Iman kepada Allah telah dipadu dengan ayat yang
terlebih dahulu, yaitu bahwasanya seluruh kekuasaan adalah pada Allah. Kalau
ada manusia berkuasa, maka itu adalah anugerah belaka dari Allah, dan Allah
pun bersedia pula mencabut kekuasaan itu kembali. Orang tidak akan mulia
kalau bukan Allah yang memuliakan dan orang tidak hina kalau bukan Allah
yang menghinakan. Sehingga walaupun seluruh isi dunia untuk menghinakan
engkau, kalau tidak hina kata Tuhan, tidaklah engkau akan hina. Walaupun
sepakat isi dunia hendak memuliakan engkau, kalau Tuhan akan menetapkan hina,
dunia tidaklah dapat menolong. Kecil kita dan kecil dunia, di hadapan Tuhan.
Sekarang setelah mendapat pendirian yang demikian,
datanglah tuntunan yang maha penting:
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكافِرينَ
أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنينَ
"Janganlah mengambil
orang-orang yang mu'iminin akan orang-orang kafir jadi pemimpin , lebih
daripada orang-orang yang beriman."
(pangkal ayat 28).
Di sini terdapat perkataan aulia'.
Dahulupun pernah kita uraikan arti kata wali, yang berarti pemimpin atau
pengurus atau teman karib, ataupun sahabat ataupun pelindung.
Di surat al-Baqarah ayat 256 kita telah diberikan
pegangan, bahwasanya wali yang sejati, artinya pemimpin, pelindung dan
pengurus orang yang beriman hanya Allah. Di ayat itu Tuhan memberikan
jaminannya sebagai wali, bahwa orang yang beriman akan dikeluarkan dari
gelap kepada terang. Dan di dalam ayat itu juga diterangkan bahwa wali orang
yang kafir adalah Thaghut dan Thaghut itu akan mengeluarkan mereka dari
terang kepada gelap.
Kemudian di dalam ayat yang lain kita telah bertemu
pula keterangan bahwasanya orang beriman sesama beriman yang sebahagian
menjadi wali dari yang lain, sokong-menyokong, bantu membantu, sehingga
arti wali di sini ialah persahabatan. Maka di dalam ayat yang tengah kita
bicarakan ini, diberikanlah peringatan kepada orang yang beriman, agar
mereka jangan mengambil orang kafir menjadi wali.
Jangan orang yang tidak percaya kepada Tuhan
dijadikan wali sebagai pemimpin, atau wali sebagai sahabat. Karena akibatnya
kelak akan terasa, karena akan dibawanya ke dalam suasana thaghut
Kalau dia pemimpin atau pengurus, sebab dia kufur, kamu akan dibawanya
menyembah thaghut. Kalau mereka kamu jadikan sahabat, kamu akan diajaknya
kepada jalan sesat, menyuruh berbuat jahat, mencegah berbuat baik.
Menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dan
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, bahwa Ibnu Abbas berkata: "Al-Hajjaj bin 'Amr
mengikat janji setia kawan dengan Ka'ab bin al-Asyraf (pemuka Yahudi yang
terkenal sebagai penafsir) dan Ibnu Abi Haqiq dan Qais bin Zaid. Ketiga
orang ini telah bermaksud jahat hendak mengganggu kaum Anshar itu lalu
ditegur oleh Rifa'ah bin al-Mundzir dan Abdullah bin Jubair dan Sa'ad bin
Khatamah, supaya mereka menjauhi orang-orang Yahudi yang tersebut itu.
Hendaklah mereka berawas diri dalam perhubungan dengan mereka, supaya agama
mereka jangan difitnah oleh orang-orang Yahudi itu.
Tetapi orang-orang yang diberi peringatan itu tidak
memperdulikannya." Inilah kata Ibnu Abbas yang menjadi sebab turunnya ayat
ini.Ada lagi suatu riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnul
Mundzir dan Ibnu Abi Hatim dari beberapa jalan riwayat, bahwasanya tafsir
ayat ini ialah bahwa Allah melarang orang-orang yang beriman bersikap
lemah-lembut terhadap orang kafir dan mengambil mereka jadi teman akrab
melebihi sesama beriman, kecuali kalau orang-orang kafir itu lebih kuat
daripada mereka. Kalau demikian tidaklah mengapa memperlihatkan sikap lunak,
tetapi hendaklah tetap diperlihatkan perbedaan di antara agama orang yang
beriman dengan agama mereka.
