Tafsir Suroh An-Nuur ayat 39 - 46         

                                                                   


 وَ الَّذينَ كَفَرُوا أَعْمالُهُمْ كَسَرابٍ بِقيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ ماءً حَتَّى إِذا جاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئاً وَ وَجَدَ اللهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسابَهُ وَ اللهُ سَريعُ الْحِسابِ
(39) Dan orang-orang yang me­nampik, segala amal usaha mereka adalah laksana gejala panas (fatamorgana) di gurun tandus, orang-orang yang ke­hausan menyangka bahwa itu adalah air. Tetapi bilamana dia telah datang ke tempat itu, tidak suatu jua pun yang mereka dapati. Di sanalah dia berjumpa Tuhan di samping usahanya, maka dibayar penuhlah oleh Tuhan perhitungan ofang itu, dan Allah adalah Maha Cepat Memberikan perhitungan.


أَوْ كَظُلُماتٍ في‏ بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحابٌ ظُلُماتٌ بَعْضُها فَوْقَ بَعْضٍ إِذا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَراها وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللهُ لَهُ نُوراً فَما لَهُ مِنْ نُورٍ
(40) Atau laksana gelap gulita dilautan dalam , dipukul gelombang demi gelombang , diatas bergumpalan awan , kegelapan tindih bertindih , sehingga bila dikeluarkannya pun tangannya , sukarlah dia dapat melihatnya . Dan barangsiapa yang tidak dianugrahi cahaya oleh Tuhan , tiadalah dia akan mendapat cahaya lagi .


أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَنْ فِي السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ وَ الطَّيْرُ صَافَّاتٍ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلاتَهُ وَ تَسْبيحَهُ وَ اللهُ عَليمٌ بِما يَفْعَلُون
(41) Tiadakah kau lihat, bahwa kepada Tuhan itulah bertasbih (memuji) penghuni-penghuni segala langit dan bumi, demikian juga burung-burung yang ter­bang berbondong-bondong di udara. Semua itu 'telah tahu bagaimana cara mereka memuja (sembahyang dan berdoa) dan bertasbih kepadaNya. Dan Tuhan Allah amat mengetahui apa jua pun yang mereka kerjakan.


وَ لِلَّهِ مُلْكُ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ وَ إِلَى اللهِ الْمَصيرُ
(42) Dan kepunyaan Allahlah keraja­an langit dan bumi itu. Dan kepada Allahlah semuanya akan kembali.


أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يُزْجي‏ سَحاباً ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكاماً فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلالِهِ وَ يُنَزِّلُ مِنَ السَّماءِ مِنْ جِبالٍ فيها مِنْ بَرَدٍ فَيُصيبُ بِهِ مَنْ يَشاءُ وَ يَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ يَشاءُ يَكادُ سَنا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْأَبْصارِ
(43) Tidakkah engkau lihat, betapa Tuhan Allah menghalau-halau­kan awan, kemudian di kumpulkanNya menjadi satu tumpukan, maka engkau lihatlah hujan pun keluar dari celah-celah awan itu. Dan diturunkanNya pula dari langit gunungan, yang di dalam­nya ada salju, ditumpahkanNya kepada barang siapa yang dike­hendakiNya dan dipalingkanNya pula daripada siapa yang di­kehendakiNya. Kadang-kadang nyaris sambaran kilatnya mem­butakan penglihatan.



يُقَلِّبُ اللهُ اللَّيْلَ وَ النَّهارَ إِنَّ في‏ ذلِكَ لَعِبْرَةً لِأُولِي الْأَبْصارِ
(44) Dipergilirkan Allah malam dan siang. Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tamsil ibarat orang-orang yang ber­pandangan tajam.


وَ اللهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ ماءٍ فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشي‏ عَلى‏ بَطْنِهِ وَ مِنْهُمْ مَنْ يَمْشي‏ عَلى‏ رِجْلَيْنِ وَ مِنْهُمْ مَنْ يَمْشي‏ عَلى‏ أَرْبَعٍ يَخْلُقُ اللهُ ما يَشاءُ إِنَّ اللهَ عَلى‏ كُلِّ شَيْ‏ءٍ قَديرٌ
(45) Dan Allah telah menjadikan tiap-tiap binatang itu daripada air. Diantaranya ada yang berjalan di atas perutnya, dan ada pula yang berjalan di atas kedua kakinya , dan ada pula yang berjalan di atas kaki empat. Allah menjadikan apa yang dikehendakiNya.Sesungguhnya Allah adalah Maha Kuasa atas setiap sesuatu.


