Sekarang tentang arti ibadat.
Arti yang luas daripada IBADAT ialah memperhambakan diri dengan penuh
keinsafan dan kerendahan. Dan dipatrikan lagi oleh cinta. Kita mengakui
bahwa kita hambaNya, budakNya. Kita tidak akan terjadi kalau bukan Dia yang
menjadikan.
Kita beribadat kepadaNya disertai oleh raja', yaitu pengharapan
akan kasih dan sayangNya, cinta yang hakiki, tidak terbagi pada yang lain.
Sehingga jikapun kita cinta kepada yang lain, hanyalah karena yang lain itu
nikrnat dari Dia. Misalnya kita mencintai anak dan isteri, harta dan benda.
Atau kita mencintai tanah air tempat kita dilahirkan, ataupun yang
lain-lain.
Semuanya itu adalah karena dianya nikmat dari Dia. Tidak dapat
kita mencintai yang lain langsung, di samping mencintai Dia. Karena kalau
ada cinta lain di samping cinta kepadaNya, itulah cinta yang terbagi.
Apabila telah terbagi, itulah pangkal dari syirik.
Dan tidak ada pula yang lain yang kita puja atau kita sembah yang berupa
ibadat. Karena yang lain itu semuanya adalah makhlukNya belaka.
Kita diperintahNya hormat kepada yang patut dihormati. Kita disuruhNya kasih
kepada ibu bapak. Setia kepada negara dan raja atau kepala negara, dan kita
diperintahkanNya supaya hormat kepada guru. Semuanya itu kita kerjakan
karena Allah yang menyuruhkan. Tetapi kita tidak akan sampai beribadat
kepada ayah bunda, atau kepada negara, raja dan kepada kepala negara, atau
kepada guru.
Kemudian datanglah isti'anah, yaitu memohonkan pertolongan.
Pada ayat ini
kita disuruh mengucapkan pengakuan bahwa hanya Dia tempat kita memohonkan
pertolongan. Dengan demikian kita akui sendirilah bahwa kita sendiri
tidaklah berkuasa buat mencapai segala rencana yang telah kita cadangkan di
dalam hidup ini. Tenaga kita sangat terbatas, dan kita tidak akan sampai
kalau tidak Tuhan yang menolong.
Sebagai telah diterangkan di atas tadi, dengan menyebut Iyyaka nasta'inu
telah terkandung lagi Tauhid di dalam memohonkan pertolongan. Dengan
mendahulukan Iyyaka, yang berarti hanya Engkau saja, sudah lebih tegas lagi
maksudnya daripada misalnya kita berkata Nasta'inuka, yang berarti kami
meminta tolong kepada Engkau.
Dan diapun menimbulkan kekuatan di dalam jiwa
kita. bahwa kita tidak mengharapkan pertolongan dari yang lain, sebab yang
lain tidak berkuasa dan tidak ada daya-upaya buat menolong kita.
Jangan kita campur adukkan di antara isti'anah dengan
mu'awanah. Di dalam hal memohon pertolongan, kita tetap hanya kepada Allah.
Tetapi di antara kita rnanusia sesama manusia, mal:hluk sesama makhlukpun
diperintah oleh Allah supaya bertolong-tolongan, berkoperasi, itu namanya
bukan isti 'anah, tetapi mu 'awanah. Di dalam Surat al-Maidah, surat 5 ayat
2, Tuhan bersabda, agar hendaklah kita tolong-menolong di dalam berbuat
kebajikan dan takwa, dan janganlah kita tolong-menolong di dalam hal dosa
dan permusuhan. Tetapi di dalam ayat, mu'awanah Jill berternu lagi intisari
pertahanan isti'anah. Artinya, sebagai muslixrx yang sadar akan nilai
imannya, di dalam isti 'anah kita tetap hanya kepada Tuhan. Tetapi terhadap
orang lain kita sudi menolong sebab melaksanakan perintah Tuhan juga. Kita
tahu sabda Nabi, bahwa tangan di atas lebih balk dari tangan yang di bawah.
Setiap orang berusaha dan bekexja menurut bakatnya. Dokter menolong orang
sakit, dan orang sakit datang meminta tolong dan diberi obat. Guru menolong
muridnya dengan mengajarnya tulis dan baca dan ilmu yang lain. Semuanya itu
jangan dicampur adukan dengan isti'anah, sebab itu semuanya adalah hubungan
manusia sesama manusia. Memang yang kuat hendaklan menolong yang lemah, yang
kaya menolong yang miskin. Dan semua itu adalah dalam rangka meminta tolong
kepada Allah juga.
Maka tolong menolong, yang satu meminta tolong kepada yang lain, clan yang
lain meminta tolong kepada yang satu di dalam urusan kehidupan sehari-hari,
tidaklah terlarang, karena itu bukan di dalam rangka memandang bahwa tempat
manusia tolong itu sebagai ternpat beribadat. Di atas manusia yang tolong
menolong itu ada lagi kekuasaan yang tertinggi memutuskan dengan mutlak, dan
Maha Kuasa memberikan atau menahan, melangsungkan atau menggagalkan. Itulah
kekuasaan Tuhan, kekuasaaxxNya rneliputi akan seluruhnya. KepadaNyalah kita
bersama sesudah bertolong-tolongan sesama kita, memohon petunjuk, memohonkan
diberi kekuatan, dihasilkan yang di cita-citakan, dituntun sebaik-baiknya
kepada yang balk dan yang benar.
Tauhid dengan jalan isti'anah membangkitkan kekuatan pada diri sendiri,
supaya langsung berhubungan dengan Tuhan, yang menjadi sumber dari segala
kekuatan. Memohonkan pertolongan kepada Tuhan bukanlah kelemahan, tetapi di
sanalah terletak kekuatan. Hanya orang yang tolol yang mengaku bahwa dirinya
sanggup berbuat segala yang dia kehendaki.