Untuk mendekatkan kepada faham kita, bacalah pula
tafsir surat al-Mumtahanah (Surat 60 ayat 1). Seorang sahabat Nabi yang
terkemuka, pernah turut dalam peperangan Badar, bernama Hathib bin Abi
Balta'ah, seketika Rasulullah saw menyusun kekuatan buat menaklukkan Makkah,
dengan secara diam-diam dan rahasia telah mengutus seorang perempuan ke
Makkah, membawa suratnya kepada beberapa orang musyrikin di Makkah, menyuruh
mereka bersiap-siap, sebab Makkah akan diserang.
Maksudnya ialah untuk menjaga dirinya sendiri. Sebab
kalau serangan itu gagal, dia sendiri tidak akan ada yang memperlindunginya
di Makkah. Dia tidak mempunyai keluarga besar di Makkah, seperti
sahabatsahabat rasulullah s.a.w, yang lain. Dengan mengirim surat itu dia
hendak mencari perlindungan. Syukurlah Tuhan memberi isyarat kepada
Rasulullah tentang kesalahan Hathib itu, sehingga beliau suruh kejar
perempuan itu, sampai digeledah surat itu di dalam sanggulnya. 'Umar bin
Khattab telah meminta izin kepada Rasulullah untuk membunuh Hathib karena
perbuatannya yang dipandang berkhianat itu. Untuk kepentingan diri sendiri
dia telah membuat hubungan dengan orang kafir. Perbuatannya itu salah. Sebab
dia telah membocorkan rahasia peperangan, syukurlah suratnya itu dapat
ditangkap. Kalau bukanlah karena jasanya selama ini, terutama karena dia
telah turut dalam peperangan Badar, niscaya akan berlakulah atas dirinya
hukuman berat.
Hathib bin Abi Balta'ah termasuk sahabat besar,
namun demikian sekali-sekali orang besarpun bisa terperosok kepada satu
langkah yang merugikan negara dengan tidak disadari, karena lebih
mengutamakan memandang kepentingan diri sendiri. Maka dalam surat al-Mumtahanah
ayat 1 diperingatkan supaya orang-orang beriman jangan mengambil orang kafir
menjadi wali, karena menumpahkan kasih-sayang.
Padahal kalau telah terjadi pertentangan (konfrontasi)
dengan musuh, dalam hal ini di antara kaum Muslimin di Madinah dan kaum
Musyrikin di Makkah, hubungan pribadi tidak boleh dikemukakan lagi. Mungkin
pribadi-pribadi orang di Madinah dengan dengan pribadi orang di Makkah
tidak ada selisih, tidak bermusuh, malah berkawan, bersahabat karib,
tetapi dalam saat yang demikian hubungan pribadi tidak boleh ditonjolkan,
sebab akan mengganggu jalannya penentuan kalah - menang diantara golongan
yang berhadapan.
وَ مَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ
في شَيْءٍ
"Dan barangsiapa yang berbuat demikian itu , maka tidaklah ada dari Allah
sesuatu juapun."
Tegasnya, dengan sebab mengambil wali kepada kafir,
baik pimpinan atau persahabatan, niscaya lepaslah dari perwalian Allah,
putus dari pimpinan Tuhan, maka celakalah yang akan mengancam.
إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوا
مِنْهُمْ تُقاةً
"Kecuali bahwa kamu berawas diri
dari mereka itu sebenar awas."
Beratus-ratus tahun lamanya negeri-negeri Islam
banyak yang dijajah oleh pemerintahan yang bukan Islam, karena terpaksa.
