Tafsir Suroh Al-Muminun ayat 1 - 11
 
                                                         بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم  

 قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ َ

(1) Sesungguhnya menanglah orang-orang yang beriman.


 ٱلَّذينَ هُمْ في‏ صَلاتِهِمْ خاشِعُونَ 

(2) Orang-orang yang khusyu` di dalam melakukan sembahyang.


وَ الَّذينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ َ

(3) Dan orang-orang yang terhadap segala laku yang sia-sia me­nampik dengan keras.


 وَ الَّذينَ هُمْ لِلزَّكاةِ فاعِلُونَ َ

(4) Dan orang-orang yang mengerjakan ZAKAT.


 وَ الَّذينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حافِظُونَ َ

(5) Dan orang-orang yang selalu menjaga faraj (kelamin) mereka.


إِلاَّ عَلى‏ أَزْواجِهِمْ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومينَ َ

(6)  Kecuali terhadap isterinya atau hambasahayanya, maka tidaklah mereka tercela.


 فَمَنِ ابْتَغى‏ وَراءَ ذلِكَ فَأُولئِكَ هُمُ العادُونَ َ

(7) Tetapi barangsiapa yang masih memilih jalan di luar itu, itulah orang-orang yang telah melang­gar garis.


 وَ الَّذينَ هُمْ لِأَماناتِهِمْ وَ عَهْدِهِمْ راعُونَ َ

(8) Dan orang-orang yang menjaga dengan baik terhadap amanat dan janjinya.


 وَ الَّذينَ هُمْ عَلى‏ صَلَواتِهِمْ يُحافِظُونَ َ

(9) Dan orang-orang yang meme­lihara dan menjaga semua waktu sembahyangnya.


 أُولئِكَ هُمُ الْوارِثُونَ َ

(10) Mereka itulah yang akan me­warisi.


 ٱلَّذينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فيها خالِدُونَ َ

(11) Yang akan mewarisi syurga Firdaus dan di sanalah mereka mencapai khulud (kekal) selama­lamanya.


                                        Perjuangan Dan Kemenangan

 قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ َ
"Sesungguhnya menanglah orang-orong yang beriman.° (ayat 1).

Kalimat "menang" adalah bukti bahwasanya perjuangan telah dilalui menghadapi musuh atau berbagai kesulitan.
Orang tidaklah sampai kepada menang, kalau dia belum melalui dan mengatasi rintangan yang bertemu di tengah jalan. Memang sungguh banyak yang harus diatasi, dikalahkan dan ditundukkan dalam melangkah ke muka mencapai kemenangan. Kalau sekira­nya suatu bangsa mempunyai banyak musuh atau rintangan di dalam per­jalanannya untuk mencapai martabat yang lebih tinggi.

Rintangan dari kebodohan, rintangan dari nafsu-nafsu jahat yang ada dalam diri sendiri, yang mungkin membawa derajat kemanusiaan jadi jatuh, sehingga kembali ke tempat kebimbangan rintangan dari syaitan yang selalu merayu dan memperdayakan, semuanya pasti bertemu dalam hidup. Hati nurani manusia ingin kejayaan,. kemuliaan dan kedudukan yang lebih tinggi. Tetapi hawanafsunya mengajaknya atau menariknya supaya jatuh ke bawah. Kalau kiranya "pegangan hidup" tidak ada, diri itu pasti kalah dan tidak tercapai apa yang dimaksud, yaitu kemenangan hidup.

Maka di dalam ayat ini diberikan keterangan bahwasanya kemenangan pastilah didapat oleh orang yang beriman, orang yang percaya. Kalimat "qod" yang terletak di pangkal fill madhi (Aflaha) menurut undang-undang bahasa Arab adalah menunjuk kan kepastian. Sebab itu maka ia (Qad) diartikan "sesungguhnya".

