سَيَقُوْلُ السُّفَهَاءُ مِنَ
النَّاسِ مَا وَلاَهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِيْ كَانُوْا عَلَيْهَا قُلْ
ِللهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ يَهْدِيْ مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ
مُّسْتَقِيْمٍ
(142)
Akan berkata yang bodoh-bodoh dari manusia itu : Apakah yang memalingkan
mereka itu dari kiblat mereka yang telah ada mereka padanya ? Katakanlah
:Kepunyaan Allah timur dan barat. Dia memberi petunjuk siapa yang Dia
kehendaki kepada jalan yang lurus.
وَ كَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَ يَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ
شَهِيْدًا وَ مَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَا إِلاَّ
لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَ
إِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللهُ وَ مَا كَانَ
اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ
(143) Dan
demikianlah , telah Kami jadikan kamu suatu ummat yang di tengah, supaya
kamu menjadi saksi-saksi atas manusia, dan adalah Rasul menjadi saksi(pula)
atas kamu. Dan tidaklah Kami jadikan kiblat yang telah ada engkau atasnya,
melainkan supaya Kami ketahui siapa yang mengikut Rasul dari siapa yang
berpaling atas dua tumitnya. Dan memanglah berat itu kecuali atas orang yang
telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan tidaklah Allah akan menyia-nyiakan
iman kamu. Sesungguhnya Allah terhadap manusia adalah Penyantun lagi
Penyayang.
Dari Hal Kiblat I
Pada ayat 115 (juzu' 1) telah difirmankan dengan
jelas, bahwasanya baik timur ataupun barat, baik jurusan yang mana saja,
semuanya itu adalah kepunyaan Allah, dan ke mana sajapun menghadap, di sana
akan diterima juga oleh wajah Allah. Sebab Allah tidak menempati sesuatu,
bahkan Dia Maha Luas dan Maha Mengetahui. Oleh sebab itu, pada pokoknya ke
mana sajapun kita menghadapkan muka di kala shalat, yang kita hadapi
tetaplah wajah Allah, asal kita kerjakan dengan khusyu'.
Tetapi agama bukanlah semata-mata urusan peribadi. Agamapun adalah kesatuan
seluruh insan yang sefaham dalam iman kepada Allah dan ibadat dan amal
shalih. Terutama sekali dalam mengerjakan shalat. Kalau sekiranya semua
orang menghadap ke mana saja tempat yang disukainya, meskipun yang disembah
hanya satu, di saat itu juga mulailah ada perpecahan ummat tadi. Maka dalam
Islam bukan saja cara menyembah Allah itu diajarkan dalam waktu-waktunya
yang tertentu, dengan rukun dan syaratnya yang tertentu, tempat menghadapkan
mukapun diatur jadi satu.
Menurut riwayat yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim daripada al-Bara',
bahwa Nabi s.a.w, mula datang ke Madinah, beliau menepat pada akhwalnya
(keluarga dari pihak ibu) dari kaum Anshar. Di waktu mula datang itu beliau
shalat menghadap ke Baitul Maqdis, lamanya l6 atau 17 bulan. Sedang beliau
rindu sekali kiblatnya itu menghadap ke Baitullah (Ka'bah). Setelah
permohonan beliau itu dikabulkan Tuhan, maka shalat yang mula dihadapkannya
ke Ka'bah itu ialah shalat Ashar. Suatu kaum menjadi ma'mum di belakang
beliau. Setelah selesai shalat, searang di antara ma'mum itu pergi ke luar
mesjid. Maka bersumpahlah orang itu sambil berkata:
"Saya bersaksi di hadapan Allah, bahwa saya baru saja selesai shalat bersama
Nabi s.a.w. menghadap ke Ka'bah."
Mendengar perkataan orang itu maka sekalian orang yang shalat itu
memalingkan mukanya ke Ka`bah dengan tidak memutusi shalatnya.
Sampai sekarang mesjid tempat orarng mengalih kiblat sedang shalat itu masih
tetap dijadikan mesjid peringatan sejarah bernama mesjid Zul Kiblataini.
Yang empunya dua kiblat.
Inilah satu riwayat yang berkenaan dengan perputaran kiblat itu, disertai
lagi oleh bebarapa Hadits yang lain.
