Tafsir Surat Al -Mujaadalah Ayat 1 - 4
 
                                                                           

                                                                         


1. قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتي‏ تُجادِلُكَ في‏ زَوْجِها وَ تَشْتَكي‏ إِلَى اللَّهِ وَ اللَّهُ يَسْمَعُ تَحاوُرَكُما إِنَّ اللَّهَ سَميعٌ بَصيرٌ
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengemukakan bantahan kepada engkau dalam hal suaminya itu dan dia mengadu kepada Allah; Dan Allah mendengar soal jawab di antara kamu berdua; Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar. lagi Maha Melihat.


2. الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسائِهِمْ ما هُنَّ أُمَّهاتِهِمْ إِنْ أُمَّهاتُهُمْ إِلاَّ اللاَّئي‏ وَلَدْنَهُمْ وَ إِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَراً مِنَ الْقَوْلِ وَ زُوراً وَ إِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, tidaklah isteri-isterinya itu jadi ibu-ibu mereka. Tidaklah ibu-ibu mereka melainkan yang menganakkan mereka. Dan sesungguhnya mereka telah benar-benar mengucapkan kata-kata yang munkar dan dosa. Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Pemberi maaf lagi Pemberi ampun.


3. وَ الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْ نِسائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِما قالُوا فَتَحْريرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَ اللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبيرٌ
Dan orang-orang yang menzhihaar terhadap setengah dari isteri isteri mereka , kemudian mereka itu hendak menarik bagi apa yang pernah mereka ucapkan itu, maka hendaklah merdekakan seorang budak sebelum keduanya bersentuh-sentuhan. Demikianlah kamu diberi pengajaran dengan dia. Dan Allah terhadap apa-apapun yang kamu kerjakan adalah Maha Tahu.


4. فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيامُ شَهْرَيْنِ مُتَتابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعامُ سِتِّينَ مِسْكيناً ذلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَ رَسُولِهِ وَ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَ لِلْكافِرينَ عَذابٌ أَليمٌ
Maka barang siapa yang tidak mendapatnya, maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut. Maka barang siapa yang tidak kuat, maka hendaklah memberi makan enampuluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dengan Rasul-Nya. Dan itulah dia batas-batas yang ditentukan Allah. Dan bagi orang-orang yang kafir adalah azab siksaan yang pedih.


                               ZHIHAAR.

Satu kebiasaan yang sangat ganjil dan buruk di zaman Jahiliyah di tanah Arab ialah perlakuan terhadap seorang isteri yang tidak disukai lagi dengan ucapan yang disebut ZHIHAAR. Pokok asal arti zhihaar ialah diambil dari kalimat punggung, atau bahagian belakang dari isteri.Yaitu seorang laki-laki yang tidak suka lagi kepada isterinya mengucapkan;

Anti 'alayya ka zhohri ummi'. [Kau atasku adalah sama dengan punggung ibuku].

Difahamkan dari ucapan itu ialah bahwa dia telah memandang isterinya itu sama dengan punggung ibunya. Niscaya kalau isteri telah disamakan dengan punggung ibu, samalah artinya tidak akan dipegang lagi, tidak akan disentuh lagi sebagai sentuhan terhadap seorang isteri. Dengan demikian samalah artinya bahwa dia telah disisihkan, meskipun tidak diucapkan lafal cerai atau thalaq.

Niscaya adat buruk jahiliyah itu tidak patut kejadian dalam kalangan orang Islam yang telah sadar bahwa maksud agama tidaklah membuat orang perempuan jadi terlantar. Namun hukum yang pasti. belum ada, karena sejak pindah ke Madinah orang menzhihaar isteri itu belum pernah kejadian.

Tiba-tiba pada suatu hari kejadianlah orang yang men-zhihaar itu.

Berkata imam Ahmad bin Hanbal, dalam kedudukan beliau sebagai seorang perawi hadits ; "Menyebutkan kepada kami Sa'ad bin Ibrahim dan Ya'qub. Keduanya itu berkata; "Menyebutkan kepada kami ayahku," "Menyebutkan kepada kami Muhammad bin Ishaq, menyebutkan kepadaku Ma'mar bin 'Abdullah bin Hanzhalah, dari Yusuf bin 'Abdullah bin Salaam, dari Khuailah binti Sta'labah, " Terjadi demi Allah pada diriku dan diri Aus bin Shamit , Tuhan menurunkan pangkal dari Surat Al-Majaadalah. Katanya selanjutnya; "Saya adalah isteri dari Aus bin Shamit itu. Dan dia adalah seorang; laki-laki yang telah tua dan perangainya sudah mulai buruk. Pada suatu hari dia pulang ke rumah, lalu aku tanyakan suatu hal, tetapi disambutnya dengan marah-marah, sehingga keluarlah ucapannya; "Kau atasku adalah sebagai punggung ibuku."

