(3) الزَّاني لا يَنْكِحُ إِلاَّ زانِيَةً
أَوْ مُشْرِكَةً وَ الزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُها إِلاَّ زانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَ
حُرِّمَ ذلِكَ عَلَى الْمُؤْمِن
Orang laki-laki pezina, yang dinikahinya ialah perempuan pezina
pula atau perempuan musyrik. Perempuan pezina jodohnya ialah laki-laki
pezina pula atau laki-laki musyrik , dan diharamkan yang demikian itu atas
orang yang beriman.
Hukuman Zina (II)
Itulah usaha yang selanjutnya dalam membentuk masyarakat Islam. Sebagaimana
dimaklumi, hijrah Rasulullah s.a.w. bersama sahabat-sahabatnya orang-orang
Muhajirin ke Madinah ialah karena hendak membentuk masya rakat Islam,
masyarakat yang dicita-citakan, yang akan menjadi dasar pertama dari
masyarakat selanjutnya, menegakkan sunnah (tradisi) yang akan menjadi
teladan di belakang hari. Anggota-anggota masyarakat demikian, haruslah
orang-orang yang kuat peribadinya, tegak kepalanya dan tahu akan harga
dirinya.
Sebab masyarakat ini akan terus, angkatan demi angkatan, generasi demi
generasi, integrasi dan masyarakat yang lama, disintegrasi dalam membentuk
masyarakat baru. Tetapi dalam cita yang demikian itu, tidaklah dilupakan
kenyataan, sebab cita selalu berhadapan dengan yang nyata.
Menurut riwayat dari Mujahid dari `Atha', di antara kaum Muhajirin yang
berbondong hijrah ke Madinah itu macam-macamlah nasib Dan keadaan orangnya.
Ada yang kaya, sehingga dapat membawa harta simpanannya di kala pindah, ada
yang berumahtangga dan beranak-pinak, yang semuanya diangkutnya bersama
hijrah, tetapi ada pula yang miskin tak mempunyai apaapa, tidak pula
mempunyai isteri ataupun anak, sebatang kara, tidak pula mempunyai suku
belahan (A'syair) di Madinah, sedang mereka itu sebagai manusia mempunyai
juga keinginan-keinginan. Keinginan yang terutama sekali ialah mempunyai
isteri dan berumahtangga. Sedang di negeri Madinah yang baru didatangi itu
masih ada sisa-sisa masyarakat jahiliyah, yang belum sekaligus dapat
dihapuskan.
Yaitu adanya perempuan-perempuan lacur, yang mempersewakan dirinya kepada
pedagang-pedagang yang lalu-lintas. Siapa yang singgah di sana, menetap
kepada perempuan itu karena telah menjadi langganan. Setelah berhenti
beberapa hari di Madinah, mereka pun berangkat setelah meninggalkan uang
bayaran yang lumayan. Di hadapan rumah tempat mereka tinggal digantungkan
tanda-tanda supaya pedagang yang lalu itu dapat mengetahui bahwa penghuninya
bersedia menerima tamu.
Niscaya yang masuk ke rumah-rL!mah itu ialah
orang-orang yang pernah berzina juga, atau orang-orang musyrik yang berfikir
cara lama, yaitu singgah di jalan clan berzina itu laksana meminum seteguk
air ketika haus saja. Adapun orang-orang yang beriman, yang telah dimasuki
jiwanya oleh ajaran clan didikan Rasul Allah tidaklah ada yang menurut jalan
demikian lagi. Pandangan mereka sudah lain terhadap zina, karena ajaran Nabi
s.a.w.
Maka di antara Muhajirin yang melarat fakir miskin yang bersama pindah
dengan Nabi itu, adalah yang berniat kawin saja dengan perempuan-perempuan
pezina itu. Apalah salahnya; mereka dapat ditaubatkan dan dibawa ke jalan
yang benar. Dan di samping itu dipandang dari segi "ekonomi" amat besar pula
faedahnya, karena perempuan demikian banyak uang simpanannya. Jika ia
ditaubatkan dan hidup rukun serumah tangga, uang simpanannya itu dapat
dijadikan modal buat memulai hidup baru. Inilah "teori" dari beberapa orang
sahabat Nabi yang miskin itu.
Jadi ada juga maksud~baik di dalamnya.