Menurut satu riwayat dari lbnu Abi Hatim , lbnu Jarir, Ibnu Mundzir dan
al-Baihaqi, mereka mengatakan bahwa lbnu Abbas pernah berkata bahwa nasikh
mansukh yang pertama terdapat dalam al-Quran, ialah urusan perpindahan
kiblat itu , tetapi setengah ahli lagi berpendapat bahwa dalam urusan ini
tidak terdapat nasikh-mansukh. Sebab bila Nabi Muhammad mulanya menghadap
Kiblat! Baitul Maqdis, adalah menurut ijtihad beliau sendiri , sebeium ada
ketentuan dari Tuhan. Sebab selama ini kedudukan Baitul Maqdis masih
istimewa dan Ka'bah sendiri masih penuh dengan berhala.
Menurut riwayat lbnu Abi Syaibah dan Abu Daud dan al-Baihaqi pula dari lbnu
Abbas, katanya ketika Rasulullah masih di Makkah sebelum pindah ke Madinah,
kalau shalat, beliau menghadap kiblat ke Baitul Maqdis, tetapi Ka'bah di
hadapan beliau. Dan setelah pindah ke Madinah, beliau langsung berkiblat ke
Baitul Maqdis 16 bulan setelah itu Allah memalingkan kiblatnya ke Ka'bah.
Untuk mengetahui duduk perkara, di sini kita salin beberapa riwayat
berkenaan dengan soal kiblat itu.
Tentu kita telah mengerti dasar bermula di ayat 115 tadi. Jika ummat
dipimpin menyatukan haluan kiblatnya, baik di Baitul Maqdis atau ke Masjidil
Haram, bukanlah karena Tuhan Allah bertempat di kedua tempat itu. Atau
mulanya Tuhan bertempat di Baitui Maqdis kemudian pindah ke Ka'bah.
Bukan! Kiblat-kiblat itu adalah tempat biasa. Alam biasa dan batu biasa di
Baitul Maqdis memang ada Sakhrah, yaitu batu yang menurut riwayat banyak
kejadian yang berhubung dengan diri Nabi-nabi pada batu itu. Tetapi diapun
batu biasa. Ada orang yang membuat dongeng bahwa batu itu tergantung tidak
bertali ke langit. Teranglah bahwa itu dongeng yang tidak-tidak yang hanya
dapat dipercaya oleh orang bodoh-bodoh yang belum pernah melihatrrya ke
sana. Batu itu tidak tergantung, melainkan terlekat di atas bumi, berlobang
sedikit ke dalam, sebagai batu-batu gua di mana-mana di dunia ini.
Dan Ka'bah pun bukan batu akik atau yaqut yang didatangkan dari syurga Maka
bukanlah karena batu-batu itu istimewa sangat, sehingga telah tergantung di
antara alam dengan Tuhan, maka dianya yang dijadikan tempat buat kiblat ,
Ka`bah sendiri berkali-kali telah rusak. Di tahun 1957 pernah ada retak di
Ka'bah, lalu dicari batu yang bagus-bagus dan ditambah dengan semen; bukan
semen dari syurga, tetapi semen dari pabrik.
Enambelas atau tujuhbelas bulan lamanya berkiblat ke Baitul Maqdis Maka
Rasulullah s.a.w: sangatlah rindu jika Tuhan Allah menurunkan perintah wahyu
kembali menyuruh berkiblat ke Masjidil Haram yang di Makkah. Kerinduan
beliau itu sudah dapat dimaklurni dari wahyu-wahyu yang telah turun terlebih
dahulu mengatakan bahwa rumah yang di Makkah itu diperintahkan Tuhan kepada
Ibrahim buat mendirikannya.
Maka oleh sebab Nabi Muhammad s.a.w. berkewajiban melanjutkan ajaran Ibrahim
itu, yaitu menyerah diri kepada Allah, yang menjadi pokok asal dari sekalian
agama, niscaya akan datanglah masanya, datang perintah menghidupkan kiblat
yang asli itu kembali. Sebab dialah rumah tempat beribadat kepada Allah Yang
Esa yang pertama sekali dibangunkan untuk manusia (lihat Surat ali lmran,
Surat 3 ayat 96).
Apatah lagi di dalam Strategi perjuangan, kepindahan Rasulullah s.a.w. ke
Madinah ialah dengan tujuan memperkuat kaum Muslimin, untuk merebut Ka`bah
itu kelak dari kaum musyrikin dan membersihkannya daripada berhala. Dengan
segeranya kiblat dikembalikan ke sana, maka semangat buat merebutnya itu
bertambah berkobar dalam dada seluruh ummat Tauhid yang telah mulai disusun
di Madinah.