Hanyalah adanya kepercayaan adanya Tuhan jalan satu-satunya buat membebaskan diri dari perhambaan hawa nafsu dunia dan syaitan. Penga­laman-pengalaman di dalam hidup kita kerapkali menunjukkan bahwasanya di atas kekuasaan kita yang terbatas ini ada kekuasaan Ilahi. Kekuasaan Ilahi itu­lah yang menentukan, bukan kekuasaan kita. Tetapi kepercayaan dalam hati saja, belumlah cukup kalau belum diisi dengan perbuatan. Iman mendorong sanubari buat tidak mencukupkan dengan hanya semata pengakuan lidah.

Dia hendaklah diikuti dengan buktt dan bakti. Kemudian bukti-bukti itu memperkuat Iman pula kembali. Di antara Iman dan perbuatan adalah isi­mengisi, kuat-menguatkan. Bertambah banyak ibadat, bertambah kuatlah lman. Bertambah kuat Iman, bertambah pula kelezatan dalam jiwa lantaran beribadat dan beramal.

Maka ditunjukkanlah 6 (enam) syarat yang wajib dipenuhi sebagai bukti Iman. Kalau 6 syarat ini telah terisi, pastilah menang. Menang mengatasi ke­sulitan diri sendiri, menang dalam bernegara, dan lanjutan dari kemenangan semuanya itu ialah syurga jannatul firdaus. Syarat kemenangan Peribadi Mu'min yang pertama ialah:

Sembahyang Yang Khusyu`

ٱلَّذينَ هُمْ في‏ صَلاتِهِمْ خاشِعُونَ
"Orang-orang yang khusyu` di dalam melakukan sembahyang." (ayat 2).

Tuhan tidaklah semata-mata untuk dipercayai. Kalau semata hanya dipercayai, tidaklah akan terasa betapa eratnya hubungan dengan DIA. Kita harus mengendalikan diri sendiri supaya bebas lain di dalam alam ini. Sebagai manusia kita mempunyai naluri, yang kalau din ini tidak mempunyai tujuan terakhir dalam hidup, niscaya akan sangsai dibawa larat oleh naluri sendiri.

Kita mempunyai instink rasa takut. Kita dipengaruhi oleh rasa takut kepada kemiskinan, takut kepada kematian, takut akan tekanan-tekanan sesama kita manusia, kezaliman orang-orang yang berkuasa atas kita. Bahkan kadang kadang manusia yang berani pun ada juga naluri takutnya. Roosevelt Presiden Amerika Syarikat dalam Perang Dunia Kedua, menambahkan lagi salah satu tujuan "Declaration of Human Right" ialah bebas dari rasa takut (freedom from fear). Padahal tidaklah manusia dapat membebaskan diri dari rasa takut itu, sebab naluri rasa takut adalah sebagian dari naluri rasa takut mati. Takut mati ialah karena keinginan hendak terus hidup.

Dengan mengerjakan sembahyang, yaitu bahasa nenek-moyang kita yang telah kita pakai untuk arti "shalat", maka seluruh rasa takut telah terpusat kepada Tuhan, maka tidaklah ada lagi yang kita takuti dalam hidup ini. Kita tidak takut mati, karena dengan mati kita akan segera berjumpa dengan Tuhan untuk mempertanggungjawabkan amal kita selama hidup. Kita tidak takut kepada zalim aniaya sesama manusia, karena sesama manusia itu hanyalah makhluk sebagai kita juga. Kita tidak takut kepada lapar lalu tak makan, karena rezeki kita telah dijamin Tuhan, asal kita mau berusaha. Kita tidak takut meng­hadang bahaya, karena tidak ada yang bergerak dalam alam ini kalau tidak ditentukan Tuhan. Dengan sembahyang yang khusyu` rasa takut menjadi hilang, lalu timbul perasaan-perasaan yang lain. Timbullah pengharapan (desire) dan pengharapan adalah kehendak asasi manusia. Hidup manusia tidak ada artinya samasekali kalau dia tidak mempunyai pengharapan.

Sembahyang 5 waktu adalah laksana setasiun-setasiun perhentian istirahat jiwa di dalam perjuangan yang tidak henti-hentinya ini. Sembahyang adalah saat untuk mengambil kekuatan baru melanjutkan perjuangan lagi. Sembah­yang dimulai dengan Allahu Akbar" itu adalah saat membulatkan lagi jiwa kita supaya lebih kuat, karena hanya Allah Yang Maha Besar, sedang segala perkara yang lain adalah urusan kecil belaka. Tak ada kesulitan yang tak dapat diatasi.