Maka beberapa orang di antara mereka datanglah kepada Rasul Allah meminta
diberi izin mereka melakukan teori demikian.
Sebagaimana
biasa, dalam hal-hal yang mengenai dasar (prinsip) begini, tidaklah Nabi
memutuskan sendiri, melainkan menunggu wahyu. Adalah suatu kenyataan bahwa
mereka pun mempunyai keinginan beristeri sebagai orang orang lain yang
mempunyai isteri.
Adalah satu kenyataan bahwa perempuanperempuan pelacur
itu mempunyai uang banyak. Dan adalah satu kenyataan pula jika
sahabat-sahabatnya itu bermaksud baik, ialah menikahi perempuanperempuan
itu, bukan berzina. Dipandang sepintas lalu apalah salahnya hal yang
demikian itu.
Wahyu pun datang memberi ketegasan bahwa hal yang akan demikian tidak
mungkin. Memang segala soal yang di dunia ini tidaklah semata-mata jahat dan
tidaklah semata-mata baik. Dalam jahatnya (perempuan lacur) ada baiknya,
yaitu niat memperbaiki hidup mereka. Tetapi ada yang lebih dalam dari itu,
yaitu nilai kejiwaan. Masyarakat Islam bukanlah bergantung kepada laba-rugi
kebendaan, tetapi laba-rugi kejiwaan.
Siapa yang biasa masuk ke dalam rumah-rumah pelacuran itu selama ini? lalah
orang-orang pezina, orang-orang yang tidak asal nafsu muda jangan ditahan.
Meskipun di zaman jahiliyah sendiri, naluri manusia pun telah memandang
rendah martabat perempuan pezina itu.
Sehingga kemudiannya seketika seorang perempuan musyrik memeluk Agama Islam
dan tunduk kepada Nabi, yaitu Hindun isteri Abu Sufyan seketika berbai'at
dengan Nabi, Nabi berkata kepadanya: "Dan janganlah berzina! Maka Hindun
isteri Abu Sufyan, ibu dari Mu'awiyah dan Ummu Habibah (isteri Rasul Allah)
itu telah berkata: "Adakah perempuan-perempuan merdeka yang berzina? Artinya,
dia telah menjawab, bahwa meskipun selama ini dia hidup dalam jahiliyah,
namun dia sebagai perempuan merdeka tidaklah melakukan zina. Yang
berzina-itu ialah budak budak sewaan atau perempuan dari kalangan rendah.
Orang merdeka atau perempuan baik-baik, tidaklah merasa melakukan zina,
sebab itu dia merasa tidak perlu berbai'at dengan Rasul Allah dalam perkara
ini.
Siapa pula laki-laki yang berulang ketempat perempuan lacur? Ialah lakilaki
pezina juga, yang telah mendapat cap demikian dalam kalangan kaum musyrikin
sendiri, atau laki-laki musyrik yang memang begini hidupnya di masa lampau.
Maka laki-laki pezina itu biasanya kalau hendak taubat menuntut hidup baru
yang berbahagia, barulah dia mau mengawini perempuan baik-baik. Kalau cuma
buat main-main, tidaklah dia suka mengawini perempuan baik baik. Dia masih
suka bergaul dengan perempuan pezina. Demikian juga perempuan lacur hanya
berlangganan dengan laki-laki pelacur, atau yang sama musyriknya.
Adapun orang laki-laki beriman hanya mencari jodoh orang perempuan beriman:
Orang perempuan beriman hanya menunggu pinangan laki-laki yang beriman pula,
agar sama-sama menuntut hidup baru yang diridhai Tuhan:
Karena kehidupan berumahtangga bukanlah didasarkan kepada apa yang disebut
di zaman sekarang "dasar cinta" melainkan kepada dasar yang lebih tinggi dan
mulia, yaitu amanat Allah.
Di sinilah dasar timbulnya sabda Rasulullah s.a.w. di dalam satu Hadis yang
shahih (dirawikan oleh Bukhari clan Muslim).
"Berwasiat-wasiatanlah- kamu terhadap perempuan
dengan sebaik-baiknya. Karena kamu mengambilnya jadi isteri ialah sebagai
amanat dari Allah, dan barulah halal kehormatannya bagi kamu setelah
dihalalkan dengan kalimat Allah. "
Orang-orang
yang beriman itu adalah orang-orang yang terhormat, rumah tangganya bermutu
tinggi, daripada merekalah diharapkan keturunan rumah yang shalih. Sabda
Nabi :
"Dunia ini adalah
perhiasan hidup, dan puncak perhiasan hidupnya itu ialah isteri yang shalih.