Lalu Khuailah melanjutkan ceriteranya ; "Setelah dia mengucapkan kata-kata itu diapun keluar dari rumah dan pergi duduk-duduk ke tempat berkumpul kaumnya sesaat lamanya. Setelah itu diapun pulang kembali Setelah itu rupanya dia ingin mendekatiku hendak menyentuhnya. Lalu dia aku tolak dan kataku; "Jangan dekat kepadaku! Demi Allah yang Khuailah ada dalam tangan-Nya. Engkau tidak boleh lagi mendekatiku setelah engkau mengucapkan kata-kata tadi itu sampai datang hukum Allah dan Rasul-Nya pada kita."

Kata Khualiah selanjutnya; "Lalu dicobanya hendak menyerang dan memegangku, tetapi aku mengelak. Lalu terjadilah dia menarik dan aku mengelak, bersitegang. Akhirnya dia aku tendang, yaitu tendangan seorang perempuan yang masih kuat terhadap seorang laki-laki tua, sampai dia terjatuh. Maka segeralah aku pergi ke rumah tetangga, aku pinjam selendangnya lalu aku pergi menghadap Rasulullah saw. Dan duduklah aku di hadapan beliau, aku ceriterakan kepadanya apa yang telah aku alami itu dan aku mengeluh mengadukan kepada beliau tentang buruknya perangai suamiku itu lalu berkatalah Rasulullah saw.;
"Anak pamanmu itu sudah tua sangat, taqwalah kepada Allah dan rukunlah dengan dia. "
Khualiah berkata selanjutnya; "Lalu aku jawab, aku belum akan pulang ke rumah, ya Rasulullah, sebelum datang ketentuan AI-Qur'an tentang diriku,"

Tiba-tiba datanglah keadaan yang biasa pada Rasulullah ketika wahyu turun, yaitu beliau seakan-akan pingsan sejenak, lalu beliau bangun. Lalu dia berkata kepadaku; "Hai Khualiah! Telah turun Al-Qur'an yang mengenai diri kau ini dan diri suami kau." Lalu beliau bacalah ayat ini;

sampai kepada sabda tuhan;

Dan bagi orang-orang yang tidak rnau percaya adalah siksaan yang pedih. "
Selanjutnya Rasulullah bersabda; "Pulanglah dan beritahukan kepadanya supaya dia memerdekakan seorang budak!"
Lalu kata Khualiah; "Aku berkata kepada beliau; "Ya Rasulullah! Tidaklah ada padanya harta untuk pembeli budak yang akan dimerdekakan."
Maka kata Rasulullah saw. pula; "Kalau tak sanggup memerdekakan seorang budak, hendaklah dia puasa dua bulan berturut-turut."
Berkata Khualiah; "Berkata aku; demi Allah! Dia sudah tua, dia tidak kuat lagi mengerjakan puasa."
Maka sabda Rasulullah saw. pula; "Maka hendaklah dia memberi makan enampuluh orang miskin."
Berkata khualiah selanjutnya; "Aku jawab kepada Nabi saw.; Untuk memberi makan enampuluh orang miskin itu tidak pula ada padanya."
Lalu Rasulullah bersabda; " Biar aku bantu separuh dari makanan "
Khualiah menyambut; "Ya Rasul Allah! Kalau demikian, biarlah aku pula yang membantu untuknya yang separuh lagi."
Akhirnya bersabdalah Rasulullah saw.; "Kau telah berlaku benar dan berbuat baik. pulanglah segera dan beri makanlah enampuluh orang miskin itu. Setelah itu berlaku baiklah seterusnya kepada suamimu.

Sekianlah hadits riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad tentang kissah Khuailah atau Khaulah dengan suaminya Aus bin Shamit ini. Yaitu saudara dari 'Ubbadah bin Shamit.