Khusyu` artinya ialah hati yang patuh dengan sikap badan yang tunduk. Sembahyang yang khusyu`, setelah menghilangkan rasa takut adalah pula menyebabkan berganti dengan berani, dan jiwa jadi bebas. Jiwa tegak terus naik ke atas, lepas dari ikatan alam, langsung menuju Tuhan. Dengan sembah­yang barulah kita merasai nilai kepercayaan (Iman) yang tadinya telah tumbuh dalam hati. Orang yang beriman pasti sembahyang, tetapi sembahyang tidak ada artinya kalau hanya semata gerak badan berdiri, duduk, ruku` dan sujud. Sembahyang mesti berisi dengan khusyu`. Sembahyang dengan khusyu` ada­lah laksana tubuh dengan nyawa. Tuhan memberi ukuran waktu paling sedikit (minimum) untuk mengerjakan sembahyang itu 5 waktu. Tetapi sembahyang lima waktu yang khusyu` menyebabkan Mu'min ingin lagi membuat hubungan lebih baik dengan Tuhan, lalu si Mu'min mengerjakan shalat yang nawafil dalam waktu-waktu yang tertentu. Dengan itu semua jiwanya menjadi lebih kuat berjuang dalam hidup. Sebab......

  

"Dialah yang menjadikan untuk kamu apa yang ada di bumi semaunya." (al-Baqarah 29)

Membenteng Peribadi

وَ الَّذينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ َ

"Dan orang-orang yang terhadap segala laku yang sia-sia menampik dengan keras." (ayat 3).

Saat hidup kita dalam dunia ini amatlah singkatnya, daerah yang kita jalani amatlah terbatas. Sedang mencoba-coba mempergunakan umur, meresek meraba ke kiri-kanan, tiba-tiba umur telah habis. Mana yang telah pergi.tidak dapat diulangi lagi. Sebab itu maka segala tingkah laku, baik perbuatan atau ucapan hendaklah ditakar sebaik-baiknya.
"AI-Laghwi" dari kata "Laghoo", artinya perbuatan atau kata-kata yang tidak ada faedahnya, tidak ada nilainya. Baik senda-gurau atau main-main yang tak ada ujung pangkalnya.

Kalau perbuatan atau tingkah laku atau perkataan sudah banyak yang percuma dan sia-sia, peribadi tidak jadi naik, melainkan turun kembali. Maka kekuatan peribadi yang telah didapat dengan sembahyang khusyu` haruslah di pelihara dengan mengurangi garah, senda-gurau, berjudi walaupun tak ber­taruh. Di dalam satu majlis besar, peribadi dapat diukur menurut nilai tingkah faku dan ucapan. Sebagaimana pepatah orang Arab :

"Barangsiapa yang banyak main-main, dipandang orang ringanlah nilai dirinya. "

Diserahkanlah kepada setiap peribadi menimbang sendiri mana yang logha, perbuatan atau kata-kata yang sia-sia dan mana yang berfaedah. Ke­kuatan ibadat kepada Ilahi, kekhusyu'an dalam sembahyang yang akan meng ansur pembersihan jiwa kita. Apabila jiwa telah mulai bersih, dia berkilat ber­cahaya, dia akan menerima cahaya pula.

Agama tidak melarang suatu perbuatan kalau perbuatan itu tidak merusak jiwa. Agama tidak menyuruh, kalau suruhan itu tidak akan membawa selamat dan bahagia jiwa. Segala yang dinamai dosa, atau lagha. Segala perbuatan yang di luar dari kebenaran, artinya yang salah, tidaklah ada hakikatnya.