"
Dan jika manusia mati akan putuslah
hubungannya dengan dunia ini, kecuali ada tiga perkara: Pertama ilmu yang
bermanfaat yang diajarkannya, kedua shadaqah jariyah (yang selalu mengalir
manfaatnya), ketiga anak yang shalih yang mendoakan orang tuanya setelah
orang tuanya itu meninggal dunia.
Kalau seorang sahabat lantaran miskinnya mengawini perempuan yang terkenal
hidupnya telah cacat selama ini, betapalah akan pandangan masyarakat kepada
orang yang demikian? Dia hanya kawin dengan mengharapkan harta perempuan
yang dinikahinya. Laksana pemuda-pemuda durjana di tanah Deli tatkala tanah
Deli mulai terbuka, mengawini nyai Belanda kebun yang kaya-raya, banyak uang
emasnya. Uang emasnya itu akan dijadikannya modal. Maka pandangan orang
kepada sahabat-sahabat yang demikian tidaklah menjadi naik melainkan
bertambah turun. Dia akan dicap sebagai "O.K.B." hidup mewah dari hasil
keringat perempuan lacur memperdagangkan dirinya di zaman dulu.
Bagaimana kedudukan perempuan itu sendiri kelak dalam bidang kalangan
perempuan baik-baik yang lain.
"Diukur duduk sama rendah, diukur tinggi sama tinggi tetapi dibangsa dia
kurang."
Biasanya bekas perempuan lacur, sukar sekali akan mendapat anak. Dan kalau
kebetulan mendapat anak, harus dipelajari pula betapa jiwa anak itu
menghadapi masyarakat. Sedangkan seorang sahabat yang besar dan ternama,
yaitu `Amr bin al-'Ash yang nama ibunya tercatat di zaman jahiliyah, telah
ditutup dengan datangnya agama Islam, masih sekali-sekali mengeluh juga,
setelah dia menjadi sahabat ternama: "Tuan-tuan tahu, siapa ibu saya?" kata
beliau.
Setelah diterangkan duduk perkaranya, bahwasanya hanya "anjing-anjing juga
yang berulang-ulang ke atas timbunan bangkai" (menurut pepatah Melayu),
barulah kemudian ditutup dengan ketentuan pasti.
وَ حُرِّمَ ذلِكَ عَلَى الْمُؤْمِن
"Dan diharamkanlah yang demikian itu
atas orang-orang yang beriman." (ujung ayat 3).
Haram artinya dilarang keras perkawinan yang demikian atas masyarakat
orang-orang beriman.
Lihat di sini rahasia agama, yang harus menjadi pedoman bagi kita pejuang
menegakkan agama. Larangan haram kemudian datangnya, yang terdahulu adalah
sebagai ceritera saja (khabar), sehingga orang diberi kesempatan berfikir.
Seakan-akan hukum itu berkata demikian: "Sekarang kita pindah dari
masyarakat jahiliyah ke dalam masyarakat Islam. Kita tinggalkan Makkah yang
penuh berhala dan hijrah ke Madinah lalu mulai mendirikan mesjid baru untuk
menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Kita mesti menutup lembaran lama dan membuka
lembaran baru. Betapa pun miskinnya kalian, janganlah kalian kotorkan jiwa
dan jalan hidup kalian dengan mengawini perempuan lacur lalu mengambil harta
simpanahnya yang didapatnya dari memperdagangkan dirinya untuk modal.
Perbuatan ini adalah nista! Dalam hati sanubari kalian sendiri akan terasa
bahwa perbuatan itu hina, rendah. Sebab itu dilarang !"
Hukuman Wanita Ahlul Kitab
Kemudian daripada itu, masyarakat Islam di Madinah telah berdiri dan telah
kuat. Maka datanglah satu kebolehan yang lain, yaitu laki-laki Muslim Mu'min
boleh berkawin dengan perempuan Ahlul Kitab (Yahudi atau Nasrani).
