ayat : 1
يا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللهَ وَلا تُطِعِ الْكافِرينَ وَ
الْمُنافِقينَ إِنَّ اللهَ كانَ عَليماً حَكيماً
Wahai Nabi! Taqwalah engkau kepada Allah dan janganlah engkau ikuti orang orang yang kafir dan orang-orang munafiq . Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.
ayat : 2.
وَ اتَّبِعْ ما يُوحى إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ إِنَّ اللهَ كانَ بِما
تَعْمَلُونَ خَبيراً
Dan ikutilah apa yang telah diwahyukan kepada engkau darl Tuhan
engkau ; Sesungguhnya Allah terhadap apa yang kamu kerjakan adalah Maha
Tahu.
ayat : 3 وَ تَوَكَّلْ عَلَى اللهِ وَ كَفى بِاللهِ
وَكيلاً
Dan bertawakkallah kepada Allah dan cukuplah kepada Allah sahaja
bertawakkal.
ما جَعَلَ اللهُ
لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ في جَوْفِهِ وَما جَعَلَ أَزْواجَكُمُ اللاَّئي
تُظاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهاتِكُمْ وَما جَعَلَ أَدْعِياءَكُمْ أَبْناءَكُمْ
ذلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْواهِكُمْ وَ اللهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَ هُوَ يَهْدِي
السَّبيلayat : 4
َ
Tidaklah Allah menjadikan pada seseorang dua hati dalam rongganya
dan tidaklah isteri-isteri kamu yang telah kamu serupakan punggungnya dari
kalangan mereka menjadi ibumu dan tidaklab Dia menjadikan anak yang kamu
angkat jadi anakmu benar-benar Itu hanyalah ucapanmu dengan mulutmu. Dan
Allah mengatakan yang benar dan Dia akan menunjuki jalan.
ٱدْعُوهُمْ
لِآبائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آباءَهُمْ
فَإِخْوانُكُمْ فِي الدِّينِ وَ مَواليكُمْ وَ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُناحٌ فيما
أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَ لكِنْ ما تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَ كانَ اللهُ غَفُوراً
رَحيما ً
Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka. Itulah yap lebih
adil disisi Allah. Dan jika tidak kamu ketahui siapa bapa bapak mereka, maka
adalah mereka saudara kamu seagama maula-maula kamu. Tetapi tidaklah kamu
berdosa jika kamu salah dengan dia, melainkan jika disengaja oleh hati kamu.
dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
(
ayat : 5 ) .
Dalam ayat 1 sampai 3 terdapatlah peringatan kepada Nabi. Dalam ayat 4 sampai 5 terdapat peringatan kepada ummat.
Nampak pada lahir seakan-akan tidak ada hubungan. Tetapi apabila kita fahami
lebih mendalam, nampaklah benang sutera halus yang menghubungkan ayat 3
yang semula dengan ayat 4 dan 5. Mari kita Cobalah perhatikan !
يا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللهَ
"Wahai Nabi! Taqwalah engkau kepada Allah." (Pangkal ayat 1).
Nabi akan selalu mengajak orang lain supaya bertaqwa. Namun ajakan beliau
kepada orang lain itu tidak akan ada artinya, cuma akan jadi cemoohan orang
kalau beliau hanya menyuruh padahal dia sendiri tidak bertaqwa. Sebab itu
maka Allah menasehatkan kepadanya supaya taqwa itu ditanamnya teguh terlebih
dahulu dalam dirinya, sehingga orang lain yang diajak bertaqwa akan mematuhi
dengan baik dan setia, sebab mereka melihat contohnya pada tingkah laku
beliau sendiri.
وَلا تُطِعِ الْكافِرينَ
"Dan janganlah engkau ikuti orang-orang yang kafir dan orang-orang
yang munafiq".
Tentu saja ajakan dari orang kafir dan munafiq tidak boleh dituruti. Ini pun
suatu perintah mawas diri daripada Allah kepada Rasul-Nya. Karena
kadang-kadang kafir dan munafiq itu akan menyusun juga ajakan-ajakan yang
pada lahirnya manis, padahal dalam batinnya berisi ajakan yang pahit.
Kemudian datang sambungan ayat:
إِنَّ اللهَ كانَ عَليماً حَكيماً
"Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana."
(Ujung ayat 1).
Allah menutup peringatan-Nya terhadap RasulNya dengan kata demikian. Ialah
karena orang yang kafir, apatah lagi orang munafiq kerap kali . mengeluarkan
perkataan yang manis, padahal mengandung maksud hendak menyeret Rasul ke
dalam perangkap yang telah mereka pasang.