Gangguan terlalu lebih banyak dari kiri-kanan kita, kita harus membentengi diri dan tidak menoleh ke kiri-kanan. Kita harus jalan terus, sebab berhenti sejenak saja pun artinya ialah kerugian. Sebab itu jika dengan menampik segala sikap sia-sia dan percuma, adalah menjaga peribadi itu dari keruntuhan. Renungkanlah dan fikirkan betapa singkatnya kesempatan dalam dunia ini akan melukiskan nilai dari kehidupan itu. Laksana putik kita telah tumbuh, di waktu masih putik rasa belum ada. Dari putik menuju jadi buah yang muda, kalau masih buah muda rasanya masih masam. Kalau sudah tua dan masak, itu­lah alamat bahwa tempoh buat tanggal dari tampuk sudah amat dekat.

Kalau sudah demikian tempoh sudah amat sedikit itu akan dibuang-buang dengan perbuatan sia-sia. Padahal kalau tempoh yang sedikit itu dapat dipergunakan dengan perhitungan yang baik dan tepat, umur diperpanjang dengan jasa dan buah tangan. Sehingga walaupun telah hancur tulang dalam kubur namun sebutan masih ada. "Sebutan adalah usia manusia yang kedua kali." Dengan kedua ayat itu, ayat khusyu` dalam sembahyang dan ayat me­nampik segala perbuatan sia-sia, diri peribadi telah dapat dibangunkan dan dapat pula diberi benteng untuk menjaga jangan rusak. Karena satu bangunan yang dibangun kedua kali lebih payah dari pembangunan semula, padahal umur berjalan juga.
Pembersihan Jiwa

وَ الَّذينَ هُمْ لِلزَّكاةِ فاعِلُونَ َ

"Dan orang-orang yang mengerjakan zakat." (ayat 4).

Kalau peribadi telah terbangun dan diberi benteng jangan runtuh kembali, sudahlah masanya kita menceburkan diri ke tengah pergaulan ramai. Kekuatan peribadi bukanlah maksudnya untuk menyisihkan diri dari orang banyak. Timbulnya peribadi adalah setelah dibawa ke tengah. Barang yang telah di­bawa ke tengah ialah barang yang sudah dibangun, dan dia selalu wajib di­bersihkan, digosok terus dan diberi cahaya terus. Laksana lampu listrik stroom­nya mesti selalu dialirkan, jangan dia padam di tengah gelanggang.

Lihatlah suatu majlis yang bermandi cahaya terang. Alangkah indah campuran warna. Sebabnya ialah karena segala cahaya yang timbul dari setiap lampu telah berkumpul menjadi satu mentipta cahaya besar.
Bersihkanlah hati itu dari sekalian penyakitnya yang akan meredupkan cahaya.
Dengki adalah debu yang mengotori jiwa. Bakhil adalah debu yang mengotori jiwa. Dusta adalah debu yang mengotori jiwa. Benci adalah debu yang mengototi jiwa.

Segala perangai jahat, kebusukan hati menghadapi masyarakat, semuanya adalah sebab-sebab yang menjadikan jiwa tidak dapat dibawa ke tengah. Cahaya jiwa tertutup oleh karena kesalahan pilih. Kemurnian Tauhid kepada Ilahi clan hati bersih terhadap sesama manusia adalah pengkalan dari kesucian: zakat.
Lizzakati faa'ilun : Selalu bekerja, aktif membersihkan jiwa dan raga agar tercapai kemenangan.

"Menanglah barangsiapa yang selalu membersihkan diri." (al-A'la: 14)

Yang dibersihkan bukan jiwa saja, bahkan tubuh lahir pun. Sebab yang lahir adalah cermin clan yang batin. Sebab itu sebelum mengaji r/a (rubu`) ilmu Fiqh, dibicarakan dahulu dari hal kebersihan (thoharoh) panjang lebar.

Sebab itu maka pengeluaran Zakat harta yang telah cukup bilangannya (Nishab) clan cukup tahunnya (Haul), hanyalah sebagian saja clan usaha mem­bersihkan jiwa itu. Orang yang tidak cukup hartanya satu nishab clan belurn sampai bilangan setahun masih ada yang memberikan derma atau wakaf untuk kebaikan. Karena berasal clan kebersihan jiwanya.

Orang yang membayar Zakat Fithrah, ukuran Zakat Fithrah hanya 3.5 liter buat satu orang. Tetapi ada orang yang mengeluarkannya Fithrah satu pikul beras, karena didorong oleh kesucian hati yang bersih daripada pengaruh bakhil, dia menjadi seorang yang dermawan.

