فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضاعُوا
الصَّلاةَ وَ اتَّبَعُوا الشَّهَواتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
(59) Tetapi datang sesudah mereka suatu keturunan yang mereka telah
melalaikan sembahyang dan memperturutkan syahwat; maka mereka itu akan
bertemu kesesatan.
إِلاَّ مَنْ تابَ وَ آمَنَ وَ عَمِلَ صالِحاً فَأُولئِكَ يَدْخُلُونَ
الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ شَيْئاً
(60) Kecuali barangsiapa yang taubat dan beriman dan beramal yang shalih;
maka mereka itulah yang akan masuk ke syurga dan tidaklah mereka akan
dianiaya sedikit pun.
جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتي وَعَدَ الرَّحْمٰنُ عِبادَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّهُ كانَ
وَعْدُهُ مَأْتِيًّا َ
(61) (Yaitu) syurga-syurga yang kekal. yang telah dijanjikan oleh Tuhan
Pengasih kepada hamba hambaNya dengan secara ghaib. Sesungguhnya adalah
janjiNya itu akan ditemui.
لا يَسْمَعُونَ فيها لَغْواً إِلاَّ سَلاماً وَ لَهُمْ رِزْقُهُمْ فيها
بُكْرَةً وَ عَشِيًّ
(62) Tidaklah mereka akan mendengar di dalamnya kata-kata yang sia-sia,
melainkan kata yang baik belaka. Dan untuk mereka di dalam syurga itu rezeki
mereka, pagi dan petang.
تِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتي نُورِثُ مِنْ عِبادِنا مَنْ كانَ تَقِيًّا َ
(63) Itulah dia syurga, yang akan Kami wariskan kepada hambahamba Kami,
barangsiapa yang bertakwa.
Keturunan Yang Di
Belakang Biasanya
sesudah meninggal nenek-moyang tinggallah keturunan atau cucu yang hanya
berbangga dengan keharuman nama neneknya. tetapi tidak tahu lagi intisari
apa yang diperjuangkan nenek-moyang::ya itu. Dern:kian juga rupanya terjadi
pada Nabi-nabi itu:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضاعُوا الصَّلاةَ
"Tetapi datanglah sesudah
mereka suatu keturunan yang mereka telah melalaikan sembahyang."
(pangkal ayat 59).
Bahaya melalaikan sembahyang inilah yang diperingatkan benar-benar oleh Nabi
kita Muhammad s.a.w. di kala beliau akan meninggal dunia. Adalah dua perkara
yang sangat beliau pesankan. Pertama sembahyang, kedua darihal urusan
perempuan.
Menurut riwayat dari Abu Ubaidah, yang diterimanya dari Hajjaj, dia menerima
dari Ibnu Juraij, dan dia ini menerima dari Mujahid. Mujahid mentafsirkan
ayat ini: "Bahwa hal demikian, yaitu melalaikan sembahyang akan kejadian
bila kiamat telah dekat clan bila ummat Muhammad yang shalih sudah sama
meninggal, yang satu mengelakkan diri dari yang lain dan pergi ke
lorong-lorong tempat berzina."
Kemudian ayat ini bersambung:
وَ اتَّبَعُوا الشَّهَواتِ
"Dan memperturutkan syahwat."
Tentu saja apabila
sembahyang telah mulai dilalaikan orang tidak sanggup lagi menguasai
syahwatnya. Sebab sembahyang itu adalah laksana benteng untuk memagar din
dari kejahatan. Sebagai tersebut dengan jelas dalam sabda Tuhan di Surat 29,
al-Ankabut: "Dan dirikanlah olehmu sembahyang; sesungguhnya sembahyang itu
akan mencegah daripada yang keji-keji dan yang munkar."
Kalau sembahyang
telah dilalaikan, bocorlah pertahanan jiwa dan mulailah lemah mengekang
nafsu clan syahwat. Dan kalau sembahyang telah mulai lalai, dan syahwat
sudah diperturutkan, niscayalah mereka akan sampai kepada akibat yang buruk:
فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
"Maka mereka itu akan bertemu
kesesatan. " (ujung ayat
59).
Tersesatlah daripada jalan yang lurus, terperosok kepada hidup yang gelap.
