| 
	                                                                            
	   
	1. قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتي 
	تُجادِلُكَ في زَوْجِها وَ تَشْتَكي إِلَى اللَّهِ وَ اللَّهُ يَسْمَعُ 
	تَحاوُرَكُما إِنَّ اللَّهَ سَميعٌ بَصيرٌ 
	Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang 
	mengemukakan bantahan kepada engkau dalam hal suaminya itu dan dia mengadu 
	kepada Allah; Dan Allah mendengar soal jawab di antara kamu berdua; 
	Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar. lagi Maha Melihat.  
	2. الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ 
	نِسائِهِمْ ما هُنَّ أُمَّهاتِهِمْ إِنْ أُمَّهاتُهُمْ إِلاَّ اللاَّئي 
	وَلَدْنَهُمْ وَ إِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَراً مِنَ الْقَوْلِ وَ زُوراً وَ 
	إِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ  
	Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, tidaklah 
	isteri-isterinya itu jadi ibu-ibu mereka. Tidaklah ibu-ibu mereka melainkan 
	yang menganakkan mereka. Dan sesungguhnya mereka telah benar-benar 
	mengucapkan kata-kata yang munkar dan dosa. Dan sesungguhnya Allah adalah 
	Maha Pemberi maaf lagi Pemberi ampun.  
	3. وَ الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْ نِسائِهِمْ 
	ثُمَّ يَعُودُونَ لِما قالُوا فَتَحْريرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ 
	يَتَمَاسَّا ذلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَ اللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبيرٌ 
	Dan orang-orang yang menzhihaar terhadap setengah dari isteri 
	isteri mereka , kemudian mereka itu hendak menarik bagi apa yang pernah 
	mereka ucapkan itu, maka hendaklah merdekakan seorang budak sebelum keduanya 
	bersentuh-sentuhan. Demikianlah kamu diberi pengajaran dengan dia. Dan Allah 
	terhadap apa-apapun yang kamu kerjakan adalah Maha Tahu.  
	4. فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيامُ شَهْرَيْنِ 
	مُتَتابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعامُ 
	سِتِّينَ مِسْكيناً ذلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَ رَسُولِهِ وَ تِلْكَ 
	حُدُودُ اللَّهِ وَ لِلْكافِرينَ عَذابٌ أَليمٌ 
	Maka barang siapa yang tidak mendapatnya, maka hendaklah 
	berpuasa dua bulan berturut-turut. Maka barang siapa yang tidak kuat, maka 
	hendaklah memberi makan enampuluh orang miskin. Demikianlah agar kamu 
	beriman kepada Allah dengan Rasul-Nya. Dan itulah dia batas-batas yang 
	ditentukan Allah. Dan bagi orang-orang yang kafir adalah azab siksaan yang 
	pedih.  
	                               
	ZHIHAAR. Satu kebiasaan 
	yang sangat ganjil dan buruk di zaman Jahiliyah di tanah Arab ialah 
	perlakuan terhadap seorang isteri yang tidak disukai lagi dengan ucapan yang 
	disebut ZHIHAAR. Pokok asal arti zhihaar ialah diambil dari kalimat punggung, 
	atau bahagian belakang dari isteri.Yaitu seorang laki-laki yang tidak suka 
	lagi kepada isterinya mengucapkan; 
	 
	Anti 'alayya ka zhohri ummi'. [Kau atasku adalah sama dengan punggung ibuku]. 
	 
	Difahamkan dari ucapan itu ialah bahwa dia telah memandang isterinya itu 
	sama dengan punggung ibunya. Niscaya kalau isteri telah disamakan dengan 
	punggung ibu, samalah artinya tidak akan dipegang lagi, tidak akan disentuh 
	lagi sebagai sentuhan terhadap seorang isteri. Dengan demikian samalah 
	artinya bahwa dia telah disisihkan, meskipun tidak diucapkan lafal cerai 
	atau thalaq. 
	 
	Niscaya adat buruk jahiliyah itu tidak patut kejadian dalam kalangan orang 
	Islam yang telah sadar bahwa maksud agama tidaklah membuat orang perempuan 
	jadi terlantar. Namun hukum yang pasti. belum ada, karena sejak pindah ke 
	Madinah orang menzhihaar isteri itu belum pernah kejadian. 
	 
	Tiba-tiba pada suatu hari kejadianlah orang yang men-zhihaar itu. 
	 
