki-laki lain. Lalu datang pula
seorang menanyakan kepadanya: "Sayang sekali tuan ceraikan dia. Sekarang dia
sudah bersuami lain. Mengapa diceraikan?"
Di samping orang-orang yang menuntut hidup yang bersopan-santun, di segala
zaman dan waktu, akan ada saja orang yang gatal mulut. Maka berita berita
tuduhan-tuduhan buruk kepada orang baik-baik itu tetap akan ada, dari mulut
ke mulut, bisik beranting dalam kalangan orang yang rendah budinya. Hal ini
mesti dicegah. Pertama untuk memelihara ketenteraman rumahtangga orang
baik-baik, kedua untuk mencegah masyarakat jangan sampai menjadi tukang
membicarakan berita buruk.
Maka dengan ayat-ayat ini dijelaskan bahwa "barangsiapa yang menuduh
perempuan baik-baik berbuat zina, padahal tidak dapat mengemukakan empat
saksi yang melihat jelas hendaklah si tukang tuduh itu dijatuhi hukuman
dengan 80 kali deraan. Dan sejak dia menerima hukum itu, dicoretlah namanya
daripada kesaksian, artinya dalam segala perkara yang terjadi ke muka hakim,
maka orang-orang yang telah pemah dihukum dera karena menuduh itu tidaklah
akan diterima kesaksian mereka lagi: Sebab mereka itu sudah dicap orang yang
fasik, orang-orang yang durjana yang suka mengacaukan ketenteraman
masyarakat.
Orang-orang yang semacam ini adalah orang-orang yang durjana, tidak
bertanggungjawab, mengacau ketenteraman masyarakat, meruntuh kebahagiaan
rumahtangga orang, tukang menyiarkan khabar-khabar yang mengacaukan fikiran.
Ini adalah satu hukuman yang berisi pendidikan tertinggi di dalam membentuk
masyarakat Muslim.
Masyarakat Muslim tidak akan mengotori mulutnya dengan khabar-khabar yang
demikian. Kalaupun ada tiga orang laki-laki yang adil yang tidak pembohong,
yang benar-benar melihat orang sedang berzina tidaklah akan menguntungkan
kepada dirinya kalau hal ini dilaporkannya kepada yang berwajib. Bahkan
cukup pun berempat, namun faedah melaporkannya tidak juga ada. Lebih baik
khabar-khabar demikian ditutup rapat, supaya masyarakat jangan ketularan
untuk membicarakan perkara-perkara yang kotor. Maka kalau ditilik
syarat-syarat orang yang menyaksikan itu, yaitu orang baik-baik, orang-orang
bisa dipercaya, tidaklah akan kejadian pelaporan yang demikian. Dan meskipun
peraturan ini telah ada, Alhamdulillah, di dalam sejarah kehidupan Nabi dan
para sahabat Muhajirin dan Anshar di Madinah itu tidaklah ada terdapat
riwayat bahwa ada 4 orang terhormat yang pergi melaporkan bahwa mereka
melihat orang berzina.
Sebab orang baik-baik tidaklah akan membuang waktu untuk rnengerjakan
pekerjaan hina dan rendah, mengintip-intip rumah tangga orang bahkan ada
sendiri peraturan tegas melarang mengintip-intip:
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثيراً مِنَ
الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَ لا تَجَسَّسُوا وَ لا يَغْتَبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضاً أَ يُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ
أَخيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ تَوَّابٌ رَحيمٌ
"Wahai sekalian orang yang beriman, jauhilah olehmu banyak
prasangka, karena sebagian besar sangka-sangka adalah dosa, dan jangan kamu
mengintip-intip, dan jangan mengumpat (gunjing) setengah terhadap yang
lain. Sukakah kamu memakan daging saudaramu yang telah mati, niscaya kamu
jijik terhadapnya. Dan takwalah kepada Allah. Sesungguhnya Tuhan Allah
adalah pemberi taubat dan amat kasih-sayang. " (al-Hujurat: 12)
Orang yang beriman, lantaran imannya tidaklah mempunyai
kesempatan. buruk sangka, intip-mengintip kesalahan, atau membicarakan
keburukan saudaranya di balik belakangnya. Membirarakan kecelakaan orang,
samalah artinya dengan memakan dagingnya. Maka orang yang menuduh perempuan
baik-baik berzina, artinya samalah dengan menghancurkan rumah tangga orang
dan nama baik orang. Tidaklah yang demikian itu perbuatan orang yang beriman.