Marilah perhatikan dengan seksama kalimat "Fa'iluun" yang berarti mengerjakan. Mengerjakan Zakat. Sebagai tadi diketahui Surat al-Mu'minun diturunkan di Makkah dan di Makkah belum ada lagi syariat Zakat yang berarti membayarkan bilangan harta tertentu kepada yang mustahak menerirnanya. Peraturan berzakat demikian, sebagai salah satu tiang (rukun) Islam baru turun di Madinah clan perintah mengeluarkan zakat harta itu dimulai dengan kalimat: Aatu, iyi memberikan atau mengeluarkan zakat. Sedang dalam ayat ini disebut Lizzakati Faa'ilun, mengerjakan zakat. Lantaran itu jelaslah bahwa dalam ayat ini belum ada perintah mengeluarkan harta dengan bilangan ter­tentu (nishab), melainkan barulah perintah yang umum untuk bekerja keras membersihkan perangai, akhlak dan budi. Berlatih diri, sehingga kelaknya bukan harta saja yang ringan memberikannya untuk kepentingan Agama Allah, bahkan nyawa pun dikurbankan ap.abila datang waktunya.
Kelamin Dan Rumahtangga

وَ الَّذينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حافِظُونَ َ

"Dan orang-orang yang selalu menjaga faraj (kelamin) mereko." (ayat 5). "

إِلاَّ عَلى‏ أَزْواجِهِمْ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومينَ َ

Kecuali terhadap isterinya atau hambasahayanya, maka tidaklah mereka tercela. " (ayat 6).

فَمَنِ ابْتَغى‏ وَراءَ ذلِكَ فَأُولئِكَ هُمُ العادُونَ َ

"Tetapi barangsiapa yang masih memilih jalan di luar itu, itulah orang-orang yang telah melanggar garis. " (ayat 7).

Hubungan dengan Ilahi telah diperteguh dengan sembahyang yang khusyu`.
Dengan demikian peribadi yang kuat telah dibangunkan. Segala ting­kah laku, perbuatan dan perkataan yang sia-sia telah ditolak dan ditampak.
Dengan demikian peribadi telah diberi benteng. Setiap waktu bekerja dan bekerja untuk menegakkan kesucian jiwa clan raga, sehingga layak masuk dalam masyarakat, memadukan cahaya terang-benderang untuk menyinari lebih luas. Tetapi semuanya itu belumlah terjamin, kalau belum tegak rumah­tangga yang kokoh. Hubungan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan yang diliputi kasih mesra. Suami-isteri yang diliputi kasih mesra dan kesetiaan dua belah pihak menimbulkan suasana suci murni, menurunkan keturunan anak-pinak yang menyambung tugas takwa kepada Ilahi.

Hubungan suami-isteri dalam rumahtangga tegak atas "Mawaddah dan Rahimah". Di waktu badan masih sama-sama kuat dan muda, mawaddah (kasih cinta)lah yang tertonjol. Dan kalau sudah sama-sama berumur, rahmah lah (belas kasihan) yang terkemuka. Orang tua dikhidmati oleh anak-anak. Anak percaya dan sayang kepada ibu bapaknya, karena ibu bapak tidak pernah kecurian budi oleh anak-anaknya.

Kalau faraj (kelamin) tidak terjaga, si suami masih melantur malam mencari perempuan lain untuk menumpahkan hawanafsu di samping isterinya yang sah, kerusakanlah yang akan timbul. Jiwanya akan rusak, kesucian akan hancur sirna dan rumahtangga pecah berderai, bahkan menjadi neraka. Berapa pun uang disediakan tidaklah akan cukup. Dan apabila hawanafsu kelamin diper­turutkan, tidaklah akan berhenti di tengah jalan. Air pelembahan yang kotor itu akan diminum sampai habis, dan susah melepaskan diri clan dalamnya. Hari depan jadi gelap.

