(11)
إِنَّ الَّذينَ جاؤُو بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لا تَحْسَبُوهُ شَرًّا
لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ
الْإِثْمِ وَ الَّذي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذابٌ عَظيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita bohong itu adalah
golongan kamu juga. Janganlah kamu kata bahwa perbuatan mereka itu membawa
akibat buruk bagi kamu, bahkan itu adalah membaikkan. Setiap orang akan
mendapat hukuman dari sebab dosa yang dibuatnya itu. Dan orang yang
mengambil bagian terbesar akan mendapat siksaan yang besar pula.
(12)
لَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ
الْمُؤْمِنُونَ وَ الْمُؤْمِناتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْراً وَ قالُوا هذا إِفْكٌ
مُبين
Mengapa setelah mendengar berita-berita bohong itu orangorang yang
beriman, baik laki laki ataupun perempuan, tidak meletakkan sangka yang baik
terhadap dirinya, mengapa tidak mereka katakan bahwa berita itu adalah
bohong belaka?
(13)
لَوْلا جاؤُو عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَداءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا
بِالشُّهَداءِ فَأُولئِكَ عِنْدَ اللهِ هُمُ الْكاذِبُون
Mengapa mereka menuduh tetapi tidak mengemukakan empat orang saksi; kalau
mereka tidak mengemukakan saksi-saksi itu, mereka adalah pembohong belaka
dalam pandangan Allah
(14)
وَلَوْلا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيا وَ الْآخِرَةِ
لَمَسَّكُمْ فيما أَفَضْتُمْ فيهِ عَذابٌ عَظيمٌ
Kalau bukanlah kemurahan Tuhan Allah dan kasih rahmatNya kepada kamu di
atas dunia ini dan di akhirat kelak, niscaya kamu akan ditimpa oleh azab
yang amat besar karena berita yang kamu siarkan itu.
(15)
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَ
تَقُولُونَ بِأَفْواهِكُمْ ما لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَ تَحْسَبُونَهُ
هَيِّناً وَ هُوَ عِنْدَ
اللهِ عَظيمٌ
Ketika kamu sambut berita
itu dari lidah ke lidah, kamu katakan dengan mulutmu perkara yang samasekali
tidak kamu ketahui; kamu sangka bahwa cakapcakap demikian perkara kecil
saja, padahal dia adalah perkara besar pada pandangan Allah
(16) وَلَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ
قُلْتُمْ ما يَكُونُ لَنا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهذا سُبْحانَكَ هذا بُهْتانٌ
عَظيم
Alangkah baiknya ketika kamu mendengar berita itu kamu katakan saja:
Tidak sepatutnya kami membicarakan berita bohong ini. Amat Suci Engkau ya
Tuhan, berita ini adalah bohong besar belaka !
(17)
يَعِظُكُمُ اللهُ أَنْ تَعُودُوا
لِمِثْلِهِ أَبَداً إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنينَ
Tuhan memberi pengajaran bagi kamu, supaya jangan mengulangi lagi
perbuatan seperti itu buat selama-selamanya. Kalau betul kamu mengakui
beriman.
(18)
وَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ
الْآياتِ وَ اللهُ عَليمٌ حَكيمٌ
Dan telah dijelaskan oleh Tuhan ayat-ayatNya kepada kamu! Dan Tuhan Allah
adalah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Propokasi
Kemenangan-kemenangan dan kejayaan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.
menegakkan masyarakat Islam di Madinah, adalah tegak di atas kesetiaan
sahabat-sahabatnya dan kebencian musuh-musuhnya. Orang besar selalu diuji
oleh pujaan dan celaan. Di samping orang-orang sebagai Abu Bakar as-Shiddiq,
Umar bin Khathab, Usman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib yang menyediakan
jiwa-raganya dan harta benda biar sama hilang sama timbul dengan Nabi, ada
juga musuh-musuh besar yang dalam memusuhi itu pun mereka "besar" pula.
Musuh demikian dihadapi Nabi ketika beliau di Makkah, di antaranya ialah Abu
Jahal yang terkenal menentang Nabi terang-terangan secara jantan. Tetapi
setelah Nabi s.a.w. pindah ke Madinah, dan masyarakat Islam mulai berdiri,
beliau menghadapi musuh yang bukan satria, orang berjiwa kecil yang hanya
berani membuat fitnah, menghasut, menggunjing, berbicara di belakang,
sedang pada lahirnya dia bermulut manis menyatakan setuju. Dan apabila ada
jalan buat memasukkan jarum dengki dan bencinya, dimulainyalah memainkan
jarum itu, walaupun di balik pembelakangan. Itulah yang dinamai golongan
munafiqin yang dipimpin oleh seorang yang mengaku kawan padahal lawan, yaitu
Abdullah bin Ubay.
Kalau ada musuh hendak melawan Islam, dibantunya dari belakang secara
diam-diam tetapi kalau musuh itu sudah dapat dikalahkan oleh Nabi, dia pun
mencuci tangan dan musuh yang kalah itu ditinggalkannya, dan dia pergi
mengambil muka kepada Muslimin yang menang. Kalau dia menampak agak sedikit
pintu hasutan, untuk memecahkan front Muslimin di antara Muhajirin dengan
Anshar, dilaluinyalah lobang yang kecil itu, sehingga kalau kurang hati-hati
pimpinan, pesatuan Islam bisa pecah berantakan. Tetapi Nabi s.a.w. dan
sahabat-sahabatnya tetap waspada, sehingga segala usahanya tetap tidak pemah
berhasil.
Akhirnya dicobakannyalah senjata penghabisan, sebagai "climax" atau puncak
dari segala usahanya yang gagal selama ini, dan yang menjadikan sebab dari
kejatuhannya buat selamanya dan dia tidak dapat mengangkat mukanya lagi.
Tetapi perbuatannya ini boleh dicatat sebagai suatu perbuatan "pengecut yang
sangat berani". Dia telah mencoba menunggu ketenteraman jiwa Nabi s.a.w.
sendiri dan jiwa orang yang paling dekat kepada Nabi, orang yang kedua dalam
pembangunan Islam, yaitu Abu Bakar, ayah Aisyah.