	Berkata imam Ahmad bin Hanbal, dalam kedudukan beliau sebagai seorang perawi 
	hadits ; "Menyebutkan kepada kami Sa'ad bin Ibrahim dan Ya'qub. Keduanya itu 
	berkata; "Menyebutkan kepada kami ayahku," "Menyebutkan kepada kami Muhammad 
	bin Ishaq, menyebutkan kepadaku Ma'mar bin 'Abdullah bin Hanzhalah, dari 
	Yusuf bin 'Abdullah bin Salaam, dari Khuailah binti Sta'labah, " Terjadi 
	demi Allah pada diriku dan diri Aus bin Shamit , Tuhan menurunkan pangkal 
	dari Surat Al-Majaadalah. Katanya selanjutnya; "Saya adalah isteri dari Aus 
	bin Shamit itu. Dan dia adalah seorang; laki-laki yang telah tua dan 
	perangainya sudah mulai buruk. Pada suatu hari dia pulang ke rumah, lalu aku 
	tanyakan suatu hal, tetapi disambutnya dengan marah-marah, sehingga 
	keluarlah ucapannya; "Kau atasku adalah sebagai punggung ibuku." 
	 
	Lalu Khuailah melanjutkan ceriteranya ; "Setelah dia mengucapkan kata-kata 
	itu diapun keluar dari rumah dan pergi duduk-duduk ke tempat berkumpul 
	kaumnya sesaat lamanya. Setelah itu diapun pulang kembali Setelah itu 
	rupanya dia ingin mendekatiku hendak menyentuhnya. Lalu dia aku tolak dan 
	kataku; "Jangan dekat kepadaku! Demi Allah yang Khuailah ada dalam 
	tangan-Nya. Engkau tidak boleh lagi mendekatiku setelah engkau mengucapkan 
	kata-kata tadi itu sampai datang hukum Allah dan Rasul-Nya pada kita." 
	 
	Kata Khualiah selanjutnya; "Lalu dicobanya hendak menyerang dan memegangku, 
	tetapi aku mengelak. Lalu terjadilah dia menarik dan aku mengelak, 
	bersitegang. Akhirnya dia aku tendang, yaitu tendangan seorang perempuan 
	yang masih kuat terhadap seorang laki-laki tua, sampai dia terjatuh. Maka 
	segeralah aku pergi ke rumah tetangga, aku pinjam selendangnya lalu aku 
	pergi menghadap Rasulullah saw. Dan duduklah aku di hadapan beliau, aku 
	ceriterakan kepadanya apa yang telah aku alami itu dan aku mengeluh 
	mengadukan kepada beliau tentang buruknya perangai suamiku itu lalu 
	berkatalah Rasulullah saw.; 
	"Anak pamanmu itu sudah tua sangat, taqwalah kepada Allah dan rukunlah 
	dengan dia. " 
	Khualiah berkata selanjutnya; "Lalu aku jawab, aku belum akan pulang ke 
	rumah, ya Rasulullah, sebelum datang ketentuan AI-Qur'an tentang diriku,"
	 
	 
	Tiba-tiba datanglah keadaan yang biasa pada Rasulullah ketika wahyu turun, 
	yaitu beliau seakan-akan pingsan sejenak, lalu beliau bangun. Lalu dia 
	berkata kepadaku; "Hai Khualiah! Telah turun Al-Qur'an yang mengenai diri 
	kau ini dan diri suami kau." Lalu beliau bacalah ayat ini;  
	 
	sampai kepada sabda tuhan; 
	 
	Dan bagi orang-orang yang tidak rnau percaya adalah siksaan yang pedih. " 
	Selanjutnya Rasulullah bersabda; "Pulanglah dan beritahukan kepadanya supaya 
	dia memerdekakan seorang budak!"  
	Lalu kata Khualiah; "Aku berkata kepada beliau; "Ya Rasulullah! Tidaklah ada 
	padanya harta untuk pembeli budak yang akan dimerdekakan." 
	Maka kata Rasulullah saw. pula; "Kalau tak sanggup memerdekakan seorang 
	budak, hendaklah dia puasa dua bulan berturut-turut." 
	Berkata Khualiah; "Berkata aku; demi Allah! Dia sudah tua, dia tidak kuat 
	lagi mengerjakan puasa." 
	Maka sabda Rasulullah saw. pula; "Maka hendaklah dia memberi makan enampuluh 
	orang miskin." 
	Berkata khualiah selanjutnya; "Aku jawab kepada Nabi saw.; Untuk memberi 
	makan enampuluh orang miskin itu tidak pula ada padanya." 
	Lalu Rasulullah bersabda; " Biar aku bantu separuh dari makanan " 
	Khualiah menyambut; "Ya Rasul Allah! Kalau demikian, biarlah aku pula yang 
	membantu untuknya yang separuh lagi." 
	Akhirnya bersabdalah Rasulullah saw.; "Kau telah berlaku benar dan berbuat 
	baik. pulanglah segera dan beri makanlah enampuluh orang miskin itu. Setelah 
	itu berlaku baiklah seterusnya kepada suamimu. 
	 
	Sekianlah hadits riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad tentang kissah 
	Khuailah atau Khaulah dengan suaminya Aus bin Shamit ini. Yaitu saudara dari 
	'Ubbadah bin Shamit. 
	 