Dalam ayat ini nyatalah bahwa sembahyanglah yang menjadi tiang dari agama.
Semata-mata percaya bahwa Allah itu ada, belumlah cukup, kalau jiwa tidak
selalu mendekatiNya menurut jalan yang dibimbingkanNya dengan perantaraan
Nabi-nabi. Maka janganlah kita menyangka bahwa ancaman ini hanya kepada
ummat daripada Nabi-nabi yang terdahulu. Malahan Mujahid, sebagai yang
diriwayatkan di atas tadi, demikian juga Ka'ab Qurazhi dan `Atha' menekankan
bahwa yang diberi isyarat dengan ayat ini bukan semata-mata ummat Yahudi
clan Nashara, melainkan ummat Muhammad sendiri. Tentang pengertian
melalaikan sembahyang, pun banyak penafsiran tentang itu. Al-Qurazhi
mengatakan yaitu orang yang mengakui juga bahwa sembahyang itu memang tiang
agama, tetapi dia tidak mengerjakannya lagi.
Abdullah bin Mas'ud dan al-Qasim bin Mukahimarah menafsirkan: "Yaitu yang
melalaikan waktu-waktunya dan tidak mendirikan kewajiban-kewajiban
sembahyang itu dengan benar, dan bahwa jika pun engkau kerjakan sembahyang
padahal rukun syaratnya itu tidak engkau penuhi tidaklah sah sembahyangmu
itu dan tidaklah diberi pahala." Dan kepada orang yang mengerjakan
sembahyang seperti itu Nabi pernah mengatakan: "Kembali dan sembahyang!
Karena tadi engkau belum sembahyang." Beliau peringatkan itu kepada orang
tersebut sampai tiga kali. Demikian menurut sebuah Hadits yang dirawikan
oleh Muslim. Huzaifah pernah bertemu orang sembahyang semacam itu. Yaitu
sembahyang secara kilat saja, banyak yang patut-patut yang dia tinggalkan.
Lalu beliau bertanya: "Sudah berapa lama engkau sembahyang semacam ini?"
Orang itu menjawab: "Sudah 40 tahun!" Maka berkatalah beliau: "Engkau belum
pemah sembahyang dan kalau engkau mati dengan sembahyang seperti ini, engkau
mati bukan dalam agama Muhammad." Hadits ini dirawikan Bukhari, lapalnya pun
ada pada an-Nasa'i.
Dan menurut sebuah Hadis yang dirawikan oleh Termidzi yang diterima dari Abu
Mas'ud al-Anshari, berkata Rasulullah s.a.w.:
"Tidak diberi pahala sembahyang yang tidak
didirikan oleh orang itu."
Artinya tidak sempurna ruku'nya dan sujudnya.
Imam asy-Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ishaq bin Ruaihi
berpendapat bahwa sembahyang yang tidak disempurnakan ruku'nya dan sujudnya
ltu tidaklah sah.
Di dalam Hadits pun tersebut ketika orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w.
apakah amalan yang paling baik? Beliau menjawab: "Sembahyang di awal
waktunya."
Maka termasuklah pula dalam golongan orang yang melalai kan sembahyang,
orang yang selalu sembahyang seketika waktu telah hampir habis. Dengan
kebiasaan yang demikian, ditakutilah kemantapan dalam jiwa orang yang
demikian akan hilang.
Tersebut dalam sebuah Hadits yang dirawikan oleh an-Nasa'i, diterimanya
dengan sanadnya dari Abu Hurairah. Bersabda Nabi s.i.w.:
"Yang mula-mula
akan diperhitungkan pada seorang hamba di hari kiamat ialah sembahyangnya.
Kalau sembahyangnya itu disempurnakannya, beruntunglah dia. Tetapi kalau
tidak, maka Allah `Azzawajalla bersabda: Perhatikanlah pada hambaKu ini
kalau-kalau dia rnengerjakan sembahyang yang tathawwu`
(sembahyang-sembahyang sunnat). Kalau ada didapati dia mengerjakan
sembahyang-sembahyang yang tathawwu` itu, maka sempumakanlah sembahyangnya
yang fardhu dengan yang tathawwu` itu."