Demikianlah, pada suatu hari seketika Rasulullah s.a.w. bersama
sahabatsahabatnya dan tentaranya pulang dari peperangan dengan Yahudi Bani
Musthaliq dengan kemenangan gilang-gemilang.
Sudah menjadi kebiasaan Nabi s.a.w. apabila beliau pergi keluar kota
memimpin suatu peperangan, beliau undi isterinya dan mana yang keluar
undiannya, dialah yang ikut pergi. Dalam peperangan Bani Musthaliq ini, Siti
Aisyah lah yang menang undian dan turut pergi. Dia diangkat dengan Haudaj,
semacam tandu kenaikan diletakkan di atas punggung seekor unta. Usia Aisyah
ketika itu barulah 14 tahun, sebab dalam usia 9 tahun dia mulai diserumahkan
oleh ayahnya dengan Nabi seketika mulai pindah ke Madinah, sesudah
dinikahkan di Makkah setahun terlebih dahulu. Badannya ringan dan kecil.
Seketika berhenti pada suatu pemberhentian, haudaj itu diturunkan orang dari
punggung unta. Aisyah meraba lehernya, rupanya kalung yang di lehernya sudah
tidak ada lagi, entah tercecer di tengah jalan. Lalu dia turun dari haudaj
nya dan dia pergi ke tempat yang telah dilalui tadi, mencari kalungnya yang
hilang. Rupanya setelah agak lama mencari tak bertemu, lalu dia kembali ke
tempat haudajnya terletak.
Tetapi sayang, rombongan telah berangkat lebih dahulu karena tidak ada orang
yang tahu bahwa beliau telah turun dari dalamnya, dan tidak pula ada orang
yang memeriksanya, karena beliau memakai hijab dan badan beliau amat ringan,
sehingga sama saja berat haudaj itu baik beliau ada di dalam ataupun tidak
ada.
Maka berhentilah beliau duduk melepaskan lelahnya di perhentian yang telah
ditinggalkan itu, dengan kepercayaan apabila orang mengetahui nanti bahwa
beliau tidak ada, niscaya orang akan kembali menjemputnya. Sebab kalau
berjalan pula mengejar rombongan itu pada padang pasir yang demikian
teriknya, agaknya tidaklah akan terkejar.
Dalam beliau termenung seorang dirinya itu sambil menyelimutkan selendang
ke badannya, tiba-tiba datanglah seorang pemuda, sahabat Nabi juga, bernama
Shafwan Ibnu Mu'aththil
Assulami, yang kebetulan berjalan terkemudian dari rombongan, karena ada
keperluan yang diurusnya. Demi dilihatnya Aisyah, yang dikenalnya sebelum
turun ayat hijab, dia pun terkejut lalu mengucapkan "Inna Lillahi wa Inna
Ilaihi Raji'un" dan segera menanyakan mengapa beliau terkemudian. Aisyah
tidak menjawab. Kemudian Shafwan membawa untanya ke muka beliau, dan
dipersilakannya beliau naik, lalu beliau pun naik dan Shafwan berjalan
menuntun unta tersebut, sampai dapat tersusul rombongan yang telah berangkat
itu.
Cepat sebagai kilat, tersebar berita dari mulut ke mulut, Aisyah telah
berlaku serong dengan Shafwan, mereka telah berjalan berdua-dua, mereka
rupanya telah berjanji akan mengkhianati Rasulullah, dan sebagainya. Diatur
berita itu demikian rupa, diterima dari satu mulut dan pindah ke mulut lain,
bisik berantai sehingga "menjadi rahasia umum". Yang menyebarkan berita ini
diketahui kemudian, yaitu Abdullah bin Ubay.
Sebagaimana melawan penjajahan, kerapkali pihak musuh menyebarkan berita
bisik berantai seperti demikian, untuk menimbulkan kekacauan fikiran. Dan
dalam saat yang demikian, orang tidak sempat mengadakan penyelidikan atau
mempertimbangkan dengan akal sihat. Inilah yang dalam bahasa sekarang
disebut "propokasi". Khabar berita ini telah tersiar, cepat sebagai api
memakan lalang. Jarang orang yang dapat memikirkan benar atau tidaknya. Yang
tadinya masih dapat menimbang pun boleh menjadi ragu karena di kirikanan
orang telah membicarakannya. "Siti Aisyah, isteri kesayangan Rasulullah yang
masih muda belia, berjahat dengan seorang sahabat muda."
Adakah orang yang sempat berfikir bahwa berita itu harus diselidiki
kebenarannya? Karena ini adalah soal besar? Soal rumahtangga Nabi? Soal
terganggukah ataia tidak perasaan beliau? Betapakah agaknya Abu Bakar,
sahabat karib Nabi sejak agama ini dibangunkan dan dida'wahkan, selalu di
dekat Nabi? Bagaimana dia mendidik anak perempuannya? Hat itu tidaklah
sempat difikirkan orang lagi. Propokasi itu kadang-kadang amat berpengaruh
sehingga orang tidak sempat berfikir.
Dalam tafsir ini hendak kita sarikan isi riwayat nasib penanggungan batin
yang dirasai Aisyah karena malapetaka tuduhan yang amat besar itu yaitu
menurut Hadis yang dirawikan oleh Bukhari clan lain-lain dari `Urwah bin
Zubair, dari Makciknya Aisyah sendiri.
Aisyah sendiri bercerita bahwa setelah dia turun dari atas unta itu dan
kembali ke haudajnya disangkanya tidak ada apa-apa: Bahwasanya bisik-desus
telah menjadi-jadi dan dia telah menjadi buah mulut orang, samasekali dia
tidak tahu. Dan perjalanan pulang ke Madinah dilanjutkan dengan selamat.
Aisyah berkata selanjutnya bahwa sesampai di Madinah, beliau ditimpa demam;
mungkin karena penatnya dalam perjalanan jauh itu. Khabar berita propokasi
itu telah tersiar luas dan merata, namun dia belum juga tahu-menahu bahwa
dia telah menjadi buah mulut orang. Dan berita itu pun rupanya telah sampai
ke telinga Rasulullah s.a.w. sendiri, bahkan telah sampai kepada
ayahbundanya, Saiyidina Abu Bakar dan isterinya , tetapi tidak seorang jua
pun di antara mereka, Rasulullah, Abu Bakar, dan ibunya, yang
membayang-bayang-kan hal itu kepada Aisyah.