Hidup seorang yang beriman, dipenuhi amal dan ibadat kepada Tuhan. Sedangkan
berbuat baik belum terpenuhi semuanya, mengapa dia akan mencela-cela lagi
dengan yang jahat? Meka si penuduh yang tidak mengemukakan 4 saksi yang
melihat perbuatan ini dilakukan, haruslah menerima ganjaran hukuman 80 kali
dera, dan sejak kesaksian yang dikemuka - kannya, walaupun dalam perkara yang
benar kejadian, tidaklah akan diterima kecuali kalau dia telah taubat
benar-benar. Tetapi kalau orang benar-benar telah bertaubat , niscaya tidak lah dia akan mendekati lagi perkara-perkara yang demikian, sehingga
mungkin dia sendiri yang akan mundur buat selama-lamanya daripada menjadi
saksi, kecuali kalau dipaksa ha - kim. Dari hal kejadian zina ini, samalah
intisari agama dan ajaran Nabi-nabi. Dalam Kitab Taurat ditentukan hukum
rajam bagi siapa yang berbuat zina, dan ini jugalah yang diteruskan oleh
Nabi kita Muhammad s.a.w.
Di zaman hidup Nabi Isa a.s., seorang perempuan Yahudi yang berzina telah
dibawa orang ke muka beliau, minta supaya kepadanya dilakukan hukuman rajam
itu. Tetapi Nabi Isa telah menjawab demikian: "Siapa di antara kamu yang
tidak berdosa hendaklah dia dahulu melempar batu kepada perempuan ini." (Injil
Yahya, 8:7).
Maka berpandang-pandanganlah orang-orang yang membawa perempuan itu,
siapakah yang terlebih dahulu akan melakukan hukuman itu ? Adakah di antara
mereka yang belum pemah berdosa ? Akhirnya tidak seorang juga yang tampil ke
muka buat melempar. Sebab apa ? Sebabnya ialah karena semua sudah mulai
memikirkan keadaan diri sendiri. Mereka hanya ingat dan teliti atas
kesalahan yang diperbuat orang lain, padahal mereka pun penuh dosa. Bukankah
hati dengki, sikap sombong, sikap benci, sikap "tungau di seberang lautan
nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak" pun suatu kesalahan?
Hanya setingkat itu yang baru dapat dilakukan oleh Nabi Isa a.s. di waktu
itu, karena belum sempat mendirikan kekuasaan. Kekuasaan hukum adalah di
tangan bangsa Romawi pada waktu itu. Kalau beliau salah-salah tindakan
pekerjaannya akan dihalangi oleh pihak penguasa. Nasib Nabi Isa di waktu itu
masih sama dengan nasib Nabi Muhammad s.a.w. tatkala masih di Makkah.
Hukuman rajam bagi yang berzina atau 80 kali dera, yang dinamai Haddu (qadzaf)
baru dapat dilakukan setelah pindah ke Madinah artinya setelah berdiri
kekuasaan Agama. Selanjutnya Nabi Isa pun dangan keras memberi ingat bahaya
zina. Lihat apa yang beliau katakan tentang zina dalam Injil Matius 5:
27. "Kamu sudah mendengar perkataan demikian." Janganlah engkau berzina.
28. Tetapi aku ini berkata kepadamu, bahwa tiap-tiap orang yang memandang
seorang perempuan serta bergerak syahwatnya, sudahlah dia berzina dengan dia
dalam hatinya.
29. Jikalau mata kanan mendatangkan kesalahan padamu, koreklah dia, buangkan
daripadamu; karena lebih baik engkau hilang sesuatu anggotamu, dari segenap
tubuhmu dibuangkan ke dalam neraka.
Sudah terang bahwa ayat seperti ini, dalam istilah Fiqh Islam, adalah "tartib"
namanya, yaitu ancaman atas betapa beratnya kesalahan berzina. Tidaklah akan
ada, atau jaranglah akan ada orang yang mengorek matanya karena "salah lihat",
tetapi amat dalam kesan dalam jiwa seorang yang beriman. Setelah kekuasaan
agama didapat (Nabi Muhammad s.a.w. di Madinah), pendidikan kemurnian jiwa
diteruskan. Setiap orang haruslah membersihkan hidupnya dari tuduh-menuduh,
intip-mengintip. Dan kalau tuduh-menuduh, intip-mengintip itu sudah terang
merugikan masyarakat, dapatlah dilakukan hukuman kepadanya, yaitu didera 80
kali.
Penilaian Terhadap Hukum
Ulama-ulama Islam yang hidup di zaman moden ini, yang telah mengaji Ilmu
Fiqh berdalam-dalam mengharap apabila negeri-negeri Islam telah merdeka
daripada penjajahan asing, hendaklah hukum yang tersebut di dalam al-Quran
dan Hadits, ditambah dengan pertimbangan-pertimbangan ulama ulama Mazhab,
segera dijalankan. Potong tangan si pencuri, rajam atau dera yang berzina,
atau yang menuduh orang berzina, bakar orang yang berliwath (melakukan
semburit yaitu persetubuhan sejenis).
Tetapi sebaliknya, orang-orang Islam yang telah mempelajari hukum pidana
Barat merasa cemas, kalau peraturan Agama Islam sebagai tersebut dalam al-Quran
dan Hadis itu dilakukan dalam negara moden, niscaya akan berlaku suatu hukum
yang terlalu kejam, tidak sesuai dengan zaman !