وَ اتَّبِعْ ما يُوحى إِلَيْكَ مِنْ
رَبِّكَ
"Dan ikutilah apa yang telah diwahyukan kepada engkau oleh Tuhan
engkau. " (Pangkal ayat 2).
Di ayat pertama melarang mengikuti kehendak kafir dan munafiq, di ayat
kedua dijelaskan bahwa jalan yang akan ditempuh hanya satu, yaitu mengikuti
wahyu yang diturunkan Tuhan dari alif sampai yaa.
Dari pangkal jalan sampai ke ujung jalan, jangan disela-sela dengan yang
lain. Sebab. jalan lurus itu hanya satu, yaitu jalan Allah. Adapun jalan
kafir dan munafiq tidaklah bersumber dari wahyu Ilahiy, melainkan dari
fikiran manusia atau perdayaan syaithan.
إِنَّ اللهَ كانَ بِما تَعْمَلُونَ خَبيراً
"Sesungguh.nya Allah terhadap apa yang kamu kerjakan adalah Maha
Tahu." (Ujung ayat 2)
Oleh karena Allah Maha Tahu dan Maha Teliti atas segala perbuatan yang
dikerjakan oleh manusia, jelaslah bahwa hati sanubari manusia pun dalam
kontrole Tuhan selalu. Dia tidak boleh menyeleweng dari garis yang
ditentukan-Nya.
وَ تَوَكَّلْ عَلَى اللهِ
"Dan bertawakkallah kepada Allah". (Pangkal ayat 3).
Artinya ialah supaya beliau, Rasulullah saw. menyerahkan dirinya
sebulatbulatnya kepada 'Tuhan, penuh kepercayaan, jangan bimbang. Harus
yakin bahwasanya jalan yang ditunjukkan Tuhan itulah yang benar, yang lain
tidak ada.
وَ كَفى بِاللهِ وَكيلاً
"Dan cukuplah kepada Allah sahaja bertawakkal". (Ujung ayat 3).
Kesimpulan dari ketiga ayat ini adalah pegangan hidup bagi Rasul dan bagi
tiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul. Agama Islam hukanlah
semata-mata anutan dan pelukan. Dia bukan semata-mata aqidah yang masuk akal
atau yang disebut "rasionil". Dan bukanlah semata-mata beribadat, melakukan
sembahyang, puasa, zakat dan hajji menurut peraturan, rukun dan syarat yang
tertentu.
Al-Islam bukanlah semata-mata mempertengkarkan soal-soal khilafiyah hasil
ijtihad Ulama-Ulama terkemuka. Islam adalah kumpulan dari itu semuanya yang
dijiwai oleh rasa kesadaran bahwa kita melangkah dalam arena kehidupan
dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab berhadapan dengan Tuhan.
Dapat kita tegaskan lagi bahwa agama Islam itu ialah disiplin yang keras
terhadap diri sendiri, terutama dalam kedudukan orang sebagai pemimpin.
Pendirian yang tegas dan pegangan yang teguh, berani menghadapi segala
kemungkinan di dalam mempertahankan pendirian. Itu sebabnya maka pada ayat
yang pertama sekali diperingatkan kepada Rasul sendiri agar beliau
sekali-kali jangan mengacuhkan dan mengikuti kehendak dan permintaan
orang-orang yang telah nyata kafir, apatah lagi munafiq.
Bertawakkal kepada Allah, artinya ialah bahwa tempat bertanggung jawab hanya
semata-mata kepada Tuhan :
ما جَعَلَ اللهُ لِرَجُلٍ مِنْ
قَلْبَيْنِ في جَوْفِهِ
"Tidaklah Allah menjadikan pada seseorang dua hati dalam rongganya.
" (Pangkal ayat 4).
Pangkal ayat ini adalah d a s a r hidup untuk jadi pegangan bagi orang yang
mempunyai aqidah Tauhid. Dalam ungkapan secara modern ialah bahwa orang yang
pecah tujuan hidupnya atau pecah kumpulan cintanya adalah orang yang sebagai menghentakkan kayu yang berjupang dua ke dalam bumi, niscaya tidak akan
mau terbenam.
Maka tidaklah akan beres berfikir seorang yang dalam hatinya berkumpul
menyembah kepada Allah dengan menyembah kepada benda. Itu namanya musyrik.