Ketika menjelaskan Hadits ini berkatalah Abu `Amer bin `Abdil Barr di dalam
Kitabnya yang bernama "At-Tamhid": "Adapun menyempurnakan yang fardhu dengan
yang tathawwu` itu ialah - tetapi Tuhan lebih tahu - bagi orang Yang ada
kelupaan dalam bahagian-bahagian yang fardhu, atau kurang bagus ruku'nya dan
sujudnya, dan dia tidak tahu hingganya yang demikian. Tetapi barangsiapa
yang meninggalkannya, atau mulanya dia lupa kemudian dia ingat, lalu dengan
sengaja tidak disempurnakannya, dan dia kerjakan saja yang tathawwu` lebih
penting dari yang fardhu, padahal dia sadar, maka dalam hal yang demikian
tidaklah dapat yang fardhu disempurnakan dengan yang tathawwu'."
Dari keterangan yang luas ini dapatlah kita mencamkan bagaimana pentingnya
sembahyang sebagai tiang agama, dan bagaimana pula akibatnya, baik bagi jiwa
orang seorang ataupun bagi masyarakat Kaum Muslimin kalau sembahyang sudah
mulai dipandang enteng. Saya pernah berkeliling pada kota-kota besar
Negeri-negeri Islam dan bergaul dengan orang-orang terkemukanya. Banyak
dibicarakan soal agama; nampak teguh hati mereka mempertahankan keyakinan
Islam. Tetapi bila datang waktu sembahyang hati mereka tidak tergerak. Dan
di Indonesia sendiri pun banyak orang berkumpul, musyawarat memperbincangkan
soal-soal yang berkenaan dengan agama, tetapi bila datang waktu sembahyang,
bila bang sudah kedengaran, musyawarat itu tidak dihentikan.
Maka bertemulah sekarang apa yang ditafsirkan oleh seorang Tabi'in yang
besar di atas tadi, Syaikh Mujahid, bahwa ayat ini bukanlah semata-mata
untuk khalfun (keturunan) dari Nabi-nabi yang dahulu, tetapi telah bertemu
pada Ummat Muhammad di akhir zaman ini.
إِلاَّ مَنْ تابَ
"Kecuali barangsiapa yang taubat."
(pangkal ayat 60).
Taubat sudah kita ketahui artinya, yaitu kembali kepada jalan yang benar.
Karena apalah keistimewaannya orang Islam kalau sembahyang telah mulai
dilalaikan. Sebagai mana pernah dikatakan oleh al-Hasan al-Bishri:
"Mesjid-mesjid mereka telah mereka kosongkan. Hari mereka dihabiskan untuk
urusan yang lain dan sebab-sebab yang lain belaka."
Ketika orang Thaif mengirim utusannya'kepada Nabi s.a.w. di Madinah buat
berdamai, dan mereka telah mau memeluk Islam, tetapi mereka mengemukakan
beberapa syarat. Di antaranya, bahwa mereka mau masuk Islam, tetapi supaya
perintah sembahyang tidak berlaku bagi mereka, maka Nabi s.a.w. telah
menolak persyaratan itu. Beliau berkata: "Tidak ada artinya masuk Islam
kalau tidak sembahyang."
Maka akan terbangkitlah ummat ini dari kesesatan asal mereka telah taubat.
Yaitu kembali kepada pangkalan kebenaran. Insaf lalu menegakkan kembali
sembahyang dengan sesungguhnya, sempurnakan ruku` dan sujud nya, bukan
semata-mata sebagai sembahyang cotok ayam.
وَ آمَنَ
"Dan beriman,"
yaitu sebagai kelanjutan
daripada taubat, daripada turut kepada jalan yang benar lalu mendirikan
sembahyang hendaklah pula ditegakkan Iman kembali. Percaya kepada Allah
disertai kasih, ikhlas dan tawakkal. Dikuatkan.kembali akidah kepada Ilahi:
" Dan berarnal yang
وَ عَمِلَ صالِحاً
"shalih. " Taubat niscaya disempurnakan
dengan kembali menegakkan Iman dan Iman belum pula ada artinya kalau tidak
diikuti oleh amal yang shalih, perbuatan yang baik, atau pekerjaan yang ada
faedahnya:
فَأُولئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ شَيْئاً
"Maka mereka itulah orang yang
akan masuk ke syurga dan tidaklah mereka akan dianiaya sedikit pun."