	Untuk melengkapkan lagi kita salinkan pula apa yang disalinkan oleh 
	Alamarhum Syaikh Mahmoud Syaltut dalam buku beliau "Alfatawaa," ketika 
	menerangkan dari hal KAFFARAH, yaitu denda yang ditentukan menurut agama. Di 
	antaranya denda zhihaar ini. 
	 
	Yaitu setelah Aus pulang kembali dari tempat pertemuan dengan kaumnya itu 
	dan sampai di rumah, marahnya sudah turun dan dia sudah menyesal, dia 
	berkata; "Pada persangkaanku ucapanku tadi itu telah menyebabkan kita 
	bercerai." 
	l.alu Khaulah menjawab; "Demi Allah, pada pendapatku yang serupa itu bukan 
	thalaq." Kejadian di antaranya dengan suaminya itu. katanya; "Suamiku Aus, 
	telah mengawiniku di kala aku masih muda, di waktu itu aku masih cantik dan 
	banyak yang suka kepadaku. Sebab ketika itu pun aku kaya , ada harta ada 
	keluarga besar.  
	 
	Tetapi setelah aku tua macam begini dan telah punah mudaku dan telah 
	berserakserak keluargaku . dilakukannyalah zhihaar kepada diriku. sekarang 
	rupanya dia telah menyesal. Masih adakah harapan buat kami berkumpul kembali 
	. 
	Rasulullah saw menjawa ; Pada pendapatku engkau telah haram baginya " . Dan 
	tak ada sesuatu pun ayat turun kepadaku mengenai soalmu ini 
	 
	Menurut riwayat yang disalinkan Syaikh Syaltout itu, meskipun telah diberi 
	keterangan demikian oleh nabi saw., namun Khaulah masih tetap juga duduk di 
	hadapan Rasulullah. Dan dengan tidak merasa bosan dicobanya juga menanyakan 
	sekali lagi kepada Nabi saw , namun jawab Nabi masih tetap seperti yang 
	semula juga .Yaitu pada pendapat beliau, Khaulah sudah haram atas Aus sebab 
	sudah dizhihaarnya dan yang mengenai itu tidak ada turun ayat satupun. 
	 
	Lalu akhirnya Khaulah menghadapkan wajahnya ke langit, ditadahkannya 
	tangannya dan dia berseru kepada Allah; 
	 
	Robby ilaika Asykuu faa Qotii wawihdaty wa maa yasyuqqu 'alayya  
	  
	  
	   
	
	   
	"Tuhanku! Kepada Engkaulah aku keluhkan kepapaan diriku 
	dan kesepianku sendirian. Berat bagiku, ya Tuhan, akan berpisah dengan 
	suamiku, ayah dari anak-anakku dan orang yang paling aku kasihi. Tuhanku ! 
	Engkau tahu, bahwa dari dia aku mempunyai beberapa anak-anak yang masih 
	kecil-kecil. Jika aku yang mengasuh anak-anak itu akan kelaparanlah mereka. 
	jika ayahnya yang pergi, akan hilanglah mereka. " 
	Lalu diangkatnya mukanya sekali lagi dan berseru; "Tuhanku! Hanya kepada 
	Engkau saja aku keluhkan nasibku ini. Turunkanlah kiranya ke dalam lidah 
	Nabi-Mu suatu sabda yang akan melepaskan daku dari kesulitan ini." 
	 
	Tidaklah berapa lama di antaranya, lalu 
	bersabdalah Rasulullah menyuruh Khaulah menjemput suaminya pulang. Khaulah 
	pun pergi dan suaminya pun terbawa. lalu Rasulullah saw. membaca keempat 
	ayat yang telah disalinkan di atas. lalu beliau bertanya; "Sanggupkah engkau 
	memerdekakan seorang budak?" 
	Aus menjawab; "Aku tidak sanggup, demi Allah!" 
	Lalu Rasulullah bertanya pula; "Sanggupkah engkau berpuasa dua bulan 
	berturut-turut? " 
	Aus pun menjawab; "Demi Allah, Ya Rasul Allah! Jangankan berpuasa, sedangkan 
	terlambat makan saja satu kali atau duakali satu hari, gelaplah mataku dan 
	hendak mati aku rasanya." 
	Lalu Rasulullah bertanya pula; "Sanggupkah engkau memberi makan enampuluh 
	orang miskin?" 
	Lalu Aus menjawab; "Tidak ada yang akan aku berikan, Ya Rasulullah, kecuali 
	jika engkau sudi membantu aku." 
	Lalu Rasulullah memberikan bantuan kepadanya, sejalan dengan yang 
	diceriterakan oleh Imam Ahmad di atas tadi.  
	 