Sejak dari ayat 1, dan ayat 2 sudah dijelaskan oleh Tuhan kepada Rasul-Nya,
jangan dia mengikuti kehendak kafir dan munafiq disertai dengun tha'at
kepada ' Allah. Kalau sekali hati telah bulat menyembah kepada Allah, persembahan kepada
kafir dan munafiq atau persembahan kepada benda mesti ditinggalkan.
وَما جَعَلَ أَزْواجَكُمُ اللاَّئي
تُظاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهاتِكُمْ
"Dan tidaklah isteri-isteri kamu yang telah kamu serupakan
punggungnya di antara mereka menjadi ibumu".
Kebiasaan orang Arab di zaman jahiliyah jika mereka tidak suka lagi kepada
isteri mereka, maka mereka katakanlah bahwa punggung isteri itu serupa
dengan punggung ibunya. Tentu saja kalau punggung isteri telah diserupakan
dengan punggung ibu sendiri, kasih sayang kepada isteri sudah disamakan
dengan kasih sayang kepada ibu.
Kalau isteri sudah dianggap ibu, tentu dikacau-balaukan kasih kepada ibumu
yang tidak boleh dikawini sudah dikacau-balaukan dengan kasih kepada isteri
yang menjadi teman tidur ! .
Sikap demikian adalah termasuk kekacauan jiwa juga, tidak dapat dibiarkan.
Isteri tetap isteri dan kasih kepada isteri ialah disetubuhi dan
menghasilkan anak. Ibu tetap ibu dan kasih kepada ibu adalah buat
dikhidmati. Sebab itu maka kebiasaan menyerupakan punggung isteri dengan
punggung ibunya itu adalah perbuatan yang salah dan tidak benar.
Pada Surat ke-58, Al-Mujaadalah yang diturunkan di Madinah juga, kebiasaan
jahiliyah ini telah diberantas dan dilarang. Barangsiapa melakukannya
dikenakan denda (Kaffarah). Yaitu memerdekakan budak, atau memberi makan 60
orang miskin atau puasa dua bulan berturut-turut. (Lihat Surat pertama dari
Juzu' ke-29).
وَما جَعَلَ أَدْعِياءَكُمْ أَبْناءَكُمْ
"Dan tidaklah Dia menjadikan anak yang kamu angkat jadi anakmu
benar-benar".
Biasa juga di zaman jahiliyah orang memungut anak orang lain lalu
dijadikannya anaknya sendiri. Anak yang diangkat itu berhak membangsakan
diri kepada orang yang mengangkatnya itu. Bahkan hal ini terjadi pada diri Nabi Muhammad saw. sendiri. Seorang budak,
(hamba sahaya) yang dihadiahkan oleh isterinya Khadijah untuk merawat
beliau, bernama Zaid anak Haritsah. Karena sayangnya kepada anak itu beliau
angkat anak dan hal ini diketahui umum.
Di ayat ke-37 kelak akan lebih jelas lagi ahwa Nabi Muhammad saw, sendirilah
yang disuruh melepaskan diri terlebih dahulu daripada kebiasaan yang buruk
itu, yaitu mengambil anak orang lain jadi anak angkat.
ذلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْواهِكُمْ
"Itu hanyalah ucapan dengan mulutmu".
Yaitu bahwa mengatakan anak orang lain jadi anak sendiri itu hanyalah ucapan
mulut, bukan keadaan yang sebenarnya. Sebab yang sebenarnya anak ialah
aliran dari air dan darah sendiri.
وَ اللهُ يَقُولُ الْحَقَّ
"Dan Allah mengatakan yang benar",
yaitu anak orang lain bukanlah jadi anakku, walaupun engkau sorakkan di muka
umum. Kalau cara sekarangnya walaupun engkau kuatkan dengan kesaksian
Notaris, dengan surat-surat pemerintah yang sah. Yaitu sah menurut peraturan
yang bukan dari Allah.
وَ هُوَ يَهْدِي السَّبيلَ
"Dan Dia akan rnenunjuki jalan". (Ujung ayat 4).
Jalan yang ditunjukkan oleh Tuhan itu ialah syari'at Islam. Maka segala
peraturan yang lain, terrnasuk peraturan orang kafir yang dijalankan dalam
Dunia Islam, mengangkat anak orang lain jadi anak sendiri, bukanlah jalan
yang benar.
Islam telah mengadakan aturan sendiri dalam menjaga nasab dan keturunan,
sehingga apabila seseorang meninggal dunia sudah ada ketentuan pembagian
harta pusaka (faraidh).