Karena tergagah, karena senjata untuk melawan dan kekuatan untuk bertahan
tidak ada lagi. Maka tetaplah larangan pertama, yaitu tidak menukar wali
dari Allah kepada mereka. Kalau ini tidak dapat dinyatakan keluar, hendaklah
disimpan terus di dalam hati dan hendaklah selalu awas sebenar-benar awas,
supaya dengan segala daya-upaya bahaya mereka itu untuk membelokkan dari
Allah kepada Thaghut dapat ditangkis. Pendeknya , sampai kepada saat yang
terakhir wajib melawan , walaupun dalam hati.
Taqiyah
Bersikap lunak-lembut kepada musuh, yang merupakan
satu ketundukan dan menyerah, karena musuh itu lebih kuat, itulah yang
dinamai sikap taqiyah. Kepala selalu terangguk-angguk merupakan
setuju, padahal hati bukan setuju. Mulut senantiasa tersenyum, musuh yang
kafir itu menyangka bahwa si Mu'min telah tunduk, padahal bukan tunduk.
Orang yang tidak memahami ajaran Islam menyamakan
saja sikap begini dengan munafik. Padahal munafik ialah bermulut manis,
bersikap lembut dan tersenyum-senyuin di dalam menyembunyikan pendirian yang
salah, yang kufur. Seperti orang munafik mengakui di hadapan Rasulullah
s.a.w. bahwa mereka telah percaya bahwa beliau memang utusan Allah, padahal
hati mereka tidak mengaku. Walaupun yang mereka katakan benar, kalau kata
yang benar itu tidak dari hati, mereka tetap berdusta. Itulah orang yang
munafik.
Tetapi kalau kita yakin bahwa kita di pihak yang
benar, dalam lindungan hukum-hukum Allah dan Rasul, sedang musuh kuat,
sehingga kita tidak kuat bertindak menentang musuh Tuhan itu, kalau kita
menunjukkan muka manis dan mengangguk-angguk, bukanlah munafik namanya,
melainkan taqiyah.
Dalam satu seminar di Jakarta dalam bulan September
1966 seorang sahabat menyatakan pendapat bahwa sikap taqiyah yang menjadi
pegangan sangat teguh dari kaum Syi'ah adalah menunjukkan sikap yang lemah.
Lalu penafsir ini membantah: "Memang kaum Syi'ah
mempunyai ajaran taqiyah, tetapi ini bukanlah alamat kelemahan!" Terlepas
dari pendirian penafsir sendiri yang bukan Syi'ah, tetapi penganut Mazhab
Sunni, penafsir kagum akan ajaran taqiyah kaum Syi'ah itu. Sebab bagi mereka
taqiyah bukan kelemahan, melainkan satu siasat yang berencana. Oleh sebab
itu maka Mazhab Syi'ahlah satu mazhab politik yang banyak sekali mempunyai
rencana-rencana rahasia, yang baru diketahui oleh musuh-musuhnya setelah
musuh itu menghadapi kenyataan.
Kerajaan-kerajaan Syi'ah yang berdiri di mana-mana,
baik di Asia atau Afrika di zaman-zaman Khalifah-khalifah Baghdad,
kebanyakan pada mulanya adalah gerakan yang dirahasiakan. Berdirinya gerakan
Bani Abbas menentang Bani Umayyah, mulanya ialah gerakan rahasia yang timbul
di Khurasan. Kerajaan Bani Idris di Afrika, Kerajaan Fathimiyah di Mesir
yang dahulu bernama Ubaidiyah di Qairouan mulanya adalah gerakan rahasia.
Gerakan Hasan Shabah yang terkenal dengan nama "Hasysyasyin
(Assasin) adalah mulanya gerakan sangat rahasia. Oleh sebab itu kalau kaum
Syi'ah memakai pendirian taqiyah, bukanlah kelemahan, melainkan siasat yang
berencana. Oleh sebab itu kalau ada orang Islam yang menyerah kepada
kekuasaan kafir, sampai kerja sama atau membantu kafir, padahal tidak ada
rencana hendak terus menumbangkan kerajaan kafir itu, bukanlah itu taqiyah,
tetapi menggadaikan diri sendiri kepada musuh.
وَ يُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ
"Dan Allah
memperingatkan kamu benar-benar akan diriNya."