لَقَدْ أَنْزَلْنا آياتٍ مُبَيِّناتٍ وَ اللهُ يَهْدي مَنْ يَشاءُ إِلى‏ صِراطٍ مُسْتَقيمٍ
(46) Sesungguhnya telah Kami turun­kan ayat-ayat untuk memberikan penjelaskan. Dan Allah jualah yang menganugerahkan petun­juk kepada siapa yang la kehen­daki, menuju jalan yang lurus.


Menempuh Perjalanan Hidup

Alamat Kasih Tuhan kepada hambaNya diutusnya para Nabi dan RasuINya dan mereka pun diberi pula bekal berjuang, yaitu Wahyu Ilahi yang tersimpul dalam Kitab Suci. Penutup segala Nabi dan Rasul itu, ialah Muhammad s.a.w., membawa petunjuk al-Quran. Tetapi ada insan yang tidak mau menerima kebenaran itu, mereka kafaruu. Mereka menampik ajakan Tuhan yang dibawa Nabi itu dan mereka mencoba berjalan sendiri yang hanya berpedoman kepada peribadinya.

Mereka pun berjalan dan mereka hendak mencari sendiri kebenaran itu. Di tengah padang pasir yang luas dan gurun yang tandus, dalam perjalanan yang sejauh itu, tidak tentu di mana ranah akan berhenti, sedang had panas amat teriknya, dia pun haus. Tiba-tiba di tengah padang itu dia pun melihat air ter­genang, jemih, sehingga bacu melihatnya saja sejuklah rasa badan, belum lagi diminum. Perjalanan pun diteruskan, air itu kelihatan juga. Tetapi mana yang telah ditempuh tidaklah didapati air, melainkan pasir jua. Bertambah teriknya panas, bertambahlah jelas kelihatan air itu, tidak berapa jauh lagi. Bertambah diri haus, bertambah diperjelaslah air itu oleh khayal fatamorgana.

Di mana kiranya air itu? Tidak ada. Tetapi ada nampak oleh mata. Memang, jelas nyata kelihatan ofeh mata, apatah lagi oleh mata orang yang haus. Namun dia selamanya tidak ada. Itu hanya gejala panas. Dia memang menyerupai air nampak dari jauh, tetapi selamanya dia tidak ada. Setelah kaki si musafir yang haus itu jauh terencah ke tengah padang pasir tandus itu, se­hingga sama jauhnya yang akan dituju dengan ranah yang telah ditinggalkan, di situ dia bertemu dengan kenyataan. Yaitu bahwasanya yang dikejamya ber­payah lelah itu tidak lain daripada khayal bayangan. Apabila dia telah menemui kenyataan, artinya dia telah bertemu dengan kebenaran Ilahi, yang sedianya tidaklah tenaganya akan habis percuma demikian rupa kalau sejak semula di­sadarinya peringatan yang diberikan Tuhan.

Kekafirannya pada permulaan melangkah, tampik-tolaknya terhadap seruan Ilahi, sekarang teiah diterimanya kontan balasannya. Mungkin dia mati tersungkur di tempat itu, bukan minu,m air, tetapi makan pasir yang disangka nya air. Dan mungkin juga lekas dia sadar, tetapi sudah terlambat. Dan kalau Tuhan kasihan kepadanya, mungkin dia diberi kekuatan sedikit lagi, sekedar untuk melepaskan dirinya dari tempat yang amat berbahaya itu, agar dia men­dapat air yang sebenar air. Namun demikian, alangkah mahal bayaran yang harus dibayarnya karena hanya menurutkan kata hati, tipudaya mata dan tekanan haus. Atau laksana orang yang belayar di lautan luas. Pada mulanya angin tenang saja. Maka siang pun bergantilah dengan malam, tiba-tiba terjadilah taufan di lautan.

Allahu Rabbi gelap langit, gelombang pun besar gulung bergulung, se­hingga bahtera yang ditumpang sudah laksana sebuah sabut kecil saja diayun dibuaikan ombak. Melihat ke langit, awan pun gelap, sebuah bintang pun tak kelihatan. Tindih bertindih awan datang, lapis berlapis, yang menjadikan keadaan sekitar bertambah gelap. Tidak kelihatan tanah daratan samasekali, untuk menumpahkan harapan. Jangankan tanah darat, sehingga tangan sendiri pun dicoba merentangkan ke udara, sukarlah dapat dilihat. Aduh, bagaimana­lah perasaan pada waktu itu!