Namun mengangkat anak orang lain jadi anak sendiri, lalu mengatur pula agar
harta pusaka setelah mati diserahkan pula kepada anak angkat itu adalah
melanggar pula kepada ketentuan hak milik yang telah ditentukan syari'at.
Di Indonesia sebagai sebuah negeri yang 350 tahun lamanya dijajah diakui
pula peraturan mengangkat anak itu, sebagai sisa dari peraturan Belanda.
Kalau Ummat Islam menjalankar pula peraturan yang ditinggalkan Belanda itu,
nyatalah mereka melanggar syari'atnya sendiri. Inilah yang diperingatkan
Tuhan kepada Rasul-Nya pada ayat pertama surat ini, agar Rasul jangan
mengikut kepada kafir dan munafiq.
ٱدْعُوهُمْ لِآبائِهِمْ
"Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka. "
(Pangkal ayat 5).
Dahulu Zaid budak yang dimerdekakan dan diangkat anak di zaman jahiliyah
oleh Nabi ita dipanggilkan Zaid bin Muhammad. Dengan ayat ini datanglah
ketentuan supaya dia dipanggil kembai menurut yang sewajarnya , yaitu Zaid
bin Haritsah.
Ada juga kejadian seorang anak yang kematian ayah sewaktu dia masih amat
kecil. Lalu ibunya kawin lagi dan dia diasuh dan dibesarkan oIeh ayah
tirinya yang sangat menyayangi dia.
Dengan tidak segan-segan si anak menaruhkan nama ayah tirinya di ujung.
namanya, padahal bukan ayah tirinya itu ayahnya yang sebenarnya. Itu pun
salah.
Karena walaupun betapa tingginya nilai kasih sayang dan hutang budi, namun
kebenaran tidaklah boleh diubah dengan mulut. Mengganti nama ayah itu pun
satu kedustaan. Sebab itu maka ditegaskan Tuhan di lanjutan ayat :
هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ
"Itulah yang lebih adil , di sisi Allah".
Maka mengganti itu tidaklah adil. Itu adalah curang.
فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آباءَهُمْ
فَإِخْوانُكُمْ فِي الدِّينِ
"Dan jika tidak kamu ketahui siapa bapak-bapak mereka maka adalah
mereka saudara-saudara kamu seagama".
Orang yang tidak terang siapa bapak-bapak mereka ini ialah orang yang biasa
ditawan dalam peperangan ketika dia masih kecil, orang tuanya telah mati dan
dia telah hidup dalam masyarakat Islam. Atau orang seagama dari negeri lain
yang belum kita kenal keturunannya.
Ayat ini menunjukkan hendaklah mereka dipanggil sebagai saudara. Maka kalau
orang itu masih muda, panggil sajalah dia sebagai saudara.
وَ مَواليكُمْ
"Dan maula maula kamu".
Maula mengandung arti perlindungan dan pimpinan timbal balik , Pokok kata
ialah dari wilayah, menjadi wali, menjadi maulaa. Dia dapat diartikan
Pelindung, Raja, Tuanku, tetapi dia pun! dapat diartikan orang yang
diperlindungi.
Setelah Agama Islam berkembang luas dan negeri yang ditaklukkan oleh
tentara Islam bertambah jauh, banyaklah anak muda-muda kehilangan keluarga
lalu diambil dan dipelihara oleh tentara Islam yang menang.
Mereka dibawa ke negeri Islam dididik dalam Islam. Diakui termasuk
kekeluargaan dari kaum yang memeliharanya.
Dalam Islam maula-maula (jama'nya mawaali) diberi didikan yang tinggi.
Mereka memperdalam pengetahuan tentang Islam. Imam Bukhari ahli hadits yang
masyhur itu adalah seorang Maulaa dari Bani Ju'fah, yaitu qabilah Arabi yang
diperintahkan Khalifah menaklukkan Bukhara di zaman Bani Omayah.
Banyak Ulama-ulama Islam di zaman Tabi'in adalah Maulaa. Malahan ada di
antara mereka yang jadi shahabat Rasulullah, sebagai Bilal bin Rabah, Salim
Maula Abu Huzaifah dan lain-lain. ulama Tabi'in yang besar, yaitu Imam
'Athaak di Mekkah, AI-Hasan Al-Bishriy di Basrah, keduanya adalah Maulaa.
Tuan-tuan besar dari Arab berjuang jadi pahlawan dalam perang, sedang
maula-maula jadi Pahlawan Ilmu Pengetahuan Islam.