Soalnya sudah-lain. Perempuan ahlul kitab tidaklah boleh diserumpunkan
dengan perempuan lacur. Dalam kalangan ahlul kitab bukan sedikit orang baik
baik yang taat dalam agamanya. Seluruh orang baik-baik di seluruh agama,
semuanya membenci zina, semuanya mengutuk. Sebab itu amat salah
menyama-ratakan perempuan ahlul kitab dengan perempuan pezina atau pelacur.
Apakah ahlul kitab tidak musyrik ? Bukankah orang Nasrani mempersekutukan
Tuhan dengan Nabi Isa?
Meskipun dalam satu ketentuan ahlul kitab disenafaskan dengan kaum musyrikin,
(lihat Surat al-Bayyinah, ayat 1, Makkiyah), namun kedudukan mereka lain
juga. Betul orang Yahudi dan Nasrani terletak di luar batas Islam, namun
kalau dihitung dari sekalian yang di luar batas, merekalah yang paling dekat.
Sebab mereka mengakui Nabi-nabi dan mengakui Kitab-kitab. Mereka mengingkari
kerasulan Nabi Muhammad , ialah sebelum menerima keterangan (Bayyinah).
Seorang Muslim yang kuat imannya dan teguh peribadinya, tidaklah mengapa
berkawin dengan perempuan Yahudi atau Nasrani, walaupun perempuan itu belum
menyatakan dirinya masuk Islam. Satu di antara dasar prinsip ajaran Islam
ialah bahwa "tidak ada paksaan dalam agama". Laki-laki yang beriman teguh
dan mempunyai peribadi yang menarik, besar pengaruhnya dalam membentuk
rumahtangga. Bukan dia yang akan tertarik kepada agama isterinya, tetapi
isterinyalah yang besar kemungkinan tertarik kepada agama suaminya. Sebab
dengan pindahnya sang isteri ke dalam Islam, dia tidak akan kekurangan
apa-apa; Nabinya bertambah satu dan kitabnya bertambah satu, dan dia
kembali kepada akidah yang sihat, yaitu hanya satu Tuhan.
Nabi sendiri memberikan contoh tentang itu. Beliau kawin dengan Juwairiah
binti Hants, seorang perempuan Yahudi dari Bani Quraizah, dan kawin pula
dengan Shafiah binti Huyai, dari kepala suku Yahudi Bani Mushthaliq, yaitu
seketika benteng Khaibar telah ditaklukkan.
Dan beliau menerima hadiah pula
seorang perempuan Nasrani bernama Maria, kiriman dari Muqauqis raja Mesir,
karena menurut adat dahulu-dahulu orang-orang besar sebuah negeri
mengirimkan hadiah jariyah (hambasahaya) kepada kepala negara sahabat,
alamat kokohnya persahabatan. Dan perempuan itu beliau kawini pula, sehingga
beroleh seorang putera bernama Ibrahim. Tidaklah tersebut bahwa ketiga "Ummul
Mu'minin" (ibu dari orang-orang yang percaya) itu dengan resmi diislamkan
lebih dulu. Tiba dalam rumahtangga Nabi sendirinya mereka telah menjadi
Islam.
Sampai Shafiah binti Huyai itu pernah bercengkerama dengan
isteri-isteri Rasulullah s.a.w. yang lain dengan katanya: "Aku bersyukur
karena suamiku Nabi, Ayahku Nabi dan Pamanku Nabi."
(Artinya ialah
beliau keturunan langsung Nabi Harun).
Dalam sejarah agama orang Kopti, menjadi kebanggaanlah karena mereka
bermenantu dua orang Nabi. Dahulu kala ialah Nabi Ibrahim yang kawin dengan
Siti Hajar, beroleh putera Ismail. Yang kedua ialah perkawinan Nabi Muhammad
dengan Maria, beroleh putera bungsu Nabi, bernama Ibrahim pula. Sayang
sekali Ibrahim meninggal dalam sarat menyusu.
Oleh sebab itu Ulama-ulama Islam sependapat bahwasanya laki-laki Islam yang
lemah imannya tidaklah diberi izin oleh agama berkawin dengan perempuan
ahlul kitab, karena kalau-kalau dialah yang akan tertarik kepada agama
isterinya. Malahan di zaman moden kita ini ada instruksi-instruksi halus
dari pihak Zending dan Missie Kristen, menyuruh gadis-gadis membujuk rayu
pemuda-pemuda Islam yang lemah imannya supaya kawin dengan mereka, dengan
syarat masuk Kristen lebih dahulu. Karena disesatkan oleh apa yang dinamai "cinta"
mereka tidak keberatan meninggalkan agamanya, agama yang menjadi pegangan
hidup sampai mati, karena ditawan oleh si jantung hati.