Tidak ada cahaya lain pada waktu itu. Cahaya hanya didapat dari dalam hati sendiri, yaitu hati yang diberi anugerah cahaya oleh Tuhan. Adapun orang yang telah padam suluhnya di dalam, tidaklah selamanya akan mendapat jalan keluar dari kesulitan itu. Jika orang kehausan mati tenggelam dalam timbunan pasir, maka orang yang belayar di laut dalam itu pun akan mati tenggelam dalam hempasan ombak.

Inilah dua macam manusia dalam perjuangan hidup dalam segala zaman. Yang pertama berjalan di jalan terang siang hari, matanya terbuka, tetapi per­timbangan batin tidak ada. Yang salah disangkanya benar karena dia ditipu oleh penglihatan mata, padahal mata hanya satu alat saja di antara lima panca­indera. Alat dari batin yang akan menimbang segala yang dilihat clan didengar, diraba dan dirasa. Ditangkap apa yang dilihat oleh mata, lalu dipertimbangkan oleh hati sanubari.

Adapun golongan yang kedua pengalamannya sudah jauh lebih maju dari golongan orang yang mengembara di siang hari bolong itu. Dia belayar ke tempat yang lebih sulit, dia mempunyai banyak keberanian, tetapi dia ber lawanan dengan keadaan sekelilingnya. Dia tidak mempunyai upaya buat mengatasi kegelapan alam sekeliling itu. Ombak besar dengan apa ditahan? Awan gumpal bergumpal, sehingga cahaya bintang pun tak nampak, dengan apa hendak diseruak mencari cahaya untuk menjelaskan ke mana arah haluan yang akan dituju?

Di ujung ayat 40, Tuhan menegaskan, bahwa "barangsiapa yang tidak dianugerahi oleh Tuhan dengan cahaya, tidaklah dia akan mempunyai cahaya selama-lamanya. "

Adapun belayar di malam gelap yang sekali itu, hanya bergantung kepada belas-kasihan Tuhan belaka. Ada yang kapalnya pecah berantakan, bertimbun­:ah bangkai besok pagipya di tepi pantai. Tetapi ada juga yang kapalnya tahan, sehingga beberapa saat kemudian langit cerah kembali, dan pengalamannya semalam dijadikannya pelajaran pahit buat meneruskan pelayaran menuju ranah tujuan. Bayarannya pun mahal.

Boleh orang berkata bahwa pengalaman hidup manusia dapat mengajar­nya untuk berlaku hati-hati dalam melanjutkan perlangkahan. Tetapi tidakkah pengalaman orang yang telah terdahulu, nenek dan moyang, dapat dijadikan pengajaran oleh anak dan cucu yang datang di belakang? Bukankah al-Quran itu'menunjukkan juga kisah suka-duka ummat terdahulu, sehingga sebagian besar daripada kepahitan hidup dapat dielakkan?

Hidup adalah pengembaraan di padang pasir yang tandus. Kadang­kadang ada juga tersimpan air di perut bumi, air yang sebenamya air, tetapi kita tidak tahu di mana tempi~tnya. Kita mesti belajar mencarinya.
Hidup adalah pelayaran di laut lepas, ada masanya angin tenang, Selatan jadi, hingga bahtera bagai pucuk dilancarkan, dan kita pun tidak tahu bahwa badai besar akan datang dengan tiba-tiba.

Kemungkinan-kemungkinan dalam musafir ataupun dalam belayar mesti akan terjadi. Baik atau buruknya kita kaji. Oleh sebab perjalanan itu amat sulit, seyogyanya kita menerima petunjuk (hudan) dan jangan menampik atau mem­bangkang (kufur). Dan selalu bermohon ditunjuki dalam perjalanan itu.

"Tunjukilah kami jalan yang lurus."

Ikhtiar Mencari Petunjuk

Pada ayat selanjutnya (41) ditanyakan, tidakkah engkau tahu bahwa segala yang di langit dan segala yang di bumi, bahkan segala burung yang terbang berbondong di udara pun mengucapkan tasbih memuji Tuhan? Tidakkah engkau tahu dan tidakkah engkau melihat bahwa penghuni bumi dengan jenis­nya masing-masing sudah tahu sendiri bagaimana mereka berdoa, bagaimana mereka sembahyang dan bagaimana mereka bertasbih?