	Maka dengan bantuan Rasulullah saw. itu dapatlah Aus membayar kaffarah 
	Zhihaarnya memberi makan enampuluh orang miskin.Ada dua tuga macam riwayat 
	tentang diri Khaulah itu, dan disebut juga Khuailah. Arti keduanya sama, dan 
	yang dimaksud hanya orang satu.  
	 
	Dalam ucapan kata kasih dia disebut Khuailah, dalam bahasa kita disebut si 
	kecil Khaulah" atau "Si Upik Khaulah," atau terbiasa dalam ucapan orang 
	Belanda "Kleintje Khaulah." Riwayat ada sedikit perbedaan, namun arti dan 
	maksud adalah sama. yaitu pengaduan seorang perempuan kepada Rasulullah 
	tentang nasibnya yang suaminya telah melakukan kepada dirinya kebiasaan 
	dizaman jahiliyah, menganggapnya sebagai punggung ibunya . 
	 
	Sa'id bin zubair mengatakan bahwa ada dua buah perceraian cara Jahiliyah 
	yang kurang baik. Pertama ialah zhihaar ini; dendanya ialah kaffarah. Kedua 
	ialah Ilaak, yaitu mengucil tidak pulang-pulang kepada isteri berlarut-larut. 
	Setelah masyarakat Islam diatur dengan peraturan Tuhan, maka ilaak itu pun 
	diberi batas, yaitu empat bulan. Sesampai empat bulan si laki-laki mesti 
	mengambil kepastian, berdamai kembali atau menjatuhkan cerai. Kalau lebih 
	empat bulan melakukan ilaak, tidak juga diceraikan maka hakim berhak 
	menceraikan keduanya. 
	 
	Sekarang kita kembali menafsirkan ayat; 
	 
	قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتي تُجادِلُكَ في زَوْجِها 
	وَ تَشْتَكي إِلَى اللَّهِ 
	"Sesungguhnya Allah tedah mendengar perkataan perempuan yang 
	mengemukakan bantahan kepada engkau dalam hal suaminya itu dan dia mengadu 
	kepada Allah." [pangkal ayat I].  
	 
	Di sini Tuhan menjelaskan bahwa pengaduan 
	perempuan itu di dengar oleh Tuhan, keluhannya jadi pertimbangan oleh tuhan. 
	Dan ini pun jadi peringatan bagi kita bahwa segala percakapan kita berdua 
	saja dengan teman, didengar juga oleh Tuhan. Cuma yang sekali ini 
	diterangkan oleh Tuhan kepada Nabi bahwa perkataan perempuan itu kepada Nabi 
	dan pengaduan perempuan itu kepada Allah didengar untuk jadi pegangan bagi 
	orang yang beriman, bahwa pengaduan dan keluhan segala hamba-Nya selalu 
	didengar Tuhan.  
	 
	وَ اللَّهُ يَسْمَعُ تَحاوُرَكُما  
	"Dan Allah mendengar soal jawab di antara, kamu berdua."  
	 
	Rasa keadilan dalam jiwa perempuan itu 
	memohon moga-moga talaq itu tidak jatuh, karena anaknya banyak, suaminya 
	telah tua bahkan dirinya sendiri pun telah tua. Namun sebelum wahyu turun, 
	berlakulah terlebih dahulu aturan yang lama, yaitu perempuan itu haram bagi 
	suami yang telah menzhihaar itu.  
	 
	إِنَّ اللَّهَ سَميعٌ بَصيرٌ 
	':Sesungguhnya Allah adalsh Maha Mendengar, lagi Maha Melihat. 
	" [Ujung ayat I]. 
	 
	Ujung ayat ini pun adalah peringatan bagi 
	kita supaya dalam bertukar pikiran dengan sesama, hendaklah berhati-hati. 
	Karena Tuhan selalu mendengarkannya dan selalu melihat segala gerak-gerik 
	kita. Dan ayat ini pun memberi kita pula kesan bahwa pertukaran fikiran yang 
	baik, perbantahan dalam mencari kebenaran, keluhan tulus ikhlas kepada Tuhan, 
	setelah didengar dan dilihat oleh Tuhan, di dalam pertimbangan Tuhan Yang 
	Maha bijaksana akan dapat diberi penyelesaian yang baik oleh Tuhan.  
	 
	Kalau di zaman Nabi dahulu dengan langsung diturunkan wahyu, maka kepada 
	orang yang shalih dan memohon dengan tulus ikhlas, tidaklah sukar bagi Tuhan 
	mengabulkannya. Ada keterangan dari Nabi sendiri bahwa setelah wahyu tidak 
	turun lagi dengan wafatnya Nabi, Tuhan dapat memberikan ilham kepada 
	hamba-Nya yang shalih itu. 
	Menurut sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa seorang di antara 
	Shahabat Rasulullah saw. dari golongan Anshar, 'Ubbadah bin Shamit pernah 
	berkata; "Mimpi dari seseorang yang beriman adalah pesan Tuhan yang 
	disampaikan kepadanya dalam dia tidur. " 
	Selanjutnya Tuhan bersabda;  
	 
	الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسائِهِمْ ما هُنَّ 
	أُمَّهاتِهِمْ 
	"Orang-orang yang menzhihaar isterinya di antara kamu, 
	tidaklah isteri-isterinya itu jadi ibu-ibu mereka. "  
	[Pangkal ayat 2].  
	 