Untuk melengkapkan lagi kita salinkan pula apa yang disalinkan oleh Alamarhum Syaikh Mahmoud Syaltut dalam buku beliau "Alfatawaa," ketika menerangkan dari hal KAFFARAH, yaitu denda yang ditentukan menurut agama. Di antaranya denda zhihaar ini.

Yaitu setelah Aus pulang kembali dari tempat pertemuan dengan kaumnya itu dan sampai di rumah, marahnya sudah turun dan dia sudah menyesal, dia berkata; "Pada persangkaanku ucapanku tadi itu telah menyebabkan kita bercerai."
l.alu Khaulah menjawab; "Demi Allah, pada pendapatku yang serupa itu bukan thalaq." Kejadian di antaranya dengan suaminya itu. katanya; "Suamiku Aus, telah mengawiniku di kala aku masih muda, di waktu itu aku masih cantik dan banyak yang suka kepadaku. Sebab ketika itu pun aku kaya , ada harta ada keluarga besar.

Tetapi setelah aku tua macam begini dan telah punah mudaku dan telah berserakserak keluargaku . dilakukannyalah zhihaar kepada diriku. sekarang rupanya dia telah menyesal. Masih adakah harapan buat kami berkumpul kembali .
Rasulullah saw menjawa ; Pada pendapatku engkau telah haram baginya " . Dan tak ada sesuatu pun ayat turun kepadaku mengenai soalmu ini

Menurut riwayat yang disalinkan Syaikh Syaltout itu, meskipun telah diberi keterangan demikian oleh nabi saw., namun Khaulah masih tetap juga duduk di hadapan Rasulullah. Dan dengan tidak merasa bosan dicobanya juga menanyakan sekali lagi kepada Nabi saw , namun jawab Nabi masih tetap seperti yang semula juga .Yaitu pada pendapat beliau, Khaulah sudah haram atas Aus sebab sudah dizhihaarnya dan yang mengenai itu tidak ada turun ayat satupun.

Lalu akhirnya Khaulah menghadapkan wajahnya ke langit, ditadahkannya tangannya dan dia berseru kepada Allah;

Robby ilaika Asykuu faa Qotii wawihdaty wa maa yasyuqqu 'alayya

 

"Tuhanku! Kepada Engkaulah aku keluhkan kepapaan diriku dan kesepianku sendirian. Berat bagiku, ya Tuhan, akan berpisah dengan suamiku, ayah dari anak-anakku dan orang yang paling aku kasihi. Tuhanku ! Engkau tahu, bahwa dari dia aku mempunyai beberapa anak-anak yang masih kecil-kecil. Jika aku yang mengasuh anak-anak itu akan kelaparanlah mereka. jika ayahnya yang pergi, akan hilanglah mereka. "
Lalu diangkatnya mukanya sekali lagi dan berseru; "Tuhanku! Hanya kepada Engkau saja aku keluhkan nasibku ini. Turunkanlah kiranya ke dalam lidah Nabi-Mu suatu sabda yang akan melepaskan daku dari kesulitan ini."

Tidaklah berapa lama di antaranya, lalu bersabdalah Rasulullah menyuruh Khaulah menjemput suaminya pulang. Khaulah pun pergi dan suaminya pun terbawa. lalu Rasulullah saw. membaca keempat ayat yang telah disalinkan di atas. lalu beliau bertanya; "Sanggupkah engkau memerdekakan seorang budak?"
Aus menjawab; "Aku tidak sanggup, demi Allah!"
Lalu Rasulullah bertanya pula; "Sanggupkah engkau berpuasa dua bulan berturut-turut? "
Aus pun menjawab; "Demi Allah, Ya Rasul Allah! Jangankan berpuasa, sedangkan terlambat makan saja satu kali atau duakali satu hari, gelaplah mataku dan hendak mati aku rasanya."
Lalu Rasulullah bertanya pula; "Sanggupkah engkau memberi makan enampuluh orang miskin?"
Lalu Aus menjawab; "Tidak ada yang akan aku berikan, Ya Rasulullah, kecuali jika engkau sudi membantu aku."
Lalu Rasulullah memberikan bantuan kepadanya, sejalan dengan yang diceriterakan oleh Imam Ahmad di atas tadi.