Cuma fikiran saya menjadi bertanya-tanya melihat sikap lemah-lembutnya
menanyakan kepadaku tentang badanku yang sedang kurang sihat itu, sehingga
menimbulkan kurang puasku, ada apa. Karena kalau beliau masuk melihatku,
sedang ibuku duduk dekatku merawatku, beliau bertanya: " Bagaimana
keadaanmu ? " Tidak lebih dari itu, beliau pun keluar. Karena melihat sikap
beliau yang demikian, timbullah jengkelku. Lalu aku berkata kepadanya: "Kalau
engkau izinkan, saya hendak pulang saja ke rumah ibu." Beliau menjawab: "Baiklah."
Karena telah mendapat izin itu, saya pun pulanglah ke rumah ibuku, dan di
sana sampai saya sembuh, setelah menderita demam lebih dari 20 hari.
Aisyah berkata seterusnya: "Kami orang Arab pada masa itu tidaklah
mempunyai tempat buang air dalam rumah, sebagai orang Ajam, kami benci dan
jijik dengan dia. Kalau kami hendak buang hajat, kami keluar ke tengah
padang malam-malam, terutama kami kaum perempuan. Pada suatu malam, saya pun
keluarlah ditemani oleh Mak si Misthah. Tiba-tiba sedang kami melangkah itu,
teracung kaki Ummi Misthah, lalu dia menyumpah: "Barang dicelakakan Tuhanlah
si Misthah." Saya terkejut mendengar dia menyumpah, lalu saya berkata: "Mengapa
disumpahi seorang pejuang yang telah turut dalam peperangan Sadar?"
Lalu berkatalah Ummi Misthah: "Tidakkah engkau mendengar khabar hai anak Abu
Bakar?" "Khabar apa?" tanyaku pula. Lalu diceritakannyalah berita yang telah
tersiar tentang diriku itu."Betulkah demikian?" tanyaku. Ummi Misthah
menjawab: "Betul!"
Berkata Aisyah selanjutnya: "Demi mendengar apa yang
dikatakan oleh Ummi Misthah itu , demi Allah ( lemah rasanya segala
persendianku ), sehingga tidak upaya aku lagi melepaskan hajatku selain aku
segera pulang. Demi Allah, aku menangis sehingga rasanya jantungku akan
pecah karena tersangat tangisku. Lalu aku berkata kepada ibuku: "Tuhan
moga-moga memeliharamu, ibuku, sudah demikian kata orang tentang diriku,
namun ibu tak menyebut-nyebutnya kepadaku sedikit jua." Ibuku dengan
tenangnya menjawab: "Anakku sayang, tenangkan hatimu. Demi Allah, jaranglah
perempuan cantik yang mempunyai suami yang amat dicintainya dan mempunyai
pula banyak sembayan (madu), yang tidak terlepas dari buah mulut orang, dan
aku banyaklah cerita orang atas dirinya."
Dalam keadaan saya demikian itu, rupanya di luar pengetahuan saya juga,
Rasulullah telah berdiri di hadapan sahabat-sahabatnya berpidato.
Setelah
beliau memuji Allah, beliau berkata:
"Wahai sekalian manusia! Mengapa orang orang telah menyakiti diriku dari hal
isteriku? Dia dituduh dengan tuduhan yang tidak-tidak ? Demi Allah, yang aku
ketahui tentang ahliku adalah baik belaka. Dan disebut-sebut pula nama
seorang laki-laki yang demi Allah dia pun saya kenal seorang yang baik. Dia
belum pemah masuk ke daiam rumahku, kecuali bersama aku."
Perkataan Rasulullah itu rupanya diambil berat oleh Abdullah bin Ubay,
berhubungan dengan beberapa orang sahabat dari Bani Khazraj. Dan bersamaan
pula dengan itu tersangkut pula nama Misthah dan seorang perempuan bernama
Hammah binti Jahasy, ini adalah maduku pula, kata Aisyah selanjutnya, yang
penghargaan Rasulullah terhadap dirinya hampir sama juga dengan
penghargaannya terhadap diriku. Adapun Zainab sendiri dipelihara Tuhanlah
daripada menuduh-nuduh. Perkataannya tentang diriku adalah baik. Tetapi
Hammah menyebarkan berita bohong itu, untuk menyakiti hatiku karena benci
dan cemburu tersebab saudaranya.
Setelah Rasulullah s.a.w. selesai berpidato itu berkatalah Ussaid bin
Hudhair (dari Bani Aus): "Ya Rasulullah, kalau yang menyiarkan berita bohong
itu dari kaumku Aus, serahkan sajalah penyelesaiannya kepada kami, niscaya
akan kami bereskan. Tetapi kalau dari saudara kami Bani Khazraj,
perintahkanlah kepada kami apa yang diperintahkan Allah. Demi Allah, memang
mereka itu pantas dipotong leher belaka." Mendengar ucapan itu, berdirilah
Saad bin 'Ubbadah (dari Bani Khazraj), yang selama ini terkenal seorang yang
shalih, dia berkata: "Engkau bohong. Demi Allah. Tidaklah engkau sanggup
memotong leher mereka. Engkau berkata begitu lantaran engkau tahu bahwa
mereka dari Khazraj. Kalau begitu kaummu sendiri, engkau tidak akan bercakap
sekeras itu " Usaid menyambut lagi: "Engkaulah yang bohong, demi Allah,
bahkan engkau munafik, engkau membela orang-orang yang munafik."
Maka ributlah orang bertengkaran, terutama di antara kedua kaum ini,
sehingga nyarislah terjadi hal yang tidak diingini. Maka Rasulullah pun
turunlah dari mimbar, dalam pada itu masuklah Ali bin Abu Thalib. Rasulullah
memanggil Ali dan Usamah bin Zayid dan mengajak keduanya musyawarah. Adapun
Usamah memberikan pujian yang baik terhadapku dan berkata: "Ya Rasulullah,
ahli rumah engkau, tidak ada yang kami ketahui tentang dirinya hanyalah yang
baik saja." Tetapi Ali menjawab: "Ya Rasulullah, perempuan banyak, tuan
sanggup menggantinya dengan yang lain. Mintalah gadis mana yang engkau suka,
niscaya dialah yang akan membayar maskawin kepada engkau." Setelah itu Ali
minta panggil seorang perempuan nama Burairah untuk ditanya.