Tadi sudah dikatakan bahwasanya yang sebenarnya melihat bukanlah mata, tetapi perasaan batin kita yang halus. Maka hanya semata-mata alat buat menerima kesan dari luar diri untuk dipantulkan ke dalam diri yang sebenar diri. Di antara kelima pancaindera adalah dua yang sangat aktif buat "menangkap" kesan luaran itu, yaitu penglihatan mata terhadap warna-warni dan susunan dan pendengaran telinga buat mendengarkan susunan irama bunyi. Kalau hati gelap, betapa pun terang mata dan nyaring telinga, tidak akan ada yang nampak dan terdengar.

"Barangsiapa yang tidak dijadikan padanya Nur oleh Allah, tidak dia akan beroleh Nur."
Kalau mata hati telah bercahaya akan kedengaran dan kelihatanlah beberapa isi langit dan bumi bertasbih memuja Tuhan.

Beethoven, walaupun telinga tuli, dia mendengarkan musik alam memuja Ilahi, lalu disusunnya menjadi noot musik. Copernicus berkata, setelah dia merenungkan perjalanan bintang-bintang di langit, bahwasanya dia men dengarkan musik dari bintang-bintang itu. Einstein setelah mengaji alam se­dalam-dalamnya, sampai kepada urusan atom dan teori "relatif'nya yang ter­kenal, telah sampai kepada kesimpulan, bahwa Tuhan memang ada. Dia pun sujud dengan penuh kesyukuran karena dia telah "melihat" lagi bahwa di balik angka-angka dan rumusan memang ada angka SATU yang mutlak.

Apabila telah dilihat alam seluruhnya dengan mata hati akan terasalah bahwa kita manusia ini tidaklah seorang did dalam dunia ini. Semuanya ber­nyanyi memuja Tuhan, nyanyian yang suci dan kudus. Hatta burung-burung yang terbang di udara pun, burung-burung yang berbondong pindah dari Selatan ke Utara atau sebaliknya, adalah mencari perlindungan Ilahi untuk memelihara hidup. Burung Pinguin yang terkenal berbondong di lautan Utara beberapa ekor melompat ke dalam air di celah-celah gunungan salju untuk mengetahui apakah air es sudah mulai mencair.

Dan lawa-lawa betina mengandung beratus-ratus anak dalam telurnya. Selama telur belum menetas, dia tidak mempunyai daya apa-apa buat mencari makan. Satu-satunya persediaan makanannya hanyalah jantannya yang menyediakan diri buat menjadi makanan si betina selama dia mengerami terus itu. Si betina makan dari kuduk jantan­nya, sehingga si jantan mati sampai kering tubuhnya. Di atas kerangka tubuh si jantan, si betina hidup. Dan sehabis persediaan makanan itu, telur pun me­netas, berserakan beratus-ratus anak lawa-lawa menyambung hidup ayahnya. Semuanya itu adalah alamat tasbih dan ketaatan kepada Maha Pencipta. "Masing-masing telah tahu sendiri sembahyangnya dan tasbihnya."

Nabi kita Muhammad s.a.w. kerapkali mengatakan kepada sahabat­sahabatnya, sehingga beliau pun mendengar bunyi tasbih yang diucapkan oleh pasir-pasir yang bergerak di atas bumi. Dan Daud a.s. pun bila beliau mementil kecapinya yang terkenal, maka burung-burung di udara pun tertegun sedang terbang, lalu berhenti buat bersama-sama mengucapkan tasbih kepada Tuhan. Oleh sebab itu maka:

"Bagi Allahlah seluruh kekuasaan di semua langit dan bumi dan kepadoNya jua kita semuanya akan pulang kembali." (ayat 42).

Kemudian itu pada ayat yang 43 Tuhan menyuruh memperhatikan lagi betapa Tuhan menghalau-halaukan dan menghim - punkan awan yang berserak dengan timbangan aliran angin dan udara, kemudian menjadikannya suatu tumpukan.

Setelah awan yang bergerak itu terkumpul, timbullah mega yang mendung dan hitamlah dia karena mengandung hujan, maka keluarlah hujan dari celah­celah awan itu. Kadang-kadang turunlah dari langit itu; dan langit di sini ialah apa yang di atas kita. Turunlah segumpalan awan besar laksana gunung, me­ngandung salju. Ditumpahkannya ke atas suatu bagian yang  dikehen- dakiNya. Kadang-kadang kita tetah mengharap dia akan jatuh di bumi kita sebelah sini, karena tanam-tanaman sudah sa - ngat kering tiba-tiba dia jatuh di tempat lain. Maka kedengaran guruh dan guntur, dan kilat pun sabung-menyabupg, demi­kian dahsyatnya hingga mata pun bisa silau memandangnya.