Maka dengan bantuan Rasulullah saw. itu dapatlah Aus membayar kaffarah Zhihaarnya memberi makan enampuluh orang miskin.Ada dua tuga macam riwayat tentang diri Khaulah itu, dan disebut juga Khuailah. Arti keduanya sama, dan yang dimaksud hanya orang satu.

Dalam ucapan kata kasih dia disebut Khuailah, dalam bahasa kita disebut si kecil Khaulah" atau "Si Upik Khaulah," atau terbiasa dalam ucapan orang Belanda "Kleintje Khaulah." Riwayat ada sedikit perbedaan, namun arti dan maksud adalah sama. yaitu pengaduan seorang perempuan kepada Rasulullah tentang nasibnya yang suaminya telah melakukan kepada dirinya kebiasaan dizaman jahiliyah, menganggapnya sebagai punggung ibunya .

Sa'id bin zubair mengatakan bahwa ada dua buah perceraian cara Jahiliyah yang kurang baik. Pertama ialah zhihaar ini; dendanya ialah kaffarah. Kedua ialah Ilaak, yaitu mengucil tidak pulang-pulang kepada isteri berlarut-larut.
Setelah masyarakat Islam diatur dengan peraturan Tuhan, maka ilaak itu pun diberi batas, yaitu empat bulan. Sesampai empat bulan si laki-laki mesti mengambil kepastian, berdamai kembali atau menjatuhkan cerai. Kalau lebih empat bulan melakukan ilaak, tidak juga diceraikan maka hakim berhak menceraikan keduanya.

Sekarang kita kembali menafsirkan ayat;

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتي‏ تُجادِلُكَ في‏ زَوْجِها وَ تَشْتَكي‏ إِلَى اللَّهِ
"Sesungguhnya Allah tedah mendengar perkataan perempuan yang mengemukakan bantahan kepada engkau dalam hal suaminya itu dan dia mengadu kepada Allah." [pangkal ayat I].

Di sini Tuhan menjelaskan bahwa pengaduan perempuan itu di dengar oleh Tuhan, keluhannya jadi pertimbangan oleh tuhan. Dan ini pun jadi peringatan bagi kita bahwa segala percakapan kita berdua saja dengan teman, didengar juga oleh Tuhan. Cuma yang sekali ini diterangkan oleh Tuhan kepada Nabi bahwa perkataan perempuan itu kepada Nabi dan pengaduan perempuan itu kepada Allah didengar untuk jadi pegangan bagi orang yang beriman, bahwa pengaduan dan keluhan segala hamba-Nya selalu didengar Tuhan.

وَ اللَّهُ يَسْمَعُ تَحاوُرَكُما
"Dan Allah mendengar soal jawab di antara, kamu berdua."

Rasa keadilan dalam jiwa perempuan itu memohon moga-moga talaq itu tidak jatuh, karena anaknya banyak, suaminya telah tua bahkan dirinya sendiri pun telah tua. Namun sebelum wahyu turun, berlakulah terlebih dahulu aturan yang lama, yaitu perempuan itu haram bagi suami yang telah menzhihaar itu.

إِنَّ اللَّهَ سَميعٌ بَصيرٌ
':Sesungguhnya Allah adalsh Maha Mendengar, lagi Maha Melihat. " [Ujung ayat I].

Ujung ayat ini pun adalah peringatan bagi kita supaya dalam bertukar pikiran dengan sesama, hendaklah berhati-hati. Karena Tuhan selalu mendengarkannya dan selalu melihat segala gerak-gerik kita. Dan ayat ini pun memberi kita pula kesan bahwa pertukaran fikiran yang baik, perbantahan dalam mencari kebenaran, keluhan tulus ikhlas kepada Tuhan, setelah didengar dan dilihat oleh Tuhan, di dalam pertimbangan Tuhan Yang Maha bijaksana akan dapat diberi penyelesaian yang baik oleh Tuhan.

Kalau di zaman Nabi dahulu dengan langsung diturunkan wahyu, maka kepada orang yang shalih dan memohon dengan tulus ikhlas, tidaklah sukar bagi Tuhan mengabulkannya. Ada keterangan dari Nabi sendiri bahwa setelah wahyu tidak turun lagi dengan wafatnya Nabi, Tuhan dapat memberikan ilham kepada hamba-Nya yang shalih itu.
Menurut sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa seorang di antara Shahabat Rasulullah saw. dari golongan Anshar, 'Ubbadah bin Shamit pernah berkata; "Mimpi dari seseorang yang beriman adalah pesan Tuhan yang disampaikan kepadanya dalam dia tidur. "
Selanjutnya Tuhan bersabda;

الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسائِهِمْ ما هُنَّ أُمَّهاتِهِمْ
"Orang-orang yang menzhihaar isterinya di antara kamu, tidaklah isteri-isterinya itu jadi ibu-ibu mereka. "
[Pangkal ayat 2].