Dan perkawinan perempuan Islam dengan laki-laki ahlul kitab, tidaklah
dibolehkan samasekali. Hakim Islam wajib memfarak (memisahkan) perkawinan
demikian.
Jelaslah sekarang di atas dasar apa rumahtangga Islam harus ditegakkan.
Dasar cinta tempat menegakkan rumahtangga ialah: Akhlak yang baik, perangai
yang mulia, sabar dan teguh hati dan mengharapkan keturunan yang menyambung
kemuliaan budi kedua orang tuanya. Janganlah semata mencari keuntungan benda,
sehingga nilai kesucian tidak dimasukkan hitungan. Dan jangan pula
semata-mata karena "cinta". Karena menurut penyelidikan yang seksama atas
jiwa manusia (Psychoanalisa), "cinta" laki-laki terhadap perempuan dan
sebaliknya, sukarlah memisahkan dari dorongan syahwat.
Perkawinan bahagia yang dipatrikan "cinta" tidak dapat dipisahkan
sebab-sebabnya dari kepuasan kelamin (sex). Orang Inggeris menyebut "cinta"
itu "love". Bersetubuh juga disebut "make love", membuat cinta.
Tepat sekalilah apa yang pernah dijawabkan oleh Saiyidina Umar bin Khathab
r.a. kepada seorang perempuan yang datang mengadukan halnya kepada beliau.
Perempuan itu mengaku terus-terang di hadapan beliau bahwa dia tidak cinta
kepada suaminya, ia minta nasihat betapa cara yang baik, karena katanya
pergaulan yang tidak diikat cinta adalah membosankan. Maka berkatalah
Saiyidina Umar:
Jika ada di antara kamu, wahai perempuan,
yang tidak cinta kepada seorang di antara kami laki-laki, tidak usahlah hal
itu dikhabarkan kepadanya. Karena hanya sedikit rumahtangga yang dibina
karena cinta. Kebanggaan hanyalah didirikan atas hasab (kemuliaan budi) dan
Islam."
(Hasab kita artikan kemuliaan budi, sifat dermawan, lapang dada,
sopansantun, menyebabkan orang disegani dan dimuliakan. Kawannya ialah
nasab, yaitu kemuliaan karena silsilah darah keturunan (bangsawan). Maka ada
orang yang dihormari karena hasabnya, meskipun tidak tinggi nasabnya, tetapi
orang ini kurang dihormati karena tidak ada hasabnya).
Arti asal hasab ialah bilangan. Maka orang mempunyai hasab ialah orang yang
terbilang atau orang yang masuk hitungan.
Benarlah ucapan emas dari Saiyidina Umar itu. Kekuatan nafsu kelamin menurun
apabila usia telah lanjut. Padahal banyak rumah tangga, kedua suami isteri
telah tua-tua, bergaul berpuluh tahun melalui kawin perak (25 tahun), kawin
emas (40 tahun) dan kawin intan (50 tahun). Bertambah lama bertambah mesra,
hanya dipisahkan kelaknya oleh tembilang penggali kubur. Berpuluh lagi
nikmat lain yang dapat dirasai selain nikmat kelamin.
Sebagaimana diterangkan di atas. Surat an-Nur diturunkan di Madinah. Kaum
Muslimin yang terdiri daripada Muhajirin dan Anshar mulai mendirikan
masyarakat baru. Masyarakat Islam yang dicita-citakan. Sebab itu seorang
lakilaki baik-baik hendaklah memilih isteri orang baik-baik pula. Tidak
boleh kawin dengan perempuan pezina. Dan kelak setelah perjuangan Islam
menang, dan Makkah telah ditaklukkan, dengan sendirinya perempuan musyrik
tak ada lagi. Sedangkan Abu Sufyan dan'isterinya Hindun, yang dahulu menjadi
penentang Islam yang besar, dengan takluknya Makkah, dengan resmi telah
memeluk Islam.Sebab itu soal perempuan musyrik telah habis.
Kemudian timbullah satu soal.