Tuhan Allah Yang Maha Mengetahui akan segala rahasia hati hambaNya dan telah
mengetahui keinginan RasulNya itu memberi ingatlah kepada Nabi s.a.w. bahwa
peralihan kiblat itu kelak akan membawa suatu keributan lagi di kalangan
orang-orang yang bodoh-bodoh. Inilah ayatNya:
سَيَقُوْلُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا
وَلاَهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِيْ كَانُوْا عَلَيْهَا
"Akan berkata yang bodoh-bodoh dari manusia
itu; Apakah yang memalingkan mereka itu dari kiblat mereka yang telah ada
mereka padanya?" (pangkal ayat 142).
Tadi di atas telah kita salinkan beberapa Hadits
yang menyatakan bahwa setelah Rasulullah s.a.w. berhijrah ke Madinah, kiblat
yang beliau hadapi ialah Baitul Maqdis. Setelah 16 atau 17 bulan, lalu
dipalingkan kiblat itu ke Ka'bah. Di dalam ayat ini telah diperingatkan
kepada Rasulullah s.a.w. bahwa sebelum kiblat itu beralih , maka orang-orang
yang bodoh di kalangan manusia itu akan menjadikannya percakapan yang ribut,
mengapa dialihkan kiblatnya, padahal selama ini dia berkiblat ke Baitul
Maqdis. Di dalam ayat ini disebut Sufahaau' , sebagai kata jama` dari safih,
yaitu orang-orang bodoh yang berfikiran dangkal , yang bercakap asal
bercakap saja, tetapi tidak sanggup mempertanggungjawabkan apa yang
diucapkannya.
Mereka bercakap hanya asal keluar saja. Ada yang berkata bahwa peralihan
kiblat ini ialah karena Muhammad itu berfikir kurang matang , sebentar
menghadap ke sana sebentar menghadap ke mari. Dan ada pula yang berkata
bahwa Muhammad hendak mengajak manusia kembali kepada agama nenek-moyangnya.
Sebab di waktu itu di Ka'bah masih didapati berhala-berhala. Semuanya ini
adalah lidah yang tidak bertulang. Maka di dalam ayat ini Nabi diberi
peringatan, bahwa sebagaimana sudah terbiasa, apabila seorang Rasul atau
pemimpin membuat suatu perobahan baru, sudah pasti akan ada ribut-ribut.
Tetapi ribut-ribut hanya akan datang dari orang-orang bodoh , orang yang
tidak bertanggung jawab. Baik penduduk Madinah yang memang munafik ataupun
orang Yahudi yang berkeliaran di Madinah yang tidak marasa senang hati,
karena dengan peralihan kiblat dari Baitul Maqdis itu , kemegahan mereka
akan runtuh. Sebab menurut rnereka, sumber agama Yahudi itu adalah Baitul
Maqdis dan di Baitul Maqdis pula timbul Nabi-nabi dan Rasul-rasul dari Bani
Israil. Dengan demikian orang dapat mengambii kesan bahwa ajaran Nabi
Muhammad itu hanyalah tiruan atau jiplakan dari agama mereka saja.
Kepada Nabi Muhammad diperingatkan bahwa kata-kata dari orang-orang yang
bodoh itu tidak perlu diacuhkan. Yang akan diberi penerangan bukanlah si
bodoh dan dungu atau bebal, melainkan orang yang berfikir waras. sebab itu
bersabdaAllah dalam lanjutan ayat itu:
قُلْ ِللهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ
"Katakanlah : Kepunyaan Allah timur dan
barat. " Artinya
bahwasanya di sisi Tuhan, baik barat ataupun timur, baik utara ataupun
selatan, adalah sama saja. Segala penjuru dunia ini Tuhan yang empunya. Jika
di waktu yang sudah-sudah orang berkiblat ke Baitul Maqdis bukanlah berarti
bahwasanya Allah Ta'ala bertempat di Baitui Maqdis dan jika kemudian
dialihkan ke Ka`bah, bukan pula berarti bahwa Allah bertempat di Ka'bah atau
telah berpindah ke sana. Soal peralihan tempat bukanlah soal penempatan
Tuhan di salah satu tempat:
يَهْدِيْ مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ
"Dia memberi petunjuk siapa yang Dia
kehendaki, kepada jalan yang lurus." (ujung ayat 142).