Artinya; meskipun mereka itu telah berkata bahwa isterinya itu baginya adalah serupa punggung ibunya, yang di zaman jahiliyah berarti telah memandang isteri itu haram disetubuhi karena telah diserupakan punggung ibunya, namun isteri itu tidaklah benarbenar menjelma menjadi ibunya.

Sama juga dengan orang yang mengambil anak orang lain menjadi anaknya, meskipun telah dipasangkan di ujung nama anak itu nama ayah yang mengangkatnya menjadi anak, namun dia tidaklah menjelma menjadi anaknya. Misalnya bersentuh dia sedang berudhu dengan ibu angkatnya itu, masihlah batal udhuknya bagi orang yang memandang bahwa bersentuhan di antara orang yang bukan mahram membathalkan udhuk. Masih bolehlah menurtit hukum agama Islam si anak angkat itu kawin dengan anak kandung orang yang mengangkatnya jadi anak itu. (Lihat Surat 33, Al-Ahzaab ayat 4).

إِنْ أُمَّهاتُهُمْ إِلاَّ اللاَّئي‏ وَلَدْنَهُمْ
"Tidaklah ibu-ibu mereka melainkan yang menganakkan mereka. "

Yang mengandungkan menurut bilangan bulannya dalam perutnya lalu melahirkannya; itulah yang ibunya, bukan isteri yang dikatakan telah serupa dengan punggung ibu.

وَ إِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَراً مِنَ الْقَوْلِ وَ زُوراً
"Dan sesungguhnya mereka telah benar-benar mengucapkan perkataan yang munkar dan dusta. "

Dengan bunyi ayat yang setegas ini, jelaslah bahwa perbuatan menyerupakan punggung isteri dengan punggung ibu suatu perbuatan yang mungkar, yang dicela dan tidak patut, lagi dusta atau bohong. Dan dengan demikian jelas pulalah bahwa perbuatan ini haram hukumnya menurut hukum ilmu fiqhi. Oleh sebab itu maka tidaklah layak bagi seorang yang beriman berbuat perbuatan jahiliyah itu, padahal awak seorang Muslim. Berlakulah ysng sopan menurut kesopanan Islam.

Maka terjadilah beberapa prtikaian di antara Ulama tentang menyerupakan isteri dengan ibu ini. Apakah hanya terhadap penyerupaan punggung saja yang munkar dan tercela? Umumnya berpendapat bahwa , tidaklah layak menurut kesopanan Islam menyerupakan bahagian badan isteri yang menarik syahwat dan nafsu birahi dengan bahagian badan ibu. Misalnya mengatakan goyang pinggulnya, atau halus perutnya atau susunya. Tetapi kalau tidak mengenai nafsu birahi tidaklah mengapa. Misalnya dikatakan budi pekertimu sama benar dengan budi pekerti ibuku. Engkau penyantun seperti ibuku. Masakanmu enak seenak masakan ibuku dan sebagainya.

Untuk kita camkan, hendaklah kita perhatikan sebuah hadits shahih yang dirawikan oleh Abu Dawud, bahwa Rasulullah pernah mendengar seorang laki-laki memanggil isterinya dengan ucapan; Ya ukhtiy = (Wahai saudara perempuanku).
Lalu Rasulullah saw. bertanya;
"Saudara perempuan kau kah dia ?"
Padahal sudah terang bahwa saudara perempuan haram dikawini. Rasulullah bertanya demikian menunjukkan bahwa beliau tidak suka isteri dipanggil dengan ucapan saudara perempuan, meskipun dengan demikian nikahnya tidak bathal. Ialah menaga sopan santun perkataan. Dan pada kita yang berbahasa Indonesia (Melayu) biasa kita ucapkan kepada isteri kita sendiri adinda dan kepada adik kandung perempuan seibu sebapa kita ucapkan adinda juga. itupun tidaklah terlarang.