وَ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُناحٌ فيما أَخْطَأْتُمْ
بِهِ
"Tetapi tidaklah kamu berdosa jika kamu tersalah dengan dia".
Yaitu salah yang bukan disengaja, karena tidak tahu.
وَ لكِنْ ما تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ
"Melainkan jika disengaja oleh hati kamu".
Misalnya membangsakan orang kepada yang hina, atau menghinakan orang karena
warna kulitnya. Itu sangatlah disalahkan oleh Rasulullah saw.
وَ كانَ اللهُ غَفُوراً رَحيماً
"Dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (ujung ayat 5).
Memberi ampun atas kesalahan tempo dulu yang telah terlanjur, Maha Penyayang
kepada hamba-Nya yang patuh sehingga Dia beri petunjuk jalan yang benar dan
langkah yang betul.
Berkenaan dengan ayat-ayat yang tengah kita tafsirkan ini teringatlah kita
menyalinkan suatu kejadian ketika Rasulullah mengerjakan 'Umratul Qadhaa di
tahun ke tujuh, karena tidak jadi di tahun keenam, lantaran membuat
perjanjian dengan kaum Quraisy di Hudaibiyah.
Dalam perjalanan pulang dari Mekkah menuju Madinah, menurutlah dari
bekalang Nabi dan sahabat-sahabat seorang gadis kecil. Anak itu adalah anak
yatim, anak dari "Sayyidusy Syuhadaa"', Hamzah bin Abdil Muththalib, paman
Nabi dan saudara sepersusuan dengan Nabi.
Karena di waktu kecilnya dia sama-sama disusukan dengan Nabi oleh pembantu
rumah tangga Abu lahab, salah seorang saudara tertua dari Hamzah dan paman
pula dari Nabi.
Anak perempuan kecil itu memanggil-manggil dari belakang, minta dibawa
serta; Dia berseru-seru: "Ya 'Ammi, Ya 'Ammi". (Hai paman, hai paman!),
Lalu 'Ali bin Abi Thalib mendekati anak itu dan dia berkata kepada isterinya
Fathimah binti Muhammad: "Bawa dia. Sebab dia adalah anak dari paman kau".
Lalu anak itu dibawa oleh Fathimah.
Tetapi ada tiga orang yang berada di sana waktu itu, yaitu 'Ali bin Abi
Thalib, Zaid bin Haritsah dan Ja'far bin Abi Thalib. Ketiganya sama ingin
hendak memelihara dan membesarkan anak itu. Semua mengeluarkan alasan. 'Ali
berkata: "Aku lebih berhak. Sebab dia anak perempuan pamanku!"
Zaid bin Haritsah berkata: "Aku lebih berhak, sebab dia anak saudaraku".
Sebab di antara Hamzah dengan Zaid dipersaudarakan oleh Rasulullah dikala
mulai hijrah ke Madinah.
Lalu berkata Ja'far bin Abi Thalib: "Dia anak perempuan dari pamanku, dan
khalah-nya (saudara perempuan dari ibunya) adalah isteriku". Yang
dimaksudnya ialah Asmaa bin 'Umais. Isteri Hamzah adalah kakak kandung dari
Asma' bin 'Umais.
Ketiganya lalu meminta keputusan.kepada Rasulullah saw. Maka beliau
memutuskan bahwa Ja'far bin Abi Thalib-lah yang akan memelihara anak
perempuan Hamzah itu, sebab isteri Ja'far, Asma' binti 'Umais adalah saudara
kandung ibunya.
Nabi bersabda:
"Saudara perempuan ibu adalah menempati tempat ibu".
Kepada 'Ali bin Abi Thalib beliau berkata: "Engkau dari diriku dan aku dari
diri engkau".
Kepada Ja'far bin Abi Thalib beliau berkata:"Engkau serupa benar dengan
daku, baik dari pihak bentuk badan ataupun dari pihak bentuk budi".
Kepada Zaid bin Haritsah beliau berkata: "Engkau adalah saudara kami dan
maula kami".
Beliau mendasarkan ucapan beliau kepada Zaid itu ialah kepada ayat Al-Qutan
tadi bahwa mereka adalah saudara-saudara kamu dan maula-maula kamu".
Dengan demikian beliau telah dapat mendamaikan orang-orang yang berselisih
dengar, memuaskan hati masing-masing, dan gadis kecil itu beliau serahkan
kepada yang lebih berhak, yaitu adik dari ibu kandungnya, yang disebut
khaalah-nya
01
02
03
04
05
06 Back to Main Page
>>> |