	Artinya; meskipun mereka itu telah berkata 
	bahwa isterinya itu baginya adalah serupa punggung ibunya, yang di zaman 
	jahiliyah berarti telah memandang isteri itu haram disetubuhi karena telah 
	diserupakan punggung ibunya, namun isteri itu tidaklah benarbenar menjelma 
	menjadi ibunya.  
	 
	Sama juga dengan orang yang mengambil anak orang lain menjadi anaknya, 
	meskipun telah dipasangkan di ujung nama anak itu nama ayah yang 
	mengangkatnya menjadi anak, namun dia tidaklah menjelma menjadi anaknya. 
	Misalnya bersentuh dia sedang berudhu dengan ibu angkatnya itu, masihlah 
	batal udhuknya bagi orang yang memandang bahwa bersentuhan di antara orang 
	yang bukan mahram membathalkan udhuk. Masih bolehlah menurtit hukum agama 
	Islam si anak angkat itu kawin dengan anak kandung orang yang mengangkatnya 
	jadi anak itu. (Lihat Surat 33, Al-Ahzaab ayat 4).  
	 
	إِنْ أُمَّهاتُهُمْ إِلاَّ اللاَّئي وَلَدْنَهُمْ  
	"Tidaklah ibu-ibu mereka melainkan yang menganakkan mereka. "
	 
	 
	Yang mengandungkan menurut bilangan bulannya 
	dalam perutnya lalu melahirkannya; itulah yang ibunya, bukan isteri yang 
	dikatakan telah serupa dengan punggung ibu.  
	 
	وَ إِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَراً مِنَ الْقَوْلِ وَ 
	زُوراً  
	"Dan sesungguhnya mereka telah benar-benar mengucapkan 
	perkataan yang munkar dan dusta. "  
	 
	Dengan bunyi ayat yang setegas ini, jelaslah 
	bahwa perbuatan menyerupakan punggung isteri dengan punggung ibu suatu 
	perbuatan yang mungkar, yang dicela dan tidak patut, lagi dusta atau bohong. 
	Dan dengan demikian jelas pulalah bahwa perbuatan ini haram hukumnya menurut 
	hukum ilmu fiqhi. Oleh sebab itu maka tidaklah layak bagi seorang yang 
	beriman berbuat perbuatan jahiliyah itu, padahal awak seorang Muslim. 
	Berlakulah ysng sopan menurut kesopanan Islam. 
	 
	Maka terjadilah beberapa prtikaian di antara Ulama tentang menyerupakan 
	isteri dengan ibu ini. Apakah hanya terhadap penyerupaan punggung saja yang 
	munkar dan tercela? Umumnya berpendapat bahwa , tidaklah layak menurut 
	kesopanan Islam menyerupakan bahagian badan isteri yang menarik syahwat dan 
	nafsu birahi dengan bahagian badan ibu. Misalnya mengatakan goyang 
	pinggulnya, atau halus perutnya atau susunya. Tetapi kalau tidak mengenai 
	nafsu birahi tidaklah mengapa. Misalnya dikatakan budi pekertimu sama benar 
	dengan budi pekerti ibuku. Engkau penyantun seperti ibuku. Masakanmu enak 
	seenak masakan ibuku dan sebagainya. 
	 
	Untuk kita camkan, hendaklah kita perhatikan sebuah hadits shahih yang 
	dirawikan oleh Abu Dawud, bahwa Rasulullah pernah mendengar seorang 
	laki-laki memanggil isterinya dengan ucapan; Ya ukhtiy = (Wahai saudara 
	perempuanku). 
	Lalu Rasulullah saw. bertanya; 
	"Saudara perempuan kau kah dia ?" 
	Padahal sudah terang bahwa saudara perempuan haram dikawini. Rasulullah 
	bertanya demikian menunjukkan bahwa beliau tidak suka isteri dipanggil 
	dengan ucapan saudara perempuan, meskipun dengan demikian nikahnya tidak 
	bathal. Ialah menaga sopan santun perkataan. Dan pada kita yang berbahasa 
	Indonesia (Melayu) biasa kita ucapkan kepada isteri kita sendiri adinda dan 
	kepada adik kandung perempuan seibu sebapa kita ucapkan adinda juga. itupun 
	tidaklah terlarang. 
	 
	Tetapi kalau memang diniatkan dalam hati hendak menyerupakan isteri dari 
	pihak bahagian tubuh yang menerbitkan nafsu birahi dengan ibu, dengan 
	saudara perempuan dengan segala perempuan yang haram di nikahi (mahram), 
	memang haramlah jadinya dan jauhilah perbuatan itu.  
	 