Tetapi kalau memang diniatkan dalam hati hendak menyerupakan isteri dari pihak bahagian tubuh yang menerbitkan nafsu birahi dengan ibu, dengan saudara perempuan dengan segala perempuan yang haram di nikahi (mahram), memang haramlah jadinya dan jauhilah perbuatan itu.

Adapun kalau terlanjur sebelum mengetahui hukumnya, mudah-mudahan diberi ampunlah kiranya oleh Allah. Sebagai tersebut di ujung ayat;

وَ إِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
"Dan sesungguhnys Allah adalah Maha Pemberi Ma'af. lagi Pemberi Ampun." [Ujung ayat 2).

Memberi ma'af atas terlanjur karena tidak mengetahui. Memberi ampun bagi yang mengetahui bahwa perbuatan itu salah, lalu dibayarnya kaffarah. Setelah diberi ampun oleh Allah, bolehlah dia bercampur kembali sebagai sediakala. Sekarang dijelaskan kaffarahnya; Dendanya.

وَ الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْ نِسائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِما قالُوا
"Dan orang-orang yang menzhihaar terhadap kepada setengah dari isteri-isteri mereka, kemudian mereka itu hendak menarik bagi apa yang pernah mereka ucapkan itu," [Pangkal ayat 3].

"Menarik apa yang pernah mereka ucapkan itu," kata Imam Syafi'i ialah bahwa mereka telah sadar dan menyesal.
Imam Ahmad bin Hanbal memberinya arti lebih tegas lagi; "Yaitu jika dia ingin hendak bersetubuh kembali dengan isterinya yang telah dizhihaarnya itu." Imam Malik juga mengartikan demikian.

فَتَحْريرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
"Maka hendaklah merdekakan seorang budak sebelum mereka bersentuh-sentuhan. "

Artinya janganlah meridekat dahulu kepada isteri itu, jangalah dipegang badannya sebelum memerdekakan seorang budak. Kalau sudah selesai memerdekakan seorang budak, barulah boleh bersentuh-sentuhan. Dan sudah terang bahwa arti yang hakiki dari bersentuh-sentuhan ialah bersetubuh. Namun setubuh itu memang didahului dengan sentuh menyentuh.

ذلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ
"Demikianlah kamu diberi pengajaran dengan dia. "

Dengan menjadikan kaffarah atau denda pertama memerdekakan budak,mengertilals kamu bahwa hal ini mungkar dan dusta dan tidak patut dilakukan oleh orang yang beriman. Untuk memaharnkan ayat ini lebih dalan-; perhatikanlah ayat 23 dari Surat ke 17 (Al-Israa'). 'Di sana dijelaskayt kedudukan ibu bapa dan hormat kepada keduanya adalah nomor du; sesudah menyembah Tuhan. Bagaimana engkau serupakan punggung isterimu yang engkau geluti dan gurauwi setiap hari dengan punggung orang yang Allah menyuruh engkau menghormatinya begitu tinggi, mendekati menghormati Tuhan?

وَ اللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبيرٌ
"Dan Allah terhadap apa-apapura yang kamu kerjakan adalah Maha Tahu. " [Ujung ayat 3].

Seketika tersebut kaffarah atau benda yang pertama mesti diikhtiarkan ialah memerdekakan budak, tErasalah beratnya hukuman yane, ; barns diterima. Dia adalah kaffarah pertama! Kalau tidak sanggap, kaffarah yang pertama itu, barulah boleh pindah kepada kaffarah yang kedua. Di waktu ayat turun masyarakat masih ada berbudak-budak;

Perbudakan di atas dunia ini baru hapus dengan resrni pada pertengahan abad kesembilan belas.
Islam sangat memujikan jika orang memerdekakan budak-budak itu, sehingga denda atau kaffarah banyak yang disangkutkan dengan memerdekakan budak.

Niscaya orang yang melanggar peraturan Tnhan ini wajib berusaha agar denda yang pertama inilah yang wajib dibayarnya terlebih dahulu. Dia tidak boleh mencari dalaih-dalih buat mengelak dari denda. Dia tidak boleh kepada denda yang nomor dua selama dia masih sanggup membayar denda yang pertama. Akal bulus orang itu yang hendak mencari dalih berpindah kepada kaffarah kedua karena hendak mengelak dari kaffarah pertama padahal dia sanggup, itulah yang dihalau-hambat oleh Tuhan di ujung ayat.