(ujung ayat 60).
Kalau kita fikirkan ayat-ayat ini lebih mendalam, akan insaflah kita bahwa
kita manusia ini tidaklah akan sunyi daripada alpa dan lalai. Akan ada saja
kekhilafan kita dalam hidup ini; namanya manusia. Oleh sebab itu maka pada
tiap-tiap sesudah mengerjakan sembahyang yang lima waktu pun kita
disuruhkan Allah mengucapkan doa-doa taubat. Setiap hari kita dianjurkan
taubat. Nabi s.a.w. sendiri pun setelah selesai tugas Risalatnya, setelah
melihat manusia berbondong-bondong datang menyatakan diri memeluk Agama
Allah, pun disuruhkan Allah supaya mengucapkan tasbih pujian kepada Allah
dan memohon ampun:
"Sesungguhnya Tuhan itu adalah amat suka memberikan taubat."
جَنَّاتِ عَدْنٍَ
"(Yaitu) syurga-syurga yang
kekal."(pangkal ayat 61).
Bukan jannatin (satu syurga saja), bahkan jannaatin (dengan panjang na nya),
berarti jama`, yaitu banyak syurga;
الَّتي وَعَدَ الرَّحْمٰنُ عِبادَهُ بِالْغَيْبِ
"Yang telah dijanjikan oleh
Tuhan Pengasih kepada hamba hambaNya dengan secara ghaib."
Artinya, meskipun dia masih ghaib sekarang ini, belum nyata oleh
pancaindera, tegasnya penglihatan dan pendengaran, namun dia sudah pasti
ada. Sebab mustahillah berdusta Tuhan Rabbul `Alamin dan mustahil berbohong
Nabi yang menyampaikannya.
إِنَّهُ كانَ وَعْدُهُ مَأْتِيًّا
"Sesungguhnya adalah janjiNya
itu akan ditemui." (ujung
ayat 61).
Artinya, bahwa janji dari Tuhan yang bersifat dan bernama Pengasih
(Ar-Rahman) pastilah akan ditemui den;an sempurna oleh hamba-hambaNya yang
telah diberinya janji itu.
Ingatlah, bahwa di dalam kesempatan-kesempatan seperti ini, Allah lebih
banyak menyebut salah satu dari sifatNya Yang Utama, atau salah satu
daripada Asmaul-husna; Nama-namanya yang baik. Maka di sini Dia menyebut
diriNya Tuhan Pengasih ; Ar-Rahman ! Sebab yang akan dianugerahkannya kepada
hambaNya yang taat itu ialah syurga-syurga yang kekal (`Adnin) sampai
selama-lamanya.
لا يَسْمَعُونَ فيها لَغْواً
"Tidaklah mereka akan
mendengar di dafamnya kata-kata yang sia-sia."
(pangkal ayat 62).
Syarat mutlak dari nikmat kekal yang akan diterima ialah sunyi samasekali,
tidak terdengar samasekali kata-kata yang sia-sia, yang laghaa. Lihatlah
keadaan dunia ini. Betapa pun mewah hidup orang, namun jiwa selalu gelisah,
karena selalu juga, tidak sunyi-sunyinya mendengar kata-kata yang sia-sia,
kata-kata yang tidak berfaedah, kata-kata yang penuh berisi fitnah dan sakit
hati. Yang kaya mengeluh tak puas, yang miskin dengki. Mulut orang penuh
dengan membicarakan aib orang lain dan melupakan aib yang ada pada dirinya
sendiri. Atau mengomel kalau kekurangan, atau mencerca atas barang yang
telah diberikan, atau berbangga atas kelebihan din sendiri dan mencela atas
kekurangan orang lain. Atau berebut kekuasaan dengan memfitnah. Atau berkata
bohong untuk mencari keuntungan. Dan banyak lagi yang lain. Di dalam syurga
tidak akan ada kata-kata sia-sia semacam itu:
إِلاَّ سَلاماً
"Melainkan kata yang baik
belaka."
kata yang penuh berisi
kedamaian dan kesyukuran memuji nikmat yang diberikan Ilahi.