	Adapun kalau terlanjur sebelum mengetahui hukumnya, mudah-mudahan diberi 
	ampunlah kiranya oleh Allah. Sebagai tersebut di ujung ayat;  
	 
	وَ إِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ 
	"Dan sesungguhnys Allah adalah Maha Pemberi Ma'af. lagi 
	Pemberi Ampun." [Ujung ayat 2). 
	
	 Memberi ma'af atas terlanjur 
	karena tidak mengetahui. Memberi ampun bagi yang mengetahui bahwa perbuatan 
	itu salah, lalu dibayarnya kaffarah. Setelah diberi ampun oleh Allah, 
	bolehlah dia bercampur kembali sebagai sediakala. Sekarang dijelaskan 
	kaffarahnya; Dendanya.  
	 
	وَ الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْ نِسائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ 
	لِما قالُوا  
	"Dan orang-orang yang menzhihaar terhadap kepada setengah dari 
	isteri-isteri mereka, kemudian mereka itu hendak menarik bagi apa yang 
	pernah mereka ucapkan itu," [Pangkal ayat 3]. 
	 
	"Menarik apa yang pernah mereka ucapkan itu," 
	kata Imam Syafi'i ialah bahwa mereka telah sadar dan menyesal. 
	Imam Ahmad bin Hanbal memberinya arti lebih tegas lagi; "Yaitu jika dia 
	ingin hendak bersetubuh kembali dengan isterinya yang telah dizhihaarnya itu." 
	Imam Malik juga mengartikan demikian.  
	 
	فَتَحْريرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا  
	"Maka hendaklah merdekakan seorang budak sebelum mereka 
	bersentuh-sentuhan. "  
	 
	Artinya janganlah meridekat dahulu kepada 
	isteri itu, jangalah dipegang badannya sebelum memerdekakan seorang budak. 
	Kalau sudah selesai memerdekakan seorang budak, barulah boleh 
	bersentuh-sentuhan. Dan sudah terang bahwa arti yang hakiki dari 
	bersentuh-sentuhan ialah bersetubuh. Namun setubuh itu memang didahului 
	dengan sentuh menyentuh. 
	 
	ذلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ 
	"Demikianlah kamu diberi pengajaran dengan dia. " 
	 
	Dengan menjadikan kaffarah atau denda pertama 
	memerdekakan budak,mengertilals kamu bahwa hal ini mungkar dan dusta dan 
	tidak patut dilakukan oleh orang yang beriman. Untuk memaharnkan ayat ini 
	lebih dalan-; perhatikanlah ayat 23 dari Surat ke 17 (Al-Israa'). 'Di sana 
	dijelaskayt kedudukan ibu bapa dan hormat kepada keduanya adalah nomor du; 
	sesudah menyembah Tuhan. Bagaimana engkau serupakan punggung isterimu yang 
	engkau geluti dan gurauwi setiap hari dengan punggung orang yang Allah 
	menyuruh engkau menghormatinya begitu tinggi, mendekati menghormati Tuhan?
	 
	 
	وَ اللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبيرٌ 
	"Dan Allah terhadap apa-apapura yang kamu kerjakan adalah Maha 
	Tahu. " [Ujung ayat 3]. 
	 
	Seketika tersebut kaffarah atau benda yang 
	pertama mesti diikhtiarkan ialah memerdekakan budak, tErasalah beratnya 
	hukuman yane, ; barns diterima. Dia adalah kaffarah pertama! Kalau tidak 
	sanggap, kaffarah yang pertama itu, barulah boleh pindah kepada kaffarah 
	yang kedua. Di waktu ayat turun masyarakat masih ada berbudak-budak;  
	 
	Perbudakan di atas dunia ini baru hapus dengan resrni pada pertengahan abad 
	kesembilan belas. 
	Islam sangat memujikan jika orang memerdekakan budak-budak itu, sehingga 
	denda atau kaffarah banyak yang disangkutkan dengan memerdekakan budak.  
	 
	Niscaya orang yang melanggar peraturan Tnhan ini wajib berusaha agar denda 
	yang pertama inilah yang wajib dibayarnya terlebih dahulu. Dia tidak boleh 
	mencari dalaih-dalih buat mengelak dari denda. Dia tidak boleh kepada denda 
	yang nomor dua selama dia masih sanggup membayar denda yang pertama. Akal 
	bulus orang itu yang hendak mencari dalih berpindah kepada kaffarah kedua 
	karena hendak mengelak dari kaffarah pertama padahal dia sanggup, itulah 
	yang dihalau-hambat oleh Tuhan di ujung ayat.  
	 
	وَ اللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبيرٌ  
	"Dan Allah terhadap apa pun yang kamu kerjakan adalah Maha 
	Tahu." 
	 