Memang, apabila kita naik kapal udara dalam perjalanan yang jauh, benar­benar kelihatanlah kadang-kadang awan itu besar dan tinggi laksana gunung, bahkan lebih besar dari gunung, maka terasalah kecil kapal terbang yang kita tumpangi itu di celah awan-gumawan. Awan-awan laksana gunung itulah per­sediaan yang disediakan Tuhan buat hidup kita di atas dunia fana ini, karena kita senantiasa memerlukan air.

Lalu dipergilirkannya pula di antara malam dengan siang (ayat 44). Setiap pagi datang dan senja pun datang. Matahari terbit dan matahari terbenam, semuanya dalam ikatan peraturan yang teliti, sehingga bukan pergiliran siang dan malam itu yang ha-rus diakurkan dengan arloji kita, melainkan arlojilah yang harus diakurkan dengan dia. Sebab giliran siang dan malam pun bertali dengan pergantian musim, kadang-kadang malamnyalah yang panjang dan kadang-kadang siangnya.

Setiap hari, setiap kita melalui pergiliran siang dan malam itu, hati yang membatu membiarkan dia berjalan sejalannya, namun hati yang telah diberi cahaya dapatlah menghitung umurnya berapa yang telah terpakai. Yang telah terpakai dari jumlah hari, siang dan malam dan menjadi bulan, bulan bergulung menjadi tahun, dan tahun pun dijumlahkan pula. Yang telah terpakai dapat diketahui, tetapi berapa lagi yang tinggal tidak ada kita yang tahu.

Di ujung ayat, Tuhan sekali lagi memberi ingat, bahwasanya perenungan terhadap pergantian malam dan siang itu, dan segala soal yang bertalian dengan itu hanyalah dapat ditangkap oleh manusia-manusia yang mempunyai pandangan tajam. Adapun orang yang hidupnya hanya sehingga memikirkan makan, atau memperhambakan diri kepada semata-mata benda, kasarlah perasaannya dan tidaklah dia akan dapat merenungkan rahasia besar yang ter­kandung dalam edaran malam dan siang itu.

Pada ayat 45 Tuhan menyatakan bahwasanya seluruh binatang yang melata di atas bumi ini, Allah jadikan semuanya daripada air. Kemudian itu ber­ansurlah tercipta binatang melata itu, yang dalam bahasa Arab - sebagai ter sebut dalam ayat, disebut Daabbat, arti asalnya ialah merangkak dengan perutnya - seumpama ular dan serangga yang halus-halus, clan ada yang ber­jalan atas dua kaki, sebagai manusia dan burung termasuk ayam dan itik, ada pula yang berjalan atas empat kaki, yaitu rata-rata binatang-binatang yang sering kita lihat. Semuanya itu dijadikan atas kehendak Allah belaka, bukan terjadi dengan kebetulan.

Niscaya orang yang telah menumpahkan minatnya kepada asal kejadian hidup ini, dipertalikan dengan Teori Evolusi yang dikemukakan Darwin serta sarjana-sarjana yang lain, sudah dapat memahamkan ayat ini setelah mem pelajari Ilmu Kehidupan itu. Memang menurut teori para ahli setelah mengada­kan riset dan penyelidikan, bahwasanya unsur yang asasi dari permulaan tumbuhnya hidup dalam alam dunia ini ialah air. Ilmu Alam moden menyata­kan bahwasanya asal mulanya ialah laut, dan dengan evolusi sekian juta tahun mulailah tertampak hidup itu pada lumut. Sampai sekarang masih dapat dilihat kehidupan itu batu karang, beransur-ansur menjadi tumbuh-tumbuhan. Akhir­nya kemajuan lumut dan tumbuh-tumbuhan laut itu menjelma menjadi lokan­lokan, evolusinya terus kepada binatang melata yang dinamai serangga, kemu­dian melanjut menjadi ikan, sehingga dapat kita lihat peralihan dari ikan menjadi burung pada ikan terbang yang biasa kelihatan di lautan.