وَ لَهُمْ رِزْقُهُمْ فيها بُكْرَةً وَ عَشِيًّ
"Dan untuk mereka di dalam
syurga itu rezeki mereka, pagi dan petang."
(ujung ayat 62).
Berkata Ibnu Jarir: "Telah menyarnpaikan kepada kami Ali bin Sahal, dia
menerimanya dari al-Walid bin Muslim. Berkata dia: "Aku bertanya kepada
Zuhair bin Muhammad tentang tafsir ayat yang mengatakan "untuk mereka di
dalam syurga itu, rezeki mereka, pagi dan petang," apakah maksudnya? Beliau
menjawab: "Di dalam syurga itu tidak ada malam. Mereka selalu diliputi
cahaya, dan malam dan siang hanyalah perhinggaan saja. Mereka mengetahui
telah malam karena tabir-tabir telah diturunkan dan pintu-pintu ditutup. Dan
mereka mengetahui telah siang kalau tabi-tabir diangkatkan kembali dan
pintu-pintu dibuka."
Dan satu isnad lagi dari al-Walid bin Muslim dan Khulaid, dia terima dari
al-Hasan al-Bishri tentang pintu-pintu syurga. Berkata beliau al-Hasan
al-Bishri: "Pintu-pintu, yang orang yang di dalam dapat mengetahui apa yang
di luar. Orang berkata-kata di luar, meskipun jauh, dapat juga difahamkan.
Pintu itu bisa diberi isyarat saja, disuruh terbuka, dia pun terbuka
sendirinya. Disuruh tertutup, dia pun tertutup sendirinya."
Qatadah mentafsirkan pula: "Di sana ada saat-saat seperti pagi dan seperti
petang, tetapi di sana tidak ada hitungan malam dan siang. Sebab selalu
bersinar dan selalu bercahaya." Kata Mujahid: "Tidak ada apa yang kita
namai pagi, tidak ada apa yang kita namai petang. Tetapi kepada mereka
dibawakan apa saja yang mereka ingini di dunia ini."
Menurut keterangan al-Hasan al-Bishri dan Qatadah pula: "Karena kebiasaan
orang Arab hidup bersenang-senang dengan makanan pagi dan makanan malam,
maka diturunkanlah al-Quran memberikan penjelasan menurut apa yang mereka
kenangkan, tentang nikmat dalam syurga itu."
تِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتي
نُورِثُ مِنْ عِبادِنا مَنْ كانَ تَقِيًّا َ
"Itulah dia syurga, yang akan
Kami wariskan kepada Hamba-hamba Kami, barangsiapa yang bertakwa. "
(ayat 63).
Artinya, bahwasanya syurga yang telah dijelaskan setengah dari sifat-sifat
dan keadaannya yang agung itu akan Kami wariskan kepada hamba Kami yang
bertakwa, yaitu yang taat dengan tidak separuh hati, yang percaya dengan
bulat, yang menyerah dengan ridha, baik di waktu senang atau di waktu susah.
Hamba-hamba Kami yang dapat menahan marahnya, yang suka memberi maaf kepada
sesamanya manusia, "yang sembahyang dengan khusyu`, yang menolak segala
perbuatan sia-sia, yang mengeluarkan zakat, yang memelihara kemaluan atau
farajnya, kecuali terhadap isteri atau sahaya yang halal, yang memegang
amanat meneguhi janji, yang memelihara baik-baik waktu sembahyang." (Yang
memakai tanda kutip ini tersebut di permulaan Surat 23, alMu'minun dari
ayat 2 sampai 9) yang ditutup dengan ayat 10 dan 11:
ٱلَّذينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فيها خالِدُونَ َ
"Itulah orang-orang yang akan
mewarisi. Yaitu mewarisi Firdaus, yang mereka di dalamnya itu akan kekal."
Dan inilah warisan sejati yang kekal dan tidak akan pindah lagi ke tangan
lain buat selama-lamanya. Karena persediaan untuk itu telah ada sejak dari
masa hidup di dalam dunia.
01
02
03
04
05
06
07 08 09 10 11 12 13
14
15
16 17
18
19
20
21 Back To MainPage
>>>> |