Ada perempuan yang sabar menanggungkan perangai jahat suaminya, tetapi ada pula yang tak tahan hati. Kalau lakinya nakal, "mengapa daku tidak nakal pula", katanya. Rumahtangga bertambah hancur, anak-anak kehilangan pegangan, penyakit jiwa, kehilangan kepercayaan di antara satu sama lain. Dan kalau sudah demikian, bangsalah yang hancur.

Nafsu kelamin menggelora di waktu muda. Hanya kekuatan Iman ber­agama yang dapat menahannya. Sedangkan pada yang halal kalau diperturut­kan saja, orang akan cepat kehabisan kalori dan hormon, apalagi kalau berzina. Karena zina tidak dapat dilakukan satu kali. Belum sampai separuh umur, kekuatan sudah habis, belum pula kalau ditimpa penyakit kelamin.

Islam mengizinkan beristeri lebih dari satu buat orang yang nafsu kelamin­nya amat keras. Tetapi apabila diperhatikan ayat yang mengizinkan beristeri sampai 4 itu dengan seksama, jelas bahwa bagi orang yang masih "normal" lebih baiklah beristeri satu saja. Karena beristeri banyak itu pun menyusahkan untuk mendirikan rumahtangga bahagia, hanya menimbulkan permusuhan dendam kesumat di antara orang-orang yang bermadu clan di antara anak-anak yang berlain ibu.

Di dalam ayat ini diberi pula kekecualian yang kedua, yaitu terhadap hambasahaya yang dijadikan gundik. Ayat ini berlaku semasa perbudakan masih diizinkan. Di zaman Nabi hidup, perbudakan masih ada di dalam masya rakat durtia dan menjadi tradisi umum bangsa-bangsa zaman itu. Perbudakan telah ada sejak zaman Yunani dan Romawi, bahkan telah ada sejak jauh se­belum itu. Maka jika Nabimasih mengakui kenyataan itu, adalah hal yang wajar. Kalau terjadi perang, sedang Nabi tidak lagi memandang orang tawanan yang tidak ditebus sebagai hambasahaya, padahal negara lain yang berperang dengan dia masih berpegang kepada aturan itu, alangkah timpangnya. Orang lain ditawan oleh tentara Islam tidak diperlakukan sebagai budak dan dibebas­kan, sedangkan tawanan Muslimin masih diperlakukan demikian oleh musuh. Betapakan jadinya?

Di akhir abad kesembilanbelas, barulah dunia sopan menghabiskar perbudakan. Di Amerika penghapusan perbudakan menimbulkan perang saudara clan penganjurnya sendiri Abraham Lincoln menjadi kurban dari cita citanya. Namun demikian peperangan yang terjadi kemudiannya sampai perang dunia kedua, tawanan perang oleh setengah negeri masih diperlakukan sebagai budak, dipekerjakan di Siberia dan lain-lain dengan amat kejam. Dan terkenallah betapa kac.au-balaunya wanita-wanita Jerman ketika tentara sekutu masuk ke negeri itu. Perbudakan tidak diadakan lagi, tetapi wanita-wanita dari bangsa yang kalah diperkosa oleh tentara pendudukan dengan tidak ada garis aturan tertentu.

Tentara pendudukan Amerika di Jepang meninggalkan beratus ribu anak­anak di luar nikah. Adapun dalam Islam, kalau suatu negeri ditaklukkan, dan perempuan-perempuan kehilangan suami, kehilangan hartabenda, menjadi tawanan, kalau tidak dapat menebus dirinya lagi, bolehlah dia diambil menjadi budak. Dan boleh menjadi tambahan isteri dengan nikah, dan anak-anak dari hubungan perkawinan dengan budak itu rnenjadi anak Bani Abbas, termasuk Harun al-Rasyid dan al-Ma'mun sendiri adalah anak dari budak yang dijadikan isteri itu .

Sungguhpun demikian, narnun cita-cita tertinggi berakhir rumahtangga bahagia ialah isteri satu, dan habisnya perbudakan.
Rumahtangga bahagia adalah sendi pertama dari Negara yang adil dan makmur.
Kalau ini dilanggar, hubungan kelamin tidak lagi menurut garis kemanusiaan, dan orang telah kembali hidup seperti binatang, sehingga persetubuhan tidak mengenal lagi batas zina dan nikah, hancurlah semuanya dan orang turun ke dalam kebinatangan.