	Sekarang perbudakan itu memang sudah tidak 
	ada lagi di muka bumi ini. Sebab itu niscaya dengan sendirinya yang nomor 
	dualah yang dapat dilaksanakan oleh yang melanggar. 
	 
	فَمَنْ لَمْ يَجِدْ 
	"Maka barang siapa yang tidak memperdapatnya. " (Pangkal ayat 
	4]. 
	 
	Artinya tidak didapatnya budak yang akan 
	dimerdekakan. Baik karena dia sendir4 tidak ada mempunyai budak yang akan 
	dimerdekakan. Baik karena dia sendiri tidak ada mempunyai budak, atau tidak 
	mempunyai uang untuk pembeli budak yang akan dimerdekakan, atau memang budak 
	itu sendiri tidak ada lagi sebagai di zaman kita sekarang ini; '  
	 
	فَصِيامُ شَهْرَيْنِ 
	"Maka hendaklah puasa dua bulan berturut-turut ".  
	 
	Berturut-turut sebagaimana berlurut-turutnya 
	mengerjakan puasa bulan Ramadhan. Kalau Ramadhan hanya sebulan, kaffarah ini 
	jadi dua bulan.'  
	 
	فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعامُ سِتِّينَ مِسْكيناً 
	"Maka barang siapa yang tidak memperdapat, maka hendaklah 
	memberi makan enampuluh orang miskin."  
	 
	Tidak memperdapat artinya ialah tidak sanggup. 
	Mungkin karena kelemahan badan itau penyakit, sebagai terjadi pada diri si 
	Aus yang menzhihaar ~sterinya Khaulah itu. Dia mengakui terus terang bahwa 
	jika dia °.berpuasa, terlambat makan saja satu kali menjadi gelaplah 
	pemanmandangannya dan serupa orang hendak mati. Atau pekerjaannya yang 
	selalu mendesak, sehingga waktu untuk beristirahat puasa sampai dua bulan , 
	seorang diri, tidak beramai-ramai sebagai dalam bulan Ramaadhan bolehlah 
	digantinya dengan memberi makan enampuluh fakir miskin , lalu diujung ayat 
	ditegaskan;  
	 
	ذلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَ رَسُولِهِ 
	"Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya ",
	 
	 
	jangan dipakai juga adat kebiasaan buruk dari 
	zaman jahiliyah itu;  
	 
	وَ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ 
	"Dan itulah dia batas-batas yang ditentukan Allah".  
	 
	Sebagai orang yang telah mengaku 
	beriman,kepada Allah dan Rasul, kita ada mempunyai batas-batas sendiri, 
	Undang Undang sendiri yang langsung datang dari Allah, bukan buatan manusia. 
	Orang yang beriman mestilah tundnk dan setia memegang teraturan itu;  
	 
	وَ لِلْكافِرينَ 
	"Dan bagi orang-orang yang kafir, "  
	 
	yaitu yang tidak mau menjalankan salah satu 
	daripada ketiga tingkat kaffarah itu menurut kesanggupannya, atau mengatakan 
	bahwa peraturan itu tidak berlaku lagi sekarang karena sekarang dunia sudah 
	modern, atau berkata bahwa peraturan dari Al-Qur'an itu lebih baik dibekukan 
	saja; Orang-orang yang bersikap demikianlah yang termasuk dalam sebutan 
	orang yang kafir ! Bagi mereka  
	 
	عَذابٌ أَليمٌ  
	"adalah azab siksaan yang pedih." (Ujung ayat 4] 
	 
	Itulah ancaman bagi mereka di dunia karena 
	kekacauan peraturan masyarakat, sehingga sama saja di antara ibu dengan bini, 
	anak orang dikatakan anak awak, sampai kacau balau keturunan.  
	Dan azab siksaan yang pedih pula di akherat. 
	 
	Sungguhlah kisah Khaulah binti Sta'labah yang pergi bertukar pikiran dengan 
	Nabi saw. ini suatu kisah yang meninggalkan kesan yang mendalam tentang 
	kedudukan wanita dalam Islam. Khaulah pun tahu bahwa orang tidak boleh 
	bersuara agak keras pun di hadapan Nabi, (lihat Surat ke 49, Al-Hujuraat 
	ayat 2 dalam 7uzu'26). Niscaye dia telah berusaha berbicara dengan hormat, 
	tetapi ada terasa dalam - hatinya suatu ilham halus bahwa zhihaar itu adalah 
	adat jahiliyah yang tidak sesusi lagi dengan masyarakat Islam yang telah 
	teratur, kalau zhihaar itu sama juga dengan thalaaq bagaimanalah nasib 
	anak-anaknya, dan bagaimanalah nasib semuanya itu sendiri, yang matanyapun 
	tidak menerang lagi, badannya pun telah lemah.  
	 