Di sambungan ayat ini Allah Ta'ala memberi peringatan dengan keras,
bahwa di dalam urusan ini, khusus dalam taqiyah, janganlah dipandang enteng.
Jangan sampai sikap taqiyah itu dijadikan tempat lari untuk melepaskan diri
dari tanggung-jawab menghadapi lawan. Hendaklah awas dan jangan sekali-kali
lupa bahwa diri Allah Ta'ala senantiasa ada, senantiasa mengawasi, dan
menilik sepak terjang yang kamu lakukan. Karena kalau taqiyah itu akan
membawa agama Allah jadi lemah, bukanlah dia taqiyah lagi tetapi beralih
menjadi sikap pengecut. Itu sebabnya maka ujung ayat lebih menjelaskan pula,
bahwa baik di waktu kamu sedang kuat, lalu menolak kerjasama dengan musuh
yang akan melemahkan agamamu, atau sedang lemah sehingga terpaksa kamu
mengambil sikap taqiyah, namun ingatlah:
وَ إِلَى اللهِ الْمَصيرُ
"Dan kepada
Allahlah tujuan kamu." (ujung ayat
28).
Akhir ayat ini mengingatkan kita akan perumpamaan
hidup kita yang tengah berlayar di tengah lautan besar, menaiki sebuah
bahtera. Sejak dari permulaan berlayar kita telah menentukan tujuan dan arah
di mana bahtera itu akan berlabuh. Lalu pelayaran kita teruskan. Tetapi oleh
karena laut itu tidak senantiasa tenang, bahkan ada gelombang, ada taufan,
ada badai dahsyat, sudahlah dalam perhitungan bahwa kadang-kadang bahtera
itu akan dihalau oleh angin entah ke mana. Tetapi betapa pun hebatnya
pukulan gelombang, namun nakhoda kapal wajib tetap menjaga pedoman, tidak
boleh berkisar dari tujuan semula. Tujuan bahtera hidup beragama ialah
Allah.
Untuk kelengkapan penafsiran ini hendaklah kita
tilik lagi ayat 8 dan ayat 9 dari surat 60 (al-Mumtahanah). Surat ini pun
diturunkan di Madinah. Di ayat 8 ditegaskan bahwa terhadap kafir yang tidak
memerangi kamu dan tidak mengusirmu dari kampung halaman kamu, tidaklah
mengapajika hidup berdampingan dengan damai ( an-tabarru-hum )
dan berhubungan secara adil ( watuq-sithu ilaihim ) ;
memberi dan menerima, duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Lalu di ayat 9
ditegaskan lagi, bahwa jika musuh itu memerangi kamu dalam hal agama dan
mengusir kamu dari kampung halaman kamu dan dengan terang-terang pula
pengusiran itu, tidaklah kamu boleh bersahabat atau berhubungan dengan
mereka.
Niscaya kita dapat berpikir lebih lanjut tentang isi
sekalian ayat ini. Baik ayat-ayat yang tegas melarang dan memerintahkan
supaya selalu awas, atau ayat yang membolehkan berhubungan dengan mereka,
karena taqiyah atau karena kuat. Kalau kita kuat tentu tidak berhalangan
kalau kita berhubungan dan berdamai dengan kafir, membuat
perjanjian-perjanjian dagang, utang piutang dan lain-lain sebagainya,
terutama hidup bernegara di zaman modern, tidaklah ada satu negeri yang
dapat memencilkan diri dari negeri lain. Sudahlah selayaknya jika
wakil-wakil dari negeri dan negara Islam duduk bersama bermusyawarat
memperkatakan soal-soal internasional dengan wakil-wakil negara-negara
lain.
Adapaun sikap awas dan waspada,
sikap tidak lupa kepada diri Allah, niscaya tidak boleh dilepaskan, baik di
waktu lemah, atau pun di waktu kuat.
قُلْ إِنْ تُخْفُوا ما في صُدُورِكُمْ أَوْ
تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللهُ وَ يَعْلَمُ ما فِي السَّماواتِ وَ ما فِي الْأَرْضِ
"Katakanlah: Jika kamu sembunyikan
apa yang ada dalam dada kamu, atau pun kamu nampakkannya, namun Allah
mengetahuinya juga, dan Diapun mengetahui apa yang ada di semua langit dan
apa yang di bumi. " (pangkal
ayat 29).