Tugas Dan Janji

وَ الَّذينَ هُمْ لِأَماناتِهِمْ وَ عَهْدِهِمْ راعُونَ َ

"Dan orang-orang yang menjaga dengan baik terhadap amanat dan janjinya." (ayat 8).

Peribadi telah dibangun dan diberi benteng, jiwa clan raga telah dibersih­kan ketika masuk dalam gelanggang masyarakat, dan rumahtangga bahagia yang terlepas clan bahaya kecabulan clan pelacuran telah ditegakkan pula, niscaya tujuan terakhir akan tercapai, yaitu negara yang adil clan makrnur.
Dalam negara yang adil dan makmur setiap orang memikul amanatnya dengan baik.

Amanat terbagi dua, yaitu amanat raya clan amanat peribadi. Amanat raya ialah tugas yang dipikulkan Tuhan atas perikemanusiaan seluruhnya, menjadi Khalifatullah fil-Ardhi. Amanat tidak terpikul oleh langit dan bumi dan oleh bukit dan gunung pun. Hanya hati yang Mu'min yang sanggup memikul amanat itu, karena hati Mu'min itu lebih luas daripada langit dan bumi dan lebih tinggi daripada bukit clan gunung.

Adapun amanat peribadi ialah tugas kita masing-masing menurut kesanggupan diri, bakat dan nasib. Diingatkan oleh Tuhan bahwa tugas hidup hanyalah pembagian pekerjaan, bukanlah ke­muliaan dan kehinaan. Yang mulia di sisi Allah ialah barangsiapa yang lebih takwa kepadaNya.

Derajat kita dihadapkan Allah sama dan kejadian kita sama, tetapi tugas terbagi. Ada pemegang pemerintahan dengan pangkat tinggi dan ada petani pemegang cangkul. Ada Bapak menteri, tetapi Bapak menteri tidak akan sampai ke kantor departer7nennya kalau tidak ada Bung Sopir.

Ada pengusaha swasta membuka kantor besar dan ada abang tukang men­jual buah. Ada laki-laki dan ada perempuan, ada mahasiswa dan ada guru besar. Asal samasekali setia memikul tugas, adil dan makmur mesti tercapai.
"Dan bagi tiap-tiap orang ada jurusan yang dihadapi. Sebab itu maka ber­lomba-lombalah berbuat baik. Karena di mona saja pun kamu ada, namun Allah akan mengumpulkan kamu sekalian jua." (al-Baqarah: 148)
Peganglah tugas amanat masing-masing dan pulanglah ke tempat itu kalau tadinya salah pilih.

Di samping tugas sebagai amanat ada lagi janji-janji. Negara terdiri atas janji. Janji rakyat hendak tunduk clan setia, janji pemerintah hendak menegak­kan keadilan. Janji tentara dengan disiplinnya yang keras, janji bangsa dengan bangsa, janji negara dengan negara. Janji atau sumpah di parlemen, janji dan sumpah menteri ketika dilantik. Janji polisi memelihara keamanan dan berbagai lagi janji. Inilah yang akhirnya berpadu satu menjadi janji maysarakat atau kontrak sosial.
Dari peneguhan peribadi ketuhanan, kemasyarakatan, ke rumahtangga dan akhirnya ke negara, dengan memelihara amanat clan janji. Kembali Ke Sembahyang

وَ الَّذينَ هُمْ عَلى‏ صَلَواتِهِمْ يُحافِظُونَ َ

"Dan orang-orang yang memelihara dan menjaga semua waktu sembah­yangnya." (ayat 9).

Ya, Insya Allah tercapailah negara adil dan makmur, dengan khusyu` kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi negara bukanlah tujuan terakhir, per­kembangan selanjutnya setelah negara berdiri, masih banyak soal, problem akan diiringi oleh problem. Berhenti timbul persoalan, artinya ialah mati. Sebab itu jiwa senantiasa mesti kuat menghadapi segala soal. Maka jika dalam menuju keadilan dan kemakmuran dimulai dengan khusyu' sembahyang, di­tutup pun oleh memelihara sembahyang.