	Suaranya penuh keikhlasan, hatinya penuh kejujuran dan sadar ataupun tidak 
	sadar, dia menginginkan perubahan dalam nasib sesamanya perempuan di zaman 
	yang akan datang dengan adanya peraturan Islam yang lebih baik dan lebih 
	sempurna menjamin keutuhan rumah tangga daripada pertahanan adat jahiliyah. 
	Semuanya itu didengar oleh Tuhan, sampai Tuhan menurunkan wahyunya daa 
	menatapkan peraturan yang dia kehendaki. 
	 
	Untuk mengenangkan kejadian yang sangat berkesan itu surat inipun diberi 
	nama dengan "Al-Mujaadalah," yang berarti ingatan kepada pembantahan atau 
	pertanyaan sanggah ialah adat istiadat zhihaar yang buruk itu. Dan Nabi 
	tidaklah membela aturan buruk itu , tetapi belum dapat menentukan sendiri 
	hukumnya. karena beliau tidak mau mendahului wahyu! Tiba-tiba ayat pun turun! 
	Tegas dinyatakan bahwa pertukaran pikiran itu didengarkan oleh Tuhan. 
	 
	Tegas dinyatakan bahwa pengaduannya didengar oleh Tuhan. Tegas dinyatakan 
	bahwa bahkan keluhannya pun didengar oleh Tuhan.Kemudian itu tegas pula 
	Tuhan menyatakan bahwa zhihaar itu adalah suatu perbuatan munkar, yaitu 
	tercela dan zuuran, yaitu bohong yang dikarang-karang. 
	 
	Suatu perbantahan yang indah sekali, sampai dijadikan nama surat. Atau 
	disebut "Al-Mujaadilah", yang boleh langsung diartikan perempuan yang 
	membantah. 
	Panjang usia Khaulah binti Sta'labah itu. Di seluruh tahun pemerintahan Abu 
	Bakar dia masih hidup dan diapun masih mendapati zaman pemerintahan Khalifah 
	'Umar bin Al-Khaththaab. 
	 
	"Pada suatu hari di zaman beliau memerintah itu berjalanlah beliau dengan 
	mengendarai kendaraannya, diiringkan di belakang oleh banyak pengiring. 
	Tiba-tiba terseloboklah seorang perempuan tua berdiri di tepi jalan. Lalu 
	dimintanya supaya Amiril Mu'minin 'Umar bin Khaththaab menghentikan 
	perjalananya sejenak.  
	 
	Lalu beliaupun berhenti dan pengiring yang banyakpun berhenti pula. Maka 
	mulailah perempuan tua itu berkata-kata; Isinya ialah memberikan beberapa 
	pengajaran dan pesan-pesan. Di antara perkataannya ialah; "Hai Umar! Di kala 
	engkau masih kecil engkau dipanggilkan orang si Buyung 'Umar (Si Umar cilik). 
	Berapa lama kemudian orang memanggil engkau; "Hai 'Umar! " Sekarang selalu 
	orang memangggil engkau; "Ya Amiral Mu'minin!". Oleh sebab itu maka 
	taqwaalah kepada Allah, hai Umar! Karena barang siapa yang yakin bahwa dia 
	pasti mati, niscaya takutlah dia akan ancaman Tuhannya di akhirat kelak." 
	 
	Setelah selesai perkataannya itu barulah dibolehkannya 'Umar meneruskan 
	perjalanan. Maka bertanyalah di antara pengiring-pengiring itu; "Ya Amiral 
	Mu'minin! Siapa itu perempuan tua? Sehingga Amiral Mu'minin mau berhenti dan 
	berdiri lama menunggu selesainya ucapannya?" 
	Lalu 'Umar menjawab; "Demi Allah! Sekiranya ditahannya aku sejak dari pagi 
	sampai petang hari, tidaklah aku akan bergerak dari tempatku berdiri kecuali 
	untuk sembahyang lima waktu! Tahukah kalian siapakah perempuan tua itu? 
	Itulah Khaulah binti Sta'labah, yang didengar Tuhan perkataannya dari atas 
	yang teratas lagi dari langit yang ketujuh. Apakah Tuhan Sarwa sekalian 'Alam 
	mendengar perkataannya, lalu 'Umar tidak mau mendengarkan? .......... ." 
	 
	Lalu Syaikh Syaltout dalam "Fatawaa"nya memberi komentar; "Maka terjadilah 
	kebijaksanaan yang sempurna di antara pemegang hukum dan kekuasaan dengan 
	seorang ahli taqwa dan mendapat maghfirat dari Tuhan; Maka Rahmat Allah-lah 
	bagi 'Umar dan Rahmat Allah-lah bagi Khaulah." 
   
	 01    
	02      
	 
	03    
	04   
	
	05     
	
	06 
	
	07 
	
	08 
	                                           
	Back To MainPage      
	>>>>   |