Rasulullah memanggil pula Burairah, lalu menanyainya. Lalu Ali berdiri,
dipukulnya Burairah seraya berkata dengan kerasnya: "Katakan apa yang
sebenamya kepada Rasulullah!" Lalu Burairah menjawab: "Demi Allah, yang
saya ketahui adalah baik saja. Cuma celaanku kepada Aisyah hanya satu saja,
yaitu bahwa saya menumbuk tepung, saya minta tolong kepadanya menjaga tepung
itu, lalu dia tertidur. Datang kambing, lalu dimakannya tepung itu." Aisyah
meneruskan cerita lagi: "Kemudian itu masuklah Rasulullah ke rumah, sedang
saya tengah duduk dengan kedua orang ayah-bundaku. Waktu itu ada pula tetamu
seorang perempuan Anshar, saya tengah menangis dan perempuan itu menangis
pula, karena kasihan kepadaku. Lalu Rasulullah duduk, dipujinya Allah dan
dimuliakanNya, kemudian beliau berkata: "Hai Aisyah, sudah banyak kata orang
tentang dirimu, takwa sajalah kepada Allah. Kalau benar-benar engkau telah
berbuat salah sebagai dikatakan orang-orang itu. Taubat sajalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah menerima taubat hambaNya."
Berkata Aisyah: "Demi Allah, Rasulullah telah berkata demikian pula,
sehingga tersenak airmataku, sehingga tak ada perasaanku lagi. Aku tunggu
sajalah moga-moga kedua ayah-bundaku dapat menyambut perkataan beliau, namun
tidak ada yang menyahut!"
Berkata Aisyah: "Demi Allah, aku merasa diriku ini kecil, sehingga tiadalah
kelayakan bagiku akan diturunkan Tuhan al-Quran karenaku, dalam mimpinya itu
Tuhan membuktikan bohongnya tuduhan-tuduhan itu, sehingga beliau tahu bahwa
aku bersih.
Adapun akan turun al-Quran, belumlah terlintas di anganku, aku
adalah merasa sangat kecil buat menerima kehormatan setinggi itu." Kedua
ayah-bundaku tidak juga bercakap. Lalu aku tegur: "Jawablah wahai ayah dan
bunda perkataan Rasulullah itu." Ayah-bundaku menjawab: "Demi Allah, kami
tak tahu apa yang akan kami jawabkan kepada beliau." Demi Allah, seru
sekalian alam, belumlah saya mengetahui ada rumahtangga lain yang menderita
batin sehebat yang diderita oleh rumahtangga Abu Bakar di hari itu.
Setelah kedua ayah-bundaku ternyata bingung hendak menyambut ucapanku itu,
aku menangis kembali, kemudian aku berkata: "Demi Allah, saya tidak akan
taubat kepada Allah, selama-lamanya saya tidak akan taubat tentang hal ini.
Demi Allah, saya lebih mengetahui, kalau saya mengakui apa yang diperkatakan
orang-orang itu. Allah lebih mengetahuinya bahwa saya tidak bersalah.
Niscaya saya mengatakan apa yang tidak pernah terjadi. Sebaliknya kalau saya
ingkari tuduhan mereka itu, namun ayah-bunda dan suami tidak juga percaya."
Dalam pada itu teringatlah olehku
nama Nabi Ya'kub ketika dia kehilangan puteranya Yusuf, lalu aku ulangkan
ucapan yang pernah diucapkannya :
"Aku sabar, yang
mulia indah, Allah tempatku memohon pertolongan pada yang kamu sifatkan itu."
Demi Allah, tidak lama antaranya, beliau,
Rasulullah yang duduk pada tempat duduknya itu, tiba-tiba beliau mulai
pingsan, yaitu pingsan yang selalu kejadian alamat Wahyu akan datang, lalu
beliau diselimuti dan aku letakkan bantal di kalangan hulu beliau.
Adapun saya sendiri - kata Aisyah - setelah saya lihat hal itu, demi Allah,
tidaklah saya merasa gentar dan tidaklah saya merasa cemas, saya yakin bahwa
saya bersih dari tuduhan, dan Tuhan tidak akan menganiayaku. Adapun kedua
ayah-bundaku, setelah mereka melihat yang demikian itu, kelihatan
beliaubeliau pucat seakan-akan nafas beliau akan keluar dari badan,
kalau-kalau Wahyu yang akan turun itu membenarkan apa yang dipercakapkan
orang selama ini. Sesaat kemudian Rasulullah yang mengalir keringat di
dahinya itu berkata: "Gembirakan hatimu Aisyah. Tuhan Allah telah menurunkan
kesaksian bahwa engkau suci!" Aku jawab perkataan Rasulullah itu dengan
pendek, "Alhamdulillah."
Bukan main gembiranya ayah-bundaku karena datangnya Wahyu itu, lalu bundaku
berkata: "Tegaklah Aisyah, ucapkanlah terimakasihmu kepada Rasulullah!" Aku
jawab: "Saya tidak akan berdiri untuk itu dan tidak ada yang akan saya puji,
melainkan Allah, sebab Allahlah yang menurunkan Wahyu tentang kesucianku."
Setelah itu Rasulullah keluarlah kembali
kepada orang banyak, lalu beliau berpidato dan dibacanyalah:
إِنَّ الَّذينَ جاؤُو بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ
لا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ
مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَ الَّذي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذابٌ
عَظيمٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu, adalah golongan
kamu juga. Janganlah kamu sangka berita bohong itu membawa akibat buruk bagi
kamu, tetapi adalah itu membaikkan. Setiap orang akan mendapat hukuman
tersebab dosa yang diperbuatnya, dan bagi yang mengambil bagian terbesar (dalam
penyebaran berita bohong itu), akan ditimpakan azab siksa yang besar." (ayat
11).
Maka terpeliharalah Aisyah dari tuduhan nista
dan rendah itu, dilakukan hukuman dera dengan rotan 80 kali, kepada
orang-orang yang tersangkut, termasuk Hasan bin Tsabit dan Hammah sendiri.