Dapatlah keadaan itu dirumuskan dengan inti pati kata: "Dan sernbahyang kita mulai melangkah dengan khusyu`, kita jalan terus ke muka menghadapi masyarakat, menegakkan rumahtangga clan menegakkan negara. Dan setelah negara berdiri kita bertekun lagi memelihara hubungan dengan Ilahi, dengan sembahyang, moga-moga kita selalu diberi kekuatan untuk menghadapi soal­soal yang ada di hadapan kita. Atau dari Mesjid kita melangkah kekuatan baru ke mesjid.
Dengan itu kita sebagai Mu'min diberi janji pasti oleh Tuhan bahwa kita akan menang.
Itulah sebabnya maka setiap memanggil sembahyang lima waktu diseru­kan "Hayya `alal Falaah" (Mari berebut kemenangan).
Kemenangan sebagai UMMAT yang berarti dalam dunia, ummaton wasathon, tegak di persimpangan jalan hidup memberikan panduan atas seluruh isi alam. Dan kemenangan lagi di akhirat.

أُولئِكَ هُمُ الْوارِثُونَ َ

"Mereka itulah yang akan mewarisi. " (ayat 10).

ٱلَّذينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فيها خالِدُونَ َ

"Yang akan mewarisi syurga Firdaus dan di sanalah mereka mencapai khulud (kekal) selama­lamanya." (ayat 11).

Syurga Firdaus, Jannatun Na'im, itulah tujuan di balik hidup sekarang ini. Hidupnya seorang Mu'min adalah mengenangkan juga kebahagiaan "Hari Esok". Kita menyelesaikan dunia untuk menentukan nasib di akhirat. Bagi Mu'min, negara itu bukanlah semata negara duniawi, atau sculer. Bagi Mu'min amal usaha, derma dan bakti di dalam hidup adalah bekal untuk akhirat. Kadang-kadang tidaklah tercapai seluruhnya cita yang besar. Hidup kalau tidak ada pengharapan lanjut, adalah kebuntuan belaka. Kadang-kadang kita telah berjuang dengan ikhlas, untuk masyarakat, untuk rumahtangga dan untuk negara.

Tetapi tidaklah selalu berjumpa apa yang kita harapkan. Rencana Ilahi yang lebih tinggi berbeda dengan rencana kita sendin. Tuhan yang tahu, dan kita tak tahu. Kadang-kadang khittah pertama gagal aiau kita terbentur. Tetapi tidaklah kita mengenal putusasa, sebab kita mempunyai kepercayaan akan "hari esok".

Alam fikiran yang bersendi atas kebenaran dan kepercayaan tidaklah mengenal umur dan tidaklah mengenal jangka waktu. Lantaran kepercayaan akan hari esok itu, seorang Mu'min tidaklah cemas kalau dia menutup mata sebelum cita-cita tercapai. Karena dia mempunyai keyakinan bahwa akan ada yang meneruskan usahanya. Dan dia pun matt dengan bibir tc:rsenyum simpul karena yakin akan kebenarannya dan yakin pula bahwa dia akan mewarisi Jannatul Firdaus, dan akan kekal selamanya di dalarnnya.
Alangkah sempitnya hidup kalau tidak lapang cita-cita

Akhlak Nabi

Diriwayatkan orang bahwa beberapa orang sahabat pemah bertanya kepada Ibu orang yang beriman, Siti Aisyah r a. isteri beliau tentang hagaimana Akhlak Nabi kita. Aisyah telah menjawab: "Akhlak beliau adalah al-Quran, kemudian itu beliau baca ayat-ayat Surat al-Mu'minun ini, sejak ayat pertama Qad Aflahal Mu'minun, sampai ayat "dan orang-orang yang rnerneliliara akan sembahyang nya" itu.
Dan beliau (Siti Aisyah) berkata lagi: "Segitulah Akhlak Rasulullah s.a.w."


Dan begitu pulalah akhlak kita hendaknya.


01   02   03    04    05   06   07   08   09  10   11  12  13  14  15   16  17  18  19  20  21

BACK MAIN PAGE .   >>>>