Adapun orang yang berilmu, maka ilmunya itulah yang menunjukkan kepadanya
bahwa dia tidak sanggup mengetahui segalanya.
Berkali-kali kita merencanakan suatu hal. Maka setelah dimulai menjalankan
rencana itu, di tengah jalan kita bertemu hal-hal yang sama sekali tidak
dalam rencana kita. Mengertilah kita bahwa ada kekuatan tertinggi yang di
luar dari kemampuan kita. Taruhlah kita dapat mengatasi dengan meminta
tolong kepada orang lain, sesama manusia. Tetapi kelak akan ketahuan pula
ada lagi kekuatan tertinggi, yang oleh bersamapun tidak dapat di atasi. Maka
lantaran itu selalulah kita mengingat bahwa tempat memohon pertolongan yang
tertinggi adalah Tuhan. Dialah Tuhan dengan namaNya Ar Robb.
Memohon pertolongan dengan dasar Tauhid itulah yang masuk akal. Sebab itu
tidaklah kita memohon pertolongan misalnya kepada kuburan seorang guru atau
orang alim yang kita pandang keramat. Atau meminta tolong kepada berhala,
atau meminta tolong kepada keris pusaka. Dengan kalimat Iyyaka nasta'inu
tadi, yang berarti "Hanya kepada Engkau saja aku meminta tolong," jelaslah
bahwa kita tidak akan meminta pertolongan kepada yang lain dengan cara
demikian. Sebab yang lain itu tidak masuk akal bahwa dia dapat menolong.
Ayat ini diikuti lagi oleh ayat yang berikutnya :
اهدنا
الصراط المستقيم
"Tunjukilah kami jalan yang lurus" (ayat 6),
Meminta ditunjuki dan dipimpin supaya tercapai jalan yang lurus. Menurut
keterangan setengah ahli tafsir, perlengkapan menuju jalan yang lurus, yang
dimohonkan kepada Allah itu ialah,pertama al-Irsyad, artinya agar
dianugerahi kecerdikan dan kecerdasan, sehingga dapat membedakan yang salah
dengan yang benar.
Kedua at-Taufiq, yaitu bersesuaian hendaknya dengan apa
yang direncanakan'Iuhan. Ketiga al-Ilham, diberi petunjuk supaya dapat
mengatasi sesuatu yang sulit. Keempat ad-Dilalah, artinya ditunjuk
dalil-dalil dan tanda-tanda dimana tempat berbahaya, dimana yang tidak boleh
dilalui dan sebagainya. Seumpama tanda-tanda yang dipancangkan di tepi
jalan, berbagai macamnya, untuk memberi alamat petunjuk bagi pengendara
kendaraan bermotor.
Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, menurut beliau yang dimaksud
dengan meminta ditunjuki jalan yang lurus, tafsirnya ialah mohon ditunjuki
agamaMu yang benar. Menurut beberapa riwayat dari ahli-ahli hadits, daripada Jabir bin Abdullah
yang dimaksud dengan Shirothol Mustaqim ialah Agama Islam. Dan menurut
beberapa riwayat lagi, Tbnu Mas'ud mentafsirkan bahwa yang dimaksud dengan
Shirothol Mustaqim ialah Kitab Allah (al-Qur'an).
Menurut yang dirawikan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi,
an-Nasa.'i, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Abu Syaikh, al-Hakim, Ibnu Mardawaihi
dan al-Baihaqi sebuah Hadits Rasulullah s.a.w diriwayatkan daripada
an-Nawwas Ibnu Sam'an, pernah Rasulullah s.a.w berkata :
" bahwasanya Allah Ta'ala
telah membuat satu perumpamaan tentang Shirothol Mustaqim itu ; bahwa di
kedua belah jalan itu ada dua buah dinding tinggi. Pada kedua dinding tinggi
itu ada beberapa pintu terbuka, dan di atas tiap-tiap pintu itu ada lelansir
penutup (gordiyn). Sedang diujung jalan tengah yang lurus (Shirothol
Mustaqim) itu ada seorang berdiri memanggil-manggil :
"Wahai sekalian
manusia, masuklah ke dalam Shirat ini semuanya, jangan kamu berpecah
belah", dan ada pula seorang penyeru dari atas Shirat.
Maka apabila manusia
hendak membuka salah satu dari pintu-pintu itu berkatalah dia : "Celaka !
Jangan engkau buka itu ! Kalau dia engkau buka, niscaya engkau akan
terperosok ke dalam."
Maka kata Rasulullah selanjutnya : Jalan Shirat itu
ialah Islam, dan kedua dinding sebelah menyebelah itu ialah segala
batas-batas yang ditentukan Allah. Dan banyak pintupintu terbuka itu ialah
segala yang diharamkan Allah. Penyeru yang menyeru di ujung jalan itu ialah
Kitab Allah, dan penyeru yang menyeru dari atas ialah Wa'izh (Pemberi
Nasihat) dari Allah yang ada dalam tiap-tiap diri Muslim".
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa Hadits ini hasan lagi shohih.
Maka semua penafsiran tadi dapatlah digabungkan menjadi satu Shirathal
Mustaqim memang agama yang benar, dan itulah Agama Islam. Dan sumber
petunjuk dalam Islam itu tidak lain ialah al-Qur'an, dan semuanya dapat
diambil contohnya dari perbuatan Nabi Muhammad s.a.w dan sahabat-sahabat
beliau yang utama.
Hanya seorang Ulama saja mengeluarkan tafsir agak sempit, yaitu Fudhail bin