Ayat ini adalah pengikat jiwa yang halus sekali bagi
orang-orang yang beriman. Dia adalah sebagai sambungan dari Allah
memperingatkan tentang diriNya tadi. Mereka pada pokoknya dilarang keras
lebih mementingkan pimpinan orang kafir dan mengangkat mereka jadi wali,
sehingga melebihkan pandangan kepada mereka daripada memandang sesama mu'min.
Cuma di saat yang terpaksa dan menilai keadaan, baru boleh melakukan taqiyah.
Di ayat ini diperingatkan bahwa Tuhan mengetahui apa yang kamu sembunyikan
dalam dada dan mana yang kamu nampakkan dan nyatakan.
Orang banyak dapat kamu kicuh, dan Tuhan tidak! Maka
lebih tertekanlah peringatan ini kepada Ulil-Amri, orang-orang yang
bertanggung-jawab; jangan sampai misalnya membela kelemahan diri dengan
menyebut taqiyah. Kontrol sejati adalah di tangan Tuhan , dan sewaktu-waktu
pekerjaan yang curang dan busuk akan berbau juga oleh orang banyak. Disebut
dalam ayat ini, bahwa yang diketahui Allah itu bukan saja isi dada manusia
yang tersembunyi atau sikap manusia yang nyata. Usahkan itu, sedangkan
rahasia semua langit dan bumi lagi diketahuiNya.
Kadang-kadang ditafsirkan dengan nyata di hadapan
mata kita. Yaitu pertalian isi dada manusia dengan mulutnya dengan rahasia
langit dan bumi. Satu hal pernah kejadian. Yaitu pada suatu hari seorang
kepala negara yang sombong berkata sambil mendabik dadanya, bahwa kita
manusia ini harus sanggup menundukkan alam. Dua hari saja sesudah dia
berpidato sombong akan menundukkan alam itu, terjadilah hujan lebat di kota
kediamannya, yaitu hujan lebat yang membawa banjir besar. Dia yang berpidato
itu terpaksa dihusung atau ditandu orang ketika akan keluar dari istana,
sebab mobil yang akan membawanya tidak dapat berjalan dalam banjir dan
mesinnya tidak bisa hidup.
Maka orang yang menyaksikan berkata: "raja kita
katanya hendak menundukkan alam. Sekarang dia juga rupanya yang wajib tunduk
kepada alam!"
Seorang pemimpin komunis tidak berTuhan pernah
berkata dalam satu rapat umum: "Kalau kamu tidak bisa bergerak membubarkan
Himpunan Mahasiswa Islam, lebih baik tukar celanamu dengan sarung (jadi
perempuan)." Sehari sesudah dia bercakap berapi-api itu, kaum komunis
mengadakan berontak hendak merebut kekuasaan dan membunuh enam orang
Jendral.
Rupanya pemberontakan mereka hanya berjalan sehari
saja sedang petang harinya sudah dapat digagalkan. Maka Pemimpin Komunis
yang sombong itu terpaksa lari meninggalkan kota, benar-benar dengan menukar
celana dengan sarung.Itulah sebabnya maka akhir ayat berbunyi:
وَ اللهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَديرٌ
"dan Allah atas tiap-tiap sesuatu
Maha Kuasa."
(ujung ayat 29).
Hanya orang Mu'min yang dapat merasai hal yang
seperti ini. Betapa kekuasaan Allah atas isi dada manusia dan betapa
kekuasaan Allah atas seluruh langit bumi. Kadang-kadang kita bertemu dengan
kemenangan padahal menurut perhitungan kita belum nampak pintunya.
Kadang-kadang kita merasa bahwa rencana kita akan berjalan menurut yang kita
gariskan. Tiba-tiba datang saja kejadian lain yang tidak pula kita
sangka-sangka sehingga rencana Allah jualah yang berjalan. Oleh sebab itu
maka baik di waktu senang, sekali-kali janganlah lupa memperhitung kan Maha
Kuasanya Allah.