Ayat ini memberi kejelasan bahwa soal beralih
atau tetapnya kiblat, bukanlah berarti karena tempat itu yang kita sembah.
Timur dan barat, utara dan selatan dan penjuru yang manapun adalah kepunyaan
Allah.
Di antara Baitul Maqdis dengan Baitullah al-Haram di Makkah tidak ada
perbedaan pada sisi Allah. Keduanya sama-sama terdiri dari batu dan kapur
yang diambil dari bumi Allah. Tujuan yang terutama adalah tujuan hati, yaitu
memohonkan petunjuk jalan yang lurus kepada Tuhan, yang Tuhan bersedia
memberikannya kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Dengan keterangan ini
dijelaskan duduk soal yang bisa mengacaukan fikiran, karena kacau-balau dari
cara berfikir orang-orang yang bodoh.
Tegasnya, meskipun tetap menghadap ke Baitul Maqdis, ataupun telah beralih
kepada Ka'bah, namun kalau hati tidak jujur, kalau langkah yang ditempuh di
dalam hidup adalah langkah curang, beralih atau tidak beralih kiblat,
tidaklah akan membawa perobahan bagi jiwa.
Qleh sebab itu percakapan dari orang-orang yang bodoh janganlah sampai
membawa orang-orang yang berakal cerdas terpesona daripada maksud agarna
yang bermula.
Jangan sarnpai orang yang berakal fikiran cerdas meninggalkan pokok
(prinsip) karena terbawa oleh aliran yang kacau dari orang bodoh, lalu
bertengkar pada soal ranting (detail).
Untuk itu dijelaskan lagi bagaimana kedudukan ummat Muhammad di dalam
menegakkan jalan lurus yang dikehendaki itu. Berkatalah ayat selanjutnya.
وَ كَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
"Dan demikianlah telah Kami jadikan kamu
suatu ummat yang di tengah." (pangkal ayat 143).
Dan ada dua ummat yang datang sebelum ummat
Muhammad, yaitu ummat Yahudi dan ummat Nasrani. Terkenallah di dalam riwayat
perjalanan ummat ummat itu bahwasanya ummat Yahudi terlalu condong kepada
dunia, kepada benda dan harta. Sehingga di dalam catatan kitab Suci mereka
sendiri, kurang sekali diceritakan dari hal soal akhirat. Lantaran itulah
maka sampai ada di antara mereka yang berkata bahwa kalau mereka masuk
neraka kelak , hanyalah beberapa hari saja, tidak akan lama.
Sebaliknya dari itu adalah ajaran Nasrani yang lebih mementingkan akhirat
saja, meninggalkan segala macam kemegahan dunia, sampai mendirikan
biara-biara tempat bertapa, dan menganjurkan pendeta-pendeta supaya tidak
kawin. Tetapi kehidupan rohani yang sangat mendalam ini akhirnya hanya dapat
dituruti oleh golongan yang terbatas, ataupun dilanggar oleh yang telah
menempuhnya, sebab berlawanan dengan tabiat kejadian manusia. Terutama
setelah agama ini dipeluk oleh bangsa Romawi dan diakui menjadi agama
kerajaan.
Sampai kepada zaman kita inipun dapatlah kita rasakan betapa sikap hidup
orang Yahudi. Apabila disebut Yahudi, teringatlah kita kepada kekayaan benda
yang berlimpah-limpah, menternakkan uang dan memakan riba. Dan bila kita
baca pelajaran asli Kristen, sebelum dia berkecimpung ke dalam politik
kekuasaan, akan kita dapatilah ajaran Almasih yang mengatakan bahwasanya
orang kaya tidak bisa masuk ke dalam syurga, sebagaimana tidak bisa masuk
seekor unta ke dalam liang jarum.
Maka sekarang datanglah ayat ini memperingatkan kembali ,ummat Muhammad
bahwa mereka adalah suatu ummat yang di tengah, menempuh jalan lurus; bukan
terpaku kepada dunia sehingga diperhamba oleh benda dan materi, walaupun
dengan demikian akan menghisap darah sesama manusia. Dan bukan pula hanya
semata-mata mementingkan rohani, sehingga tidak bisa dijalankan, sebab tubuh
kita masih hidup. Islam datang mempertemukan kembali di antara kedua jalan
hidup itu. Di dalam ibadat shalat mulai jelas pertemuan di antara keduanya
itu; shalat dikerjakan dengan badan, melakukan berdiri ruku` dan sujud,
tetapi semuanya itu hendaklah dengan hati yang khusyu.