Ada binatang serangga, ada ular yang menjalar, ada kuda yang berlari, ada manusia yang berjalan atas-dua kaki, ada kera dan monyet yang hidup sebagai akhir dari kemajuan binatang dan awal dari pertumbuhan insani. Ilmu Pengetahuan tentang ini bisa diperpanjang dan penyelidikan bisa diteruskan, tidak ada halangannya. Tetapi ingatlah bahwasanya tingkatan-tingkatan yang di­tempuh oleh evolusi alam itu adalah berpangkal dari satu sumber, yaitu Kudrat Ilahi. Di ujung ayat diperingatkan hal ini: "Sesungguhnya Allah ada/ah Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Janganlah sampai berulang sebagai setengah manusia, yang setelah mendapat ilmu pengetahuan, karena luasnya dan dalamnya penyelidikan, lalu membelakangi kekuasaan Tuhan dan berani berkata bahwasanya segala evolusi itu terjadi atas kehendak Alam itu sendiri (Naturalisme). Alangkah ganjilnya orang yang memegang pendirian itu. Dia kagum karena evolusi itu teratur sangat, tetapi dia tidak mau tahu bahwasanya adanya teratur adalah karena adanya yang mengatur.

Beberapa Sarjana Muslim, lama sebelum teori kejadian HIDUP itu di­sempurnakan oleh Charles Darwin telah menyatakan hasil selidik mereka tentang kejadian hidup daripada air itu. Ibnu Maskawaihi telah menyatakan bahwa permulaan terdapatnya HIDUP ialah pada lumut, lama-lama menjadi tumbuh-tumbuhan, lama-lama menjadi batu karang dan siput-siput, lanjut menjadi ikan, lanjut pula menjadi serangga melata, dan jadi binatang. Akhirnya kemajuan binatang terjadi pada kera dan permulaan apa yang dinamai manusia ialah pada bangsa Zanji (suku liar di Afrika). Beliau meninggal di tahun 1030. Kemudian itu Ibnu Khaldun pun menyatakan pula hasil renungannya melanjutkan teori pertama itu, dan beliau meninggal tahun 1406. Lama sebelum disempurnakan oleh Darwin di abad kesembilanbelas.

Oleh sebab itu sesuailah pendapat kita, pengarang Tafsir ini dengan kesan yang pernah dinyatakan oleh Abbas Mahmoud Akkad, Pujangga Arab yang terkenal itu, bahwa kenyataan-kenyataan yang tertulis dalam al-Quran sebagai Wahyu, hormatilah sebaik-baiknya dan penafsiran janganlah dijadikan mutlak.

Dan menyelidiki serta memperdalam ilmu pengetahuan alam janganlah ter­henti, melainkan selidiki terus. Karena kadang-kadang setelah kita mendapat kemajuan ilmu pengetahuan, kita dapat membuka rahasia yang baru clan inti­sari al-Quran, yang tadinya karena kepicikan pengetahuan kita belum kita ketahui betapa rahasianya .

Lantaran itu pula maka ayat 46 dapatlah kita rasakan dengan mesra:
"Sesungguhnya telah Kami turunkan ayat-ayat untuk memberikan pen­jelasan. Dan Allah jualah yang meng-anugerahkan petunjuk kepada siapa yang Ia kehendaki, menuju jalan yang lurus."
Maka dihasunglah kita oleh ayat ini supaya selalu mempertinggi penge­tahuan kita tentang alam (Natuur Wetenschap), karena bertambah banyak yang kita ketahui tentang alam sekeliling kita, bertambah mantap mendalam iman kita akan kekuasaan llahi. Dan bertambah memancarlah Nur dari dalam hati kita melihat alam, karena dia telah disinari oleh pelita yang ada dalam hati kita.

Titov, Kosmonout Rusia itu, yang hanya seorang proef (percobaan) saja dari sarjana yang menyelidiki rahasia ruang angkasa, artinya bukan dia sendiri sarjananya, berani mengatakan bahwa dalam waktu dia dilontarkan ke ruang angkasa, sudah dicobanya mencari Tuhan dengan alat radarnya yang lengkap; tidak bertemu! Padahal orang yang lebih alim dari dia, yaitu Einstein, dengan segala kerendahan hati mengakui adanya Tuhan sebagai Pengatur (Mudabbir) dari alam ini juga sebagai Penjaga yang tidak pemah lalai lengah di dalam memelihara keseimbangan (Muhaimin).


01  02  03  04  05  06   07   08   09  10  11 12  13  14  15     Main Page .... >>>>