Adapun Abdullah bin Ubay yang "lempar batu sembunyi tangan", tidaklah
diapa-apakan oleh Rasulullah. Barangkali beliau tidak menuntutnya adalah
dengan maksud terlebih tinggi, yaitu hukuman batin yang lebih hebat atas
dirinya bukanlah karena didera, melainkan dengan kebencian orang banyak
atas dirinya. Kemana-mana akan disorokkannya mukanya. Bahkan seketika
beberapa tahun di belakang Abdullah bin Ubay mati, Rasulullah s.a.w. pun
masih bersedia menyembahyangkan jenazahnya, meskipun Saiyidina Umar bin
Khathab kurang setuju atas "toleransi" yang terlalu itu. Yang penting
rupanya bagi Rasulullah sebagai seorang pembangun ummat bukan kepuasan batin
karena dapat membalaskan kesakitan yang ditimpakan Abdullah bin Ubay itu.
Yang penting bagi Rasulullah ialah menunjukkan kepada Abdullah bin Ubay
bahwa segala usahanya betapa pun curang dan nistanya, tidak akan dapat
menghambat dan menghalangi terbit memancarnya matahari Islam.
Seorang perawi Hadits yang masyhur, yaitu Masruq, apabila membawakan Hadis
dari Aisyah selalu berkata:
"Telah memberitakan
kepadaku "shiddiqah anak Shiddiq (si jujur anak si jujur), kecintaan
Rasulullah s.a.w. yang dijamin kesuciannya dari langit."
Dengan demikian maka
fitnah yang disebarkan itu, yang tadinya disangka akan dapat meruntuhkan dan
menumbangkan pohon kemuliaan yang besar, telah bertukar menjadi penolong
buat memperteguh uratnya ke bumi.
Dan karena ayat-ayat yang khas diturunkan Tuhan untuk membela kesucian dan
kehormatan Siti Aisyah ini teringatlah kita suatu kejadian, bahwa seorang
Nasrani yang sengaja hendak menghina Nabi kita, telah sengaja mengejekkan
Tuhan untuk membela kesucian dan di hadapan seorang Muballigh Islam. Dan
mengatakan bahwa Wahyu-wahyu ini hanyalah dibuat-buat saja oleh Muhammad,
untuk membela isterinya, karena dia sangat kasih kepada isterinya itu.
Ejekan yang demikian telah dijawab oleh Muballigh Islam tadi demikian: "Dua
orang wanita yang suci telah mendapat tuduhan yang sama beratnya oleh
musuh-musuh Tuhan. Di sini tersebut Aisyah, padahal ada seorang lagi.
Dan
yang seorang lagi itu lebih berat lagi tuduhan orang kepadanya: "Dia dituduh
berzina pula mendapat anak dari perhubungan jahat itu." Sedang Aisyah
tidaklah dituduh sampai beranak.
Si Nasrani bertanya: Siapa..... ?
Si Muballigh rnenjawab: "Maryam ibu Isa Almasih. Keduanya sama tertuduh,
tetapi kedua perempuan suci itu telah sama mendapat pembelaan dari al-Qurari.
Al-Quran mempertahankan kesucian Maryam ibu Isa sama dengan mempertahankan
Aisyah anak Abu Bakar as-Shiddiq. Wahyu Tuhan mempertahankan kesucian
Maryam itu lebih jelas daripada catatan-catatan yang tertulis dalam
kitab-kitab Injil yang tuan pegang. Dan kami orang Islam mempercayai
bahwasanya kedua Wahyu pembelaan kesucian itu sama datangnya dari Tuhan dan
kami percayai pula keduanya. Maka kalau saudara tidak percaya Wahyu yang
diturunkan untuk membela Aisyah, haruslah saudara tidak percaya pula akan
Wahyu yang mempertahankan Maryam ibu Isa."
Dalam permulaan ayat sudah ditegaskan bahwa ini adalah ijki, berita bohong,
khabar bohong dan dusta yang dibuat-buat. Dengan permulaan ayat ini saja,
berita yang ditunggu kesucian Aisyah telah jelas sehingga orang tidak usah
menunggu lebih lama lagi. Dan telah diisyaratkan di sini bahwasanya berita
bohong ini bukan datang dari orang luar, tetapi dari golongan sendiri "orang
dalam". Ada karena dengan maksud tertentu dan ada karena kebodohannya.
Sebab khabar berita ifki yang sengaja disebarkan untuk membuat kekacauan
fikiran, cepat benar merata, laksana api makan lalang. Kadangkadang orang
yang jujur dapat terjebak ke dalam pemfitnahan itu karena pengaruh "bisik-desus"
sehingga tidak dapat menimbang. Dalam ayat ini diberikan Tuhan ajaran agar
orang yang beriman berfikir tenang.
Dipandang sepintas lalu amatlah buruknya hal ini, tetapi kalau direnungkan
lebih mendalam, ada pula hikmat tertinggi yang membawa kebaikan. Siti
Aisyah memang dihormati selama ini, karena suaminya Rasulullah dan ayahnya
pembantu utama Rasulullah. Tetapi meskipun Nabi dan ayahnya orang-orang
yang utama, belum jelas apakah dia orang yang mempunyai peribadi sendiri
pula yang menyebabkan dia utama karena keutamaannya sendiri. Berapa banyak
orang "turut besar" karena ayahnya orang besar atau suaminya orang besar,
padahal dirinya sendiri tidak ada harga apa-apa. Dengan 15 ayat pembelaan
yang diturunkan Tuhan kepada Rasulullah membela Aisyah, teranglah bahwa
Aisyah besar bukan karena suaminya Nabi dan ayahnya ummat Nabi yang utama
saja, dia sendiri pun besar.