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ ما عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَراً
"(Ingatlah) akan hari yang tiap-tiap
orang akan menerima ganjaran amal baik yang telah tersedia."
(pangkal ayat 30).
Di sini diberikan ketegasan dan jaminan bagi setiap
orang yang beramal baik, bahwa ganjarannya akan diterimanya kontan, telah
tersedia di hadapan matanya. Akan mengobat hatinya yang sudah gundah dan
akan menghilangkan segala kepenatan dan akan menghabis kan segala kecewa.
وَ ما عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ
"Dan amalan-amalan yang burukpun."
Artinya bahwa amalan yang burukpun akan menerima ganjaran yang telah
tersedia pula, sebagai akibat dari perbuatannya sendiri, sehingga:
تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَها وَ بَيْنَهُ أَمَداً بَعيداً
"Inginlah dia (kiranya) di antara balasan amal buruknya itu dengan
dirinya di antarai oleh masa yang jauh."
Tegasnya: baik dan buruk (amalan) akan menerima
ganjaran Tuhan dengan kontan dan tersedia nyata di hadapan mata (Muh-dharan).
Orang yang berbuat baik tentu akan merasai gembira yang sangat tinggi
dan rasa bahagia yang tiada taranya seketika berhadapan langsung dengan
balasan amalnya. Tetapi bagaimana orang yang beramal buruk ? Diapun akan
menerima ganjaran kontan pula, hadir pula di hadapan matanya.
Niscaya perasaan di waktu itu akan lain. Niscaya
kalau hal itu dapat dielakkan, akan dia elakkan. Atau dia minta supaya
diperlambat, diundur-undur; dia takut menghadapi kenyataan sehingga dia
mengharap supaya di antara dia dengan ganjaran amalnya itu diadakan jarak
yang jauh. Dia pasti kalah, dan dia tahu itu.
Tetapi dia minta supaya kekalahan itu diundurkan.
Tetapi benarlah apa yang dikatakan oleh seorang pujangga: "hidup ialah
menunda kekalahan." Sebab itu Tuhan memperingatkan lagi sebagai telah
diperingatkanNya di ayat yang di atas tadi:
وَ يُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ
"Dan Allah memperingatkan kamu benar-benar akan
diriNya."
Sebab itu janganlah kamu abaikan tugas hidupmu. Pilihlah sendiri jalan
yang benar dan jauhilah yang salah, jujurlah terhadap Allah. Sebab Dia Ada,
dan Dia mengawasi kamu. Ingatlah itu benar-benar dan awaslah.
وَ اللهُ رَؤُفٌ بِالْعِبادِ
"Dan Allah amatlah sayang kepada
hamba-hambaNya." (ujung ayat 30).
Dengan peringatan hati-hati dan awas yang agak keras
di atas semuanya tadi, terasalah bahwa masing-masing kita yang mengakui
dirinya hamba Allah, tidak pernah lepas dari tilikan Allah.
Maka kitapun berhati-hatilah, baik dalam isi dada
yang dirahasiakan, atau sikap hidup yang dinampakkan. Tetapi di dalam
kehati-hatian itu kitapun insaf bahwa kita ini manusia, ada saja kelemahan
kita masing-masing. Lautan ini amat luas, dimana akan berlabuh belum tahu.
Sedang berjalan menuju tujuan yang dituju itu, entah
putus nyawa di tengah jalan, entah mati jauh karena kehausan. Kadang-kadang
terasa betapa banyak halangan yang wajib dilalui, banyak duri dan onak.
Semuanya itu diketahui oleh Tuhan. Oleh sebab itu,
di samping kerasnya peringatan yang Dia berikan, Diapun tetap sayang dan
belas kasihan akan semua hambaNya yang memang membina tujuan hidupnya
mencapai ridha Allah. Oleh sebab itu jika dalam perjalanan sulit itu,
sekali-sekali bertemu dengan luluk dan lumpur yang mengotori baju, lekaslah
bersihkan. Dan membersihkan batin dari daki-daki kedosaan ialah dengan
bertaubat dan beristighfar.
01
02
03
04
05
06
07
08 09
10
11
12
13 14
>>>> |