Nampak pula dalam peraturan zakat harta benda. Orang baru dapai berzakat
apabila dia kaya raya, cukup harta menurut bilangan nisab. Dan bila datang
waktunya hendaklah dibayarkan kepada fakir-miskin. Artinya, carilah harta
benda dunia ini sebanyak-banyaknya , dan kemudian berikanlah sebahagian
daripadanya untuk menegakkan amal dan ibadat kepada Allah dan untuk
membantu orang yang patut dibantu.
Nampak pula pada peraturan di hari Jum'at. Di hari itu dari pagi bolehlah
bekerja keras mencari rezeki, berniaga dan bertani dan lain-lain, tetapi
setelah datang seruan Jum'at hendaklah segera berangkat menuju tempat
shalat, untuk menyebut dan mengingat Allah. Dan setelah selesai shalat,
segeralah keluar dari mesjid untuk bekerja dan bergiat lagi.
Ini menunjukkan jalan tengah di antara tiga agama yang serumpun. Dalam pada
itu secara luas dapat pula kita tilik pandangan hidup barat yang -
dipelopori oleh alam fikiran Yunani yang lebih mementingkan fikiran
(filsafat), dan alam fikiran yang dipelopori oleh India purba yang memandang
bahwa dunia ini adalah maya semata-mata , atau khayal. Sejak dari ajaran
Upanisab sampai kepada ajaran Veda, dari Persia dan India, disambung lagi
dengan ajaran Budha Gautama, semua lebih mementingkan kebersihan jiwa,
sehingga jasmani dipandang sebagai jasmani yang menyusahkan.
Bangkitnya Nabi Muhammad s.a.w. di padang pasir Arabia itu, adalah membawa
ajaran bagi membangunkan ummatan wasathan, suatu ummat yang menempuh jalan
tengah, menerima hidup di dalam kenyataannya. Percaya kepada akhirat, lalu
beramal di dalam dunia ini. Mencari kekayaan untuk membela keadilan,
mementingkan kesihatan rohani dan jasmani, karena kesihatan yang satu
bertalian dengan yang lain. Mementingkan kecerdasan fikiran, tetapi dengan
menguatkan ibadat untuk menghaluskan perasaan. Mencari kekayaan
sebanyak-banyaknya, karena kekayaan adalah alat untuk berbuat baik. Menjadi
Khalifah Allah di atas bumi, untuk bekal menuju akhirat. Karena kelak akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Selama ummat ini masih menempuh Shiratal-Mustaqim, jalan yang lurus itu,
selama itu pula mereka akan tetap menjadi ummat jalan tengah.
Maka berkata ayat selanjutnya:
لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
"Supaya kamu menjadi saksi-saksi atas
manusia. "
Menurut Imam az-Zamakhsyari di dalam tafsirnya
al-Kasysyaf, ummat Muhammad sebagai ummat yang jalan tengah, akan menjadi
saksi atas ummat Nabi-nabi yang lain tentang kebenaran risalah Rasul-rasul
yang telah disampaikan kepada ummat mereka masing-masing.
Dan berkata lanjutan ayat:
وَ يَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
"Dan adalah Rasul menjadi saksi (pula) atas
kamu."
Yaitu Rasul itu Nabi Muhammad
s.a.w. menjadi saksi pula di hadapan Tuhan kelak, sudahkah mereka
menjalankan tugas mereka sebagai ummat yang menempuh jalan tengah, adakah
kamu jalankan tugas kamu itu dengan baik , ataukah kamu campur-adukkan
sajakah di antara yang hak dengan yang batil, sebab sifat tengahmu itu telah
hilang.
Ummat Muhammad menjadi ummat tengah dan menjadi saksi untuk ummat yang lain,
dan Nabi Muhammad s.a.w. menjadi saksi,pula atas ummatnya itu adakah mereka
jalankan pula tugas yang berat tetapi suci ini dengan baik ?
Maka setelah diketahui latar-belakang ini, mudahlah bagi orang yang berfikir
mendalam apa sebab kiblat dialih. Peralihan kiblat bukanlah sebab, dia hanya
akibat saja dalam hal membangunkan ummat yang baru, ummatan wasathan.