Orang-orang yang terbawa-bawa oleh gelombang fitnah, sebagai Hasan bin
Tsabit dan Misthah mendapat hukuman menurut undang-undang yang telah
ditentukan sebelumnya, yaitu didera 80 kali. Apa boleh buat, hukum mesti
berjalan, walaupun Hasan dikenal seorang pujangga, bergelar "Penyair Nabi"
yang di saat-saat penting ketika menghadapi musuh, atau menyambut utusan
telah mempergunakan keahliannya bersyair, Dan selepas beroleh hukuman itu
kedudukannya dalam masyarakat Islam diperbaiki kembali. Pekerjaan-pekerjaan
penting diserahkan kepadanya. Bahkan setelah Rasulullah wafat, Hasan duduk
dalam panitia pengumpul al-Quran.
Di dalam ayat ini disebutkan bahwa yang jadi pemegang peranan besar dalam
penyebaran berita bohong itu, atau "biang keladi"nya akan diberikan hukuman
yang berat pula. Orang itu ialah Abdullah bin Ubay. Tetapi dalam kenyataan
Abdullah bin Ubay tidak dihukum, tidak dirajam. Mengapa demikian?
Kalau orang fikirkan betapa kompak teguhnya masyarakat Islam ketika itu,
akan maklumlah orang bahwa tidak dirajamnya Abdullah bin Ubay adalah hukuman
yang amat berat baginya. Dia dipandang sebagai "orang lain", dia tidak
dipercaya lagi, dia tidak dibawa sehilir semudik lagi, sehingga lantaran dia
tidak dihukum, padahal Rasulullah mempunyai cukup wibawa buat menghukumnya,
adalah satu pukulan batin yang amat besar baginya.
Hanya orang Mu'min yang mengenal rahasia ini.
لَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ
الْمُؤْمِنُونَ وَ الْمُؤْمِناتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْراً وَ قالُوا هذا إِفْكٌ
مُبين
"Alangkah baiknya setelah mendengar berita itu, berbaik sangka laki-laki
yang beriman, dan perempuan yang beriman kepada diri mereka, dan mereka
langsung berkota: "Ini adaloh bohong yang songat nyata." (ayat 12).
Dalam ayat ini diberikan tuntunan hidup bagi orang-orang yang beriman,
laki-laki dan perempuan agar mereka berbaik sangka kepada saudaranya Mu'min.
Bahkan hendaklah orang-orang yang beriman itu memandang saudaranya sebagai
dirinya sendiri. Buruk sangka kepada sesama Islam, apalagi sesama mu'min tidak mungkin kejadian dalam masyarakat Islam. Baik sangka adalah salah satu
akibat daripada iman. Dan teman harus dipandang sebagai diri sendiri.
Mengapa sampai dikatakan bahwa saudaramu itu adalah dirimu? Tafsir ini jika
dimasukkan dalam rangka Ilmu Jiwa adalah dalam sekali. Jika terdengar
tuduhan buruk kepada seseorang, terutama seseorang sebagai Siti Aisyah itu,
hanya orang yang tidak beriman saja yang akan timbul goncang hatinya karena
pengaruh khabar itu. Adapun orang yang beriman tidak segera menerimanya,
spontan serta-merta dia akari menolak. Dikaji terlebih dahulu peribadi
Aisyah sendiri, perempuan muda yang selama ini jujur belum cacat namanya,
ghafilat dan muhshanat, bersuami seorang manusia besar, Muhammad s.a.w. dan
anak seorang pejuang Islam yang besar, Abu Bakar, yang sejak Islam
dipancangkan di muka bumi ini, dialah orang pertama yang tegak berdiri di
samping Nabi.
Ibu Aisyah sendiri pun tidak ada terkenal cacat namanya sejak zaman
jahiliyah sampai ke zaman Islam. Orang mungkin dapat berbuat dosa kecil (shagaair)
karena insan terjadi dari air dan tanah, tetapi orang yang beriman, akan
sengaja berbuat dosa besar (kabaair), yaitu zina, maka jiwa seorang Mu'min
serta-merta akan menolak berita itu. Karena hal itu diukurnya dengan dirinya
sendiri pula.
Bandingkanlah hal ini dengan tuduhan yang ditimpakan orang kepada Maryam
Albatul, Ibu Nabi Isa `alaihis-salam. Tiba-tiba dia sudah beranak saja
padahal dia masih dara, maka orang-orang yang melihat kenyataan itu, karena
imannya masih mengakui kesucian Maryam berkata, sebagai yang diterangkan
Tuhan dalam Surat Maryam ayat 28.
"Hai saudara perempuan . Harun, kami mengenal ayahmu tidaklah seorang jahat
dan ibumu pun tidaklah seorang perempuan yang dikenal buruk."
Adakah engkau orang beriman? Kalau engkau jawab: "Ada!", maka tidak mungkin
engkau berfikir lain. Engkau akan menjawab: "Khabar itu bohong."
Untuk menjadi perbandingan hendak kita kisahkan satu kisah yang terhadap
pada penulis Tafsir ini sendiri. Pada tahun 1952 dia melawat ke Amerika
selama 4 bulan. Di satu kota besar, kalau tak salah San Fransisco bertemulah
seorang kawan lama yang sama datang dari Indonesia. Kawan itu berkata sambil
bergurau: "Sudah pernahkah saudara selama di Amerika pelesir dengan wanita
Amerika?" Dia menjawab: "Belum pernah dan tidak pernah, Insya Allah!" Kawan
itu berkata lagi: "Ah bohong. Saya tidak percaya." lalu dia menjawab: "Kalau
saudara tidak mau percaya, apakah yang akan saya katakan lagi."
Niscaya kawan itu tidak juga akan percaya, selama dia masih mengukur orang
lain dengan dirinya. Dan kalau dia menjadi seorang Mu'min, dia pun akan
percaya jawaban itu, sebab dia pun mengukur dengan dirinya.
Satu kisah lain pula. Seorang pemuda naik Haji ke Makkah, lalu pulang dan
berjumpa pula dengan Penulis Tafsir ini. Dengan sedikit sikap sombong dia
berkata: "Sekarang saya sudah tahu, di Makkah pun ada perempuan lacur."
Lalu Penulis Tafsir ini menjawab: "Satu keganjilan, Saudara naik Haji ke
Makkah, di sana Saudara bertemu dengan perempuan lacur. Saya sudah ke negeri
Belanda, ke Amerika, ke Australia dan ke Paris, namun saya tak bertemu
perempuan lacur."