Terhadap kepada golongan Ulama itu, dapatlah kita tegaskan bahwa sekalian
orang yang masih ada rasa Islam dalam sanubarinya, tidaklah dia akan
membantah kehendak al-Quran dan Hadits. Sebab menurut Islam sumber hukum
ialah Allah dan Rasul. Tetapi harus diingat pula, bahwa sebelum kekuasaan
Islam meratai cara berfikir, maka suasana perjuangan kita barulah suasana
Makkah. Atau suasana Nabi Isa yang menggembleng semangat orang Yahudi di
kala negerinya masih dalam kekuasaan bangsa Romawi.
Dalam tingkat pertama, pekerjaan kita terlebih dahulu ialah memberi Da'wah
kepada masyarakat tentang betapa sebenamya masyarakat Islam itu.
Masyarakat
Islam hendaklah masyarakat yang lebih bersih dari tuduh-menuduh,
intip-mengintip dan gunjing. Sebelum hukuman qadzob atau rajam dijalankan,
terlebih dahulu hendaklah diusahakan menanamkan kembali cita masyarakat
Islam, bukan semata-mata dari segi menjalan hukum, tetapi haruslah dalam
segala bidangnya.
Kalau cara berfikir ummat Islam telah dituntun oleh
kehendak Ilahi, jaranglah akan kejadian dilakukan hukum itu.
Sebab tidak ada
orang beriman yang akan sudi empat orang mengintip orang berzina. Sedang
keterangan dari yang kurang dari empat orang, terancam pula oleh bukuman
dera 80 kali. Di zaman Nabi sendiri yang dihukum hanyalah yang datang
mengaku dan minta dihukum.
Adapun bagi mereka yang berpegang atau hendak meniru hukum Barat, hendaklah
dia insaf bahwasanya dasar hukum Barat bukanlah dari Kristen. Orang Barat
belum pemah menghukum "korek mata" siapa yang salah melihat perempuan dengan
syahwat. Dalam hal agama, Barat telah menerima Kristen, tetapi dalam hal
hukum mereka masih melanjutkan hukum Romawi Kuno.
Apakah kita juga akan melanjutkan hukum Romawi ?
Datanglah masalah bagi kita sekarang, terutama setelah negeri-negeri yang
lebih banyak berpenduduk Islam, terutama Tanah air kita Indonesia, buat
membangunkan Tanah air kita kembali dalam segala bidangnya. Termasuk bidang
hukum.
Tidaklah layak bagi suatu bangsa yang tengah membina peribadinya sendiri
kalau hanya menjadi plat/kaset yang mengulang-ulang ucapan orang lain, yang
mengatakan bahwa hukum Allah dan Rasul adalah kejam nan tidak cocok dengan
zaman, padahal dunia di zaman sekarang tengah mencari kembali nilai-nilai
hukum yang abadi. Jangan kita hanya menjadi Pak Turut, karena kadang-kadang
orang yang kita "turut-turuti" itu telah kembali kepada pangkalan kebenaran
dan kita masih menuruti teorinya yang terdahulu tadi, karena tidak bebas
menyelidiki sendiri. Akhirnya ketinggalan "keretapi".
Maka hukum-hukum yang tegas dalam al-Quran itu tetaplah dalam ketegasan dan
kemutlakannya, dan usaha kita bukanlah mengelakkan atau menukarnya, tetapi
menyediakan jiwa dan cara berfikir masyarakat buat menerimanya dengan
sam'an wa thaa'atan. Mendengar dan mernatuhi.
Ingatlah bahwasanya KUHP yang ada sekarang barulah kita salin saja dari "Wetboek
van Strafrecht" pusaka penjajahan, dan kita tengah berusaha mencari nilai
sendiri dari sumber kekuatan kita.
Orang Belanda seketika menjajah di Indonesia ini, lebih suka menonjolkan "Hukum-hukum
Adat" (Adatrecht) daripada memberi bernaafas bagi Hukum Islam supaya berlaku
dalam masyarakat Muslimin. Tetapi kalau Hukum Islam telah menjadi "Hukum
Adat" setempat, Belanda berusaha pula menghapuskan "Hukum Adat Islam" itu.
Misalnya di Kesultanan Buton (Sulawesi Tenggara) masih didapati sampai
sekarang sebuah batu hamparan bagi melakukan hukum rajam bagi yang berzina
atau potong tangan bagi pencuri. Dan itu adalah "Hukum Adat Buton".
Setelah kekuasaan penjajah Belanda masuk ke negeri itu segera Hukum Adat
tersebut dihapuskan.
Moga-moga Angkatan Musa Muslim Indonesia Merdeka yang mempelajari Hukum
Internasional berpengetahuan pula tentang sumber Hukurn Islam dengan segenap
pengantar filsafatnya, sehingga dapat kembali tersusun hukum yang sesuai
dengan Keperibadian Nasional kita , dan yang diterima oleh jiwa bangsa kita.
01 02 03 04 05 06 07
08
09
10
11
12
13
14
15 Main Page ....
>>>> |