Setelah itu, sebagai lanjutan dari ayat, Tuhan terangkanlah tentang maksud
peralihan kiblat di dalam membangun ummatan wasathan;
وَ مَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَا
"Dan tidaklah kami jadikan kiblat yang
telah ada enqkau atasnya."
Yaitu kiblat ke Baitul Maqdis yang satu tahun
setengah lamanya Rasul berkiblat ke sana, ialu dialihkan kepada Ka'bah yang
ada di Makkah:
إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ
يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ
"Melainkan supaya Kami ketahui siapa
yang mengikut Rasul dan siapa yang berpaling atas dua tumitnya."
Kiblat yang asal adalah Ka`bah juga. Ayat-ayat
yang terdahulu dari ini telah menerangkan panjang-lebar bahwa Ka'bah itu
didirikan oleh Nabi Ibrahim. Dan jauh lebih tua dari Baitul Maqdis. Karena
kiblat dikembalikan kepada asalnya, maka orang Yahudi selama satu setengah
tahun bermegah dan merasa bangga, sebab hal itu mereka pandang adalah
kemenangarr mereka. Dengan peralihan kiblat terbuktilah mana arang yang
bertahan pada ujung, yang selama ini menunjukkan suka kepada Rasul lantaran
kiblat menuju tempat yang disukai nya, yaitu orang Yahudi.
Setelah kiblat beralih, dia menunjukkan tantangan. Demikian pula kaum
munafik, yang selalu mencari-cari saja soal-soaf yang akan mereka timpakan
kesalahannya Kepada Rasul
وَ إِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى
اللهُ
"Dan memanglah berat itu , kecuali atas
orang yang diberi petunjuk oleh Allah."
Orang yang imannya ragu-ragu dan imannya tidak
mendalam merasa berat atas terjadinya peralihan kiblat itu. Dirawikan oleh
ibnu Jarir dan Ibnu Juraij, bahwa beliau ini berkata; Bahwasanya orang-orang
yang baru masuk Islam, setelah kiblat dialihkan, ada yang kembali jadi
kafir.
Mereka berkata: "Apa ini, sebentar ke sana, sebentar ke situ." Dan menurut
suatu riwayat dari Imam Ahmad dan Abd bin humaid dan Termidzi dan lbnu
Hibban dan at-Thabrani dan al-Nakim dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
"Tatkala Rasulullah s.a.w. mengalihkan kiblat itu ada beberapa orang yang
bertanya kepada beliau:' Ya Rasulullah , sekarang kiblat telah beralih.
Bagaimana jadinya dengan orang-orang yang telah mati, sedang di kala
hidupnya mereka shalat berkiblat ke Baitul Maqdis ? Untuk menjawab
pertanyaan itu datanglah lanjutan ayat:
وَ مَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ
"Dan tidaklah Allah akan menyia nyiakan iman
kamu. "
Artinya, bahwasanya orang-orang yang mati
sebelum kiblat beralih, adalah mereka itu beramal karena imannya juga. Amal
mereka itu timbul daripada iman itu tidaklah akan disia-siakan oleh Tuhan.
Ketaatan mereka dan ibadat mereka yang khusyu' diterima juga oleh Allah
dengan sebaik-baik penerimaan .
إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ
"Sesungguhnya Allah terhadap manusia adalah
penyantun dan penyayang. " (ujung ayat 143).
Di ujung ayat ini teranglah dua sifat Allah yang
penting untuk pedoman beramal. Pertama Tuhan Penyantun, tidak menyia-nyiakan
amal hambaNya. Kedua Dia Penyayang, yaitu memberi ganjaran yang sepadan atas
tiap-tiap amalan. Dan lagi berkiblat ke Baitul Maqdis sebelum perintah
peralihan ke Makkah, tidaklah suatu kesalahan , melainkan ketaatan juga.
Sedang orang musyrik jahiliyah yang hidup lampaunya penuh dosa, bila dia
telah memeluk Islam, habislah diampuni dosanya yang telah lalu itu, apatah
lagi bila amalan yang lama itu dilakukan dengan ketaatan juga.
Ayat 142 dan 143 ini belumlah perintah
mengalihkan kiblat, melainkan baru sebagai peringatan kepada Rasul bahwa
akan terjadi reaksi dan sanggahan kelak dari orang orang bodoh dangkal
fikiran, yang bercakap asal bercakap padahal tidak bertanggung-jawab. Agar
supaya Rasul bersiap-siap menghadapinya.
01 02
03
04
05
06
07
08
09 10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Back Main Page |