Orang yang tidak beriman percaya kepada berita yang pertama, dan orang yang
beriman percaya kepada berita yang dibawakan oleh yang
kedua itu. Sebab masing-masing orang mengukur orang lain dengan dirinya.
Oleh sebab itu maka salah satu
prinsip pendirian Islam ialah:
"
Hendaklah berbaik
sangka terhadap sesama Islam. "
لَوْلا جاؤُو عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَداءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا
بِالشُّهَداءِ فَأُولئِكَ عِنْدَ اللهِ هُمُ الْكاذِبُون"
Mengapa dalam hal ini mereka tidak
mengemukakan empat orang saksi? Kalau mereka tidak mengemukakan saksi-saksi
itu maka di sisi Allah adalah mereka pembohong belaka." (ayat 13).
Di sini nampaklah bahwa tidak boleh murah-murah menjatuhkan tuduhan: Tuduhan
yang tidak beralasan hanyalah membawa kekacauan dan fitnah. Mu'min sejati
tidaklah sudi menjadi tukang fitnah.
Di sisi Allah adalah mereka pembohong belaka. Tetapi di sisi si munafik,
bohong itulah yang mereka benarkan dan yang benar, itulah yang mereka
bohongkan. Sekarang engkau hendak menuruti pendirian Allah atau menuruti
pendirian orang-orang munafik?
وَلَوْلا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيا وَ الْآخِرَةِ
لَمَسَّكُمْ فيما أَفَضْتُمْ فيهِ عَذابٌ عَظيمٌ
"Dan kalau tidaklah anugerah Tuhan dan rahmatNya kepada kamu di dunia dan di
akhirat niscaya azab siksa besarlah yang akan ditimpakan Tuhan kepadamu
karena penyebaran berita bohong itu." (ayat 14).
Dapatlah dirasakan sendiri di dalam zaman moden ini apa intisari ayat ini.
Dalam satu masyarakat yang teratur, keamanan dan ketenteraman umum wajib
dijaga. Dan di samping itu kehormatan Kepala Negara wajib pula dipelihara
clan dibela. Adalah suatu dosa besar, suatu perbuatan yang amat merusak
apabila maruah Rasulullah, Nabi dan Rasul, Pahlawan dan Pemimpin, pembentuk
Agama dan masyarakat Agama, diganggu ketenteramannya dengan membuat tuduhan
demikian rendah terhadap kepada isterinya.
Adalah suatu perbuatan yang sangat rendah dan mengacau ketenteraman umum
jika kehormatan diri seorang pejuang besar, Abu Bakar, dijadikan permainan
mulut dengan memperkatakan buruk bagi anak perempuannya yang dengan penuh
rasa cinta dan hormat telah diserahkannya menjadi isteri Rasulullah. Adalah
suatu dosa besar menuduh buruk kepada perempuan suci, dan lebih besar lagi
dosa itu jika dihadapkan kepada isteri Nabi dan anak pejuang besar Islam.
Tetapi kurnia Tuhan masih ada, rahmatNya masih meliputi alam, sebab itu baru
pengalaman pertama. Dan dengan Wahyu-wahyu yang demikian keras. dapatlah
menjadi pengajaran buat seterusnya.
Bagi kita di zaman moden hal ini pun menjadi perbandingan pula. Kita
menegakkan demokrasi , kebebasan menyatakan perasaan dan fikiran. Tetapi
demokrasi yang menjamin keselamatan dunia adalah demokrasi yang timbul dari
budi luhur. Hasad, dengki, benci dan dendam yang ada dalam batin yang kotor,
bisa juga memakai alasan "demokrasi" untuk melepaskan hawanafsu bencinya
menyinggung kehormatan seseorang. Maka penguasa pun berhak membungkem
demokrasi yang diartikan dengan salah itu.
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَ
تَقُولُونَ بِأَفْواهِكُمْ ما لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَ تَحْسَبُونَهُ
هَيِّناً وَ هُوَ عِنْدَ
اللهِ عَظيم
"Seketika kamu sambut berita itu dengan lidahmu, don kamu katakan dengan
mulutmu, perkara yang sebenamya tidak kamu ke:ahui duduknya, dan kamu sangka
bahwa itu perkara kecil, padahal di sisi Allah dia perkara besar." (ayat
15).
Ayat ini mengandung bahan yang amat kaya untuk mengetahui apa yang dinamai "Ilmu
Jiwa Masyarakat" atau "Mass Psychologie", Tukang propokasi menyebarkan
khabar-khabar bohong, di zaman perang dahulu dinamai "Radio Dengkul". Tidak
tentu dari mana pangkalnya dan apa ujungnya.
Disambut dengan lidah saja, sambut-menyambut, lidah ke lidah, dan diberi
nafas buat "menceknya" kata orang sekarang. Kadang-kadang timbullah
kebingungan dan panik. Orang-orang yang hendak dirugikan dengan menyebarkan
berita itu kadang-kadang tidak diberi kesempatan berfikir, sehingga dia
sendiri pun kadang-kadang jadi ragu akan kebenaran pendiriannya. Orang-orang
yang lemah jiwa, yang hidupnya tidak mempunyai pegangan mudah terjebak
kepada propokasi yang dernikian.
Tetapi orang-orang yang masih sadar, karena teguh persandarannya kepada
Tuhan, hanya sebentar dapat dibingungkan oleh berita itu. Di sini nampaklah
kebesaran peribadi Aisyah. Dia yakin bahwa dia tidak salah. Demi seketika
ayat turun membersihkannya dari tuduhan yang nista itu, ibunya menyuruhnya
berdiri untuk mengucapkan terimakasih kepada Nabi, namun dia tidak berkocak.
Dia berkata dengan tegas: "Tidak, anakanda tidak hendak berdiri mengucapkan
terimakasih kepada Rasulullah, tetapi anakanda hendak menyampaikan puji-puja
langsung kepada Allah, sebab Allahlah yang membersihkan anakanda dari
tuduhan."
Memanglah dia berhak mendapat julukan "Ummul Mu'minin", ibu dari sekalian
orang yang percaya. Adapun si lemah yang tidak berpendirian, bisalah
diombang-ambingkan oleh berita itu, menjadi keinginan yang amat buruk, bila
bertemu satu sama lain, mempercakapkan keburukan orang lain. Karena tabiat (instink)
ingin tahu pada manusia, ingin pula mengemukakan berita ganjil, sehingga
menjadi "rahasia umum". Disangka perkara mudah, padahal perkara besar.