Di dalam ayat itu sudah terang benar bahwa "diharamkan yang demikian itu
bagi orang yang beriman". Sebab tertulis dalam ayat, bahwa dengan perempuan
yang telah cacat namanya lantaran zina tidak boleh kawin, haram .
Sekarang bagaimana kalau dia telah bertaubat ? Bagaimana kalau dia
benar-benar mengubah hidupnya ? Masihkah dilarang juga mengawininya?
Di zaman pemerintahan Amiril Mu'minin Umar bin
Khathab telah timbul masalah ini.
Di negeri Yaman, adalah seorang laki-laki muda mempunyai saudara perempuan
yang telah cacat namanya karena berzina. Perempuan itu tahu benar betapa
kerasnya disiplin agama terhadap orang "cacat nama" sebagai dia. "Apa
gunanya hidup lagi," demikian fikirnya, sehingga dia bertekad hendak membuat
dosa yang lebih besar lagi, yaitu membunuh diri saja. Sedang saudara
laki-lakinya terlengah, diambilnya sebilah pisau disembelihnya lehernya,
sehingga sudah putus sehelai urat leher. Tiba-tiba datanglah saudara laki lakinya
itu. Dengan cepat direbutnya pisau itu dan segera diobatinya adiknya,
sehingga tidak jadi mati.
Setelah sembuh, dibawanyalah adiknya itu pindah ke negeri Madinah. Karena di
Madinah ada pamannya. Sampai di Madinah perempuan itu berusaha memperbaiki
hidupnya dengan taubat dan taat beribadat, sehingga dia menjadi seorang
perempuan yang sangat shalih. Tidak lama kemudian datanglah salah seorang
anggota keluarganya (Kabilah) meminangnya. Maka pergilah paman perempuan itu
menghadap Saiyidina Umar, meminta nasihat beliau, karena kemenakannya telah
dipinang orang, sedang perempuan itu telah cacat ketika di Yaman. Dan telah
nyata dalam Surat an-Nur bahwa haram bagi orang yang beriman yang
mengawininya. Padahal dia sekarang telah bertaubat dan hidup beragama yang
shalih.
Maka bertanyalah Saiyidina Umar: "Pernahkah hal ini engkau ceritakan kepada
orang lain?" Dia menjawab, hanya kepada beliau seoranglah hal itu pemah
diceritakannya.
Lalu kata Saiyidina Umar: "Sekali-kali jangan engkau buka rahasia ini kepada
orang lain. Tutup mulutmu rapat-rapat. Kalau engkau berani menceritakannya
kepada orang lain, engkau saya hukum berat. Sekarang ke menakanmu itu wajib
engkau kawinkan secara layaknya perkawinan orang orang yang terhormat."
Hanya seorang sahabat Nabi yang mengetahui hal itu, yaitu Ubay bin Ka'ab,
sebab dia adalah penasihat Saiyidina Umar.
Dia pun sudah dipesan jangan sampai membuka rahasia itu. Ubay berkata: "Putusanmu
amat tepat, ya Amiril Mu'minin. Sedangkan orang yang musyrik lagi diterima
taubatnya...." Artinya sahabat Ubay, sependapat dengan Saiyidina Umar.
Maka kawinlah perempuan itu. Niscaya berlakulah peraturan masyarakat Islam.
Yaitu kalau keluarga tidak mampu membelanjai perkawinan itu, harta dari
Baitul Maal dikeluarkan untuk rnembelanjainya. Dan dengan sikap yang diambil
oleh Saiyidina Umar dalam pelaksanaan hukum itu, nampaklah suatu contoh
betapa caranya melaksanakan ayat yang tegas itu.
Haram bagi seorang beriman menikah dengan
perempuan yang telah cacat namanya karena zina. Tetapi hukum itu tidak
berlaku sekeras itu lagi kalau nyata bahwa perempuan itu telah taubat.
Sedangkan orang kafir penyembah berhala hapus segala dosanya yang
sudah-sudah stelah dia tobat dan masuk Islam , apalagi orang Islam sndiri
yang terssat jalan karena nafsunya atau karna kurang mengetahui tipudaya
khidupan , lalu menyesal dan bertaubat , Niscaya ditrima ! .
01 02 03 04 05 06 07
08
09
10
11
12
13
14
15 Main Page ....
>>>> |