وَ اللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبيرٌ
"Dan Allah terhadap apa pun yang kamu kerjakan adalah Maha Tahu."

Sekarang perbudakan itu memang sudah tidak ada lagi di muka bumi ini. Sebab itu niscaya dengan sendirinya yang nomor dualah yang dapat dilaksanakan oleh yang melanggar.

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ
"Maka barang siapa yang tidak memperdapatnya. " (Pangkal ayat 4].

Artinya tidak didapatnya budak yang akan dimerdekakan. Baik karena dia sendir4 tidak ada mempunyai budak yang akan dimerdekakan. Baik karena dia sendiri tidak ada mempunyai budak, atau tidak mempunyai uang untuk pembeli budak yang akan dimerdekakan, atau memang budak itu sendiri tidak ada lagi sebagai di zaman kita sekarang ini; '

فَصِيامُ شَهْرَيْنِ
"Maka hendaklah puasa dua bulan berturut-turut ".

Berturut-turut sebagaimana berlurut-turutnya mengerjakan puasa bulan Ramadhan. Kalau Ramadhan hanya sebulan, kaffarah ini jadi dua bulan.'

فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعامُ سِتِّينَ مِسْكيناً
"Maka barang siapa yang tidak memperdapat, maka hendaklah memberi makan enampuluh orang miskin."

Tidak memperdapat artinya ialah tidak sanggup. Mungkin karena kelemahan badan itau penyakit, sebagai terjadi pada diri si Aus yang menzhihaar ~sterinya Khaulah itu. Dia mengakui terus terang bahwa jika dia °.berpuasa, terlambat makan saja satu kali menjadi gelaplah pemanmandangannya dan serupa orang hendak mati. Atau pekerjaannya yang selalu mendesak, sehingga waktu untuk beristirahat puasa sampai dua bulan , seorang diri, tidak beramai-ramai sebagai dalam bulan Ramaadhan bolehlah digantinya dengan memberi makan enampuluh fakir miskin , lalu diujung ayat ditegaskan;

ذلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَ رَسُولِهِ
"Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya ",

jangan dipakai juga adat kebiasaan buruk dari zaman jahiliyah itu;

وَ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ
"Dan itulah dia batas-batas yang ditentukan Allah".

Sebagai orang yang telah mengaku beriman,kepada Allah dan Rasul, kita ada mempunyai batas-batas sendiri, Undang Undang sendiri yang langsung datang dari Allah, bukan buatan manusia. Orang yang beriman mestilah tundnk dan setia memegang teraturan itu;

وَ لِلْكافِرينَ
"Dan bagi orang-orang yang kafir, "

yaitu yang tidak mau menjalankan salah satu daripada ketiga tingkat kaffarah itu menurut kesanggupannya, atau mengatakan bahwa peraturan itu tidak berlaku lagi sekarang karena sekarang dunia sudah modern, atau berkata bahwa peraturan dari Al-Qur'an itu lebih baik dibekukan saja; Orang-orang yang bersikap demikianlah yang termasuk dalam sebutan orang yang kafir ! Bagi mereka

عَذابٌ أَليمٌ
"adalah azab siksaan yang pedih." (Ujung ayat 4]

Itulah ancaman bagi mereka di dunia karena kekacauan peraturan masyarakat, sehingga sama saja di antara ibu dengan bini, anak orang dikatakan anak awak, sampai kacau balau keturunan.
Dan azab siksaan yang pedih pula di akherat.

Sungguhlah kisah Khaulah binti Sta'labah yang pergi bertukar pikiran dengan Nabi saw. ini suatu kisah yang meninggalkan kesan yang mendalam tentang kedudukan wanita dalam Islam. Khaulah pun tahu bahwa orang tidak boleh bersuara agak keras pun di hadapan Nabi, (lihat Surat ke 49, Al-Hujuraat ayat 2 dalam 7uzu'26). Niscaye dia telah berusaha berbicara dengan hormat, tetapi ada terasa dalam - hatinya suatu ilham halus bahwa zhihaar itu adalah adat jahiliyah yang tidak sesusi lagi dengan masyarakat Islam yang telah teratur, kalau zhihaar itu sama juga dengan thalaaq bagaimanalah nasib anak-anaknya, dan bagaimanalah nasib semuanya itu sendiri, yang matanyapun tidak menerang lagi, badannya pun telah lemah.