Sesudah itu maka di ayat berikut (ayat 16) sekali lagi Tuhan memberikan
pedoman hidup bagi orang beriman.
وَلَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ
قُلْتُمْ ما يَكُونُ لَنا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهذا سُبْحانَكَ هذا بُهْتانٌ
عَظيم
"Mengapa ketika kamu menerima berita itu tidak kamu katakan saja: "Tiada
sepatutnya bagi kami akan turut memperkatakan hal itu. Amat Suci Engkau
Tuhan, ini adalah suatu kebohongan besar." (ayat 16)
Tidak sepatutnya bagi kami, artinya bagi orang yang beriman terbawa rendong
ke dalam kancah kerendahan budi. Hidup Muslimin mempunyai pegangan teguh,
mempunyai apa yang di zaman moden disebut "kode" dan "etik".
Orang yang heriman, lidahnya berbicara dengan penuh tanggungjawab. Dia
mempunyai kepercayaan bahwa pendengaran, penglihatan dan hati sanubari,
semuanya akan bertanggungjawab di hadapan Tuhan. Semua perbuatan dan
perkataannya tercatat oleh kedua Malaikat, Raqib dan 'Atid.
Memang berat menegakkan budi dalam dunia ini dan berat beban menjadi orang
Islam. Pagar budi, membatasi kita jangan berlaku curang dalam hidup. Jika si
munafik, tidak ada yang mengontrolnya buat membikin hasutan dan fitnahan,
namun kita dijaga dan dipelihara oleh ayat-ayat Tuhan agar jangan berbuat
begitu.
Abraham Lincoln, meninggalkan pesan kata hikmat yang dalam: "Suatu kedustaan
bisa laku dalam satu masa untuk satu golongan. Tetapi satu kebohongan tidak
bisa laku untuk segala masa dan untuk segala golongan." Kemudian itu Tuhan
bersabda:
يَعِظُكُمُ اللهُ أَنْ تَعُودُوا
لِمِثْلِهِ أَبَداً إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنينَ
"Tuhan memberi pengajaran bagi kamu, supaya jangan mengulangi lagi
perbuatan seperti itu buat selama-selamanya. Kalau betul kamu mengakui
beriman. " (ayat 17).
Cukuplah hal yang sekali ini buat menjadi pengalaman bagi kamu. Janganlah
terulang lagi yang kedua kali dan yang seterusnya. Karena perbuatan begini
tidak mungkin timbul dari orang yang beriman, kalau tidak karena bodoh clan
tololnya. Orang yang beriman tidaklah akan telap oleh propokasi. Penyiar
khabar nista tidak mungkin orang yang beriman. Penyiar khabar dusta sudah
pasti orang yang munafik atau busuk hati, karena maksud yang tertentu, dan
yang sanggup menerimanya hanyalah orang yang goyang imannya.
Kamu senantiasa wajib waspada, karena kesatuan imanmu tidak mungkin
dirusakkan dari luar, tetapi hendak diruntuhkan dari dalam. Kaum munafikin
tidak senang hati melihat gemilang jaya Nabi Muhammad dengan perjuangannya:
Segala persekongkolan hendak menentang Nabi telah mereka coba. Semuanya
gagal. Jalan satu-satunya buat melepaskan sakit hati ialah mengganggu
perasaannya , menuduh isterinya berbuat serong. Sekarang ayat-ayat ini adalah
Kurnia ilahi dan RahmatNya, cara kasarnya ialah bahwa "Tuhan turun tangan"
membersihkan nama Aisyah.
Lalu Tuhan bersabda selanjutnya:
وَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ
الْآياتِ وَ اللهُ عَليمٌ حَكيمٌ
"Dan telah dijelaskan oleh Tuhan ayat-ayatNya kepada kamu! Dan Tuhan
Allah adalah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana." (ayat 18).
Tersimpullah sudah apa yang telah disabdakan Tuhan di permulaan Wahyu, bahwa
hal ini meskipun ditimbulkan "musuh dalam selimut" dengan maksud buruk,
akibatnya adalah baik. Nama Aisyah bersih, suci gemilang, yang bahkan Aisyah
sendiri pun tadinya tidak menyangka akan mendapat kehormatan dari Tuhan
sebesar itu, sampai dia berkata yang artinya: "Belumlah tarafnya hamba
mendapat kehormatan setinggi itu."
Dan seterusnya pun Aisyah menjadi peribadi yang besar, sehingga di atas
haribaannyalah beberapa tahun di belakang itu. Rasulullah s.a.w.
menghembuskan nafasnya yang penghabisan, meninggalkan dunia yang fana ini.
Di dalam bilik kediamannyalah Nabi dan kedua sahabat pembelanya, Abu Bakar
dan Urnar dikuburkan. Dan sebelum Urnar dikuburkan di bilik itu Aisyah yang
masih tetap berdiam di dekat kubur suami dan ayahnya kerapkali dengan kutang
sehelai saja di dalamnya, karena tidak ada orang lain.
Tetapi setelah Urnar bin Khathab luka ditikam orang, dan merasa dirinya akan
mati, mengirim puteranya Abdullah bin Umar, kepada Aisyah memohon diizinkan
berkubur di dekat kedua sahabatnya, di unjuran saja pun jadi. Sampai beliau
berpesan kepada Abdullah bin Umar: "Jika Aisyah izinkan, senanglah hatiku
berkubur di sana, di dekat kedua orang kekasihku. Tetapi jika dia tidak
berkenan, hantarkan aku ke Padang Baqi'."
Aisyah memberi izin.
Dan setelah Umar berkubur di sana, sampai Aisyah meninggal pula 65 tahun
kemudian, didindingnya baik-baik di antara pusara itu dengan bangku tidumya,
dan jika dia masuk ke pusara itu, dipakainya pakaian yang lengkap,
ditutupnya rambutnya rapat-rapat.
Radhiallahu `anha wa ardhaaha..
01 02 03 04 05 06 07
08
09
10
11
12
13
14
15 Main Page ....
>>>> |