Suaranya penuh keikhlasan, hatinya penuh kejujuran dan sadar ataupun tidak sadar, dia menginginkan perubahan dalam nasib sesamanya perempuan di zaman yang akan datang dengan adanya peraturan Islam yang lebih baik dan lebih sempurna menjamin keutuhan rumah tangga daripada pertahanan adat jahiliyah. Semuanya itu didengar oleh Tuhan, sampai Tuhan menurunkan wahyunya daa menatapkan peraturan yang dia kehendaki.

Untuk mengenangkan kejadian yang sangat berkesan itu surat inipun diberi nama dengan "Al-Mujaadalah," yang berarti ingatan kepada pembantahan atau pertanyaan sanggah ialah adat istiadat zhihaar yang buruk itu. Dan Nabi tidaklah membela aturan buruk itu , tetapi belum dapat menentukan sendiri hukumnya. karena beliau tidak mau mendahului wahyu! Tiba-tiba ayat pun turun! Tegas dinyatakan bahwa pertukaran pikiran itu didengarkan oleh Tuhan.

Tegas dinyatakan bahwa pengaduannya didengar oleh Tuhan. Tegas dinyatakan bahwa bahkan keluhannya pun didengar oleh Tuhan.Kemudian itu tegas pula Tuhan menyatakan bahwa zhihaar itu adalah suatu perbuatan munkar, yaitu tercela dan zuuran, yaitu bohong yang dikarang-karang.

Suatu perbantahan yang indah sekali, sampai dijadikan nama surat. Atau disebut "Al-Mujaadilah", yang boleh langsung diartikan perempuan yang membantah.
Panjang usia Khaulah binti Sta'labah itu. Di seluruh tahun pemerintahan Abu Bakar dia masih hidup dan diapun masih mendapati zaman pemerintahan Khalifah 'Umar bin Al-Khaththaab.

"Pada suatu hari di zaman beliau memerintah itu berjalanlah beliau dengan mengendarai kendaraannya, diiringkan di belakang oleh banyak pengiring. Tiba-tiba terseloboklah seorang perempuan tua berdiri di tepi jalan. Lalu dimintanya supaya Amiril Mu'minin 'Umar bin Khaththaab menghentikan perjalananya sejenak.

Lalu beliaupun berhenti dan pengiring yang banyakpun berhenti pula. Maka mulailah perempuan tua itu berkata-kata; Isinya ialah memberikan beberapa pengajaran dan pesan-pesan. Di antara perkataannya ialah; "Hai Umar! Di kala engkau masih kecil engkau dipanggilkan orang si Buyung 'Umar (Si Umar cilik). Berapa lama kemudian orang memanggil engkau; "Hai 'Umar! " Sekarang selalu orang memangggil engkau; "Ya Amiral Mu'minin!". Oleh sebab itu maka taqwaalah kepada Allah, hai Umar! Karena barang siapa yang yakin bahwa dia pasti mati, niscaya takutlah dia akan ancaman Tuhannya di akhirat kelak."

Setelah selesai perkataannya itu barulah dibolehkannya 'Umar meneruskan perjalanan. Maka bertanyalah di antara pengiring-pengiring itu; "Ya Amiral Mu'minin! Siapa itu perempuan tua? Sehingga Amiral Mu'minin mau berhenti dan berdiri lama menunggu selesainya ucapannya?"
Lalu 'Umar menjawab; "Demi Allah! Sekiranya ditahannya aku sejak dari pagi sampai petang hari, tidaklah aku akan bergerak dari tempatku berdiri kecuali untuk sembahyang lima waktu! Tahukah kalian siapakah perempuan tua itu? Itulah Khaulah binti Sta'labah, yang didengar Tuhan perkataannya dari atas yang teratas lagi dari langit yang ketujuh. Apakah Tuhan Sarwa sekalian 'Alam mendengar perkataannya, lalu 'Umar tidak mau mendengarkan? .......... ."

Lalu Syaikh Syaltout dalam "Fatawaa"nya memberi komentar; "Maka terjadilah kebijaksanaan yang sempurna di antara pemegang hukum dan kekuasaan dengan seorang ahli taqwa dan mendapat maghfirat dari Tuhan; Maka Rahmat Allah-lah bagi 'Umar dan Rahmat Allah-lah bagi Khaulah."
 


 01     02      03    04    05     06  07  08                                             Back To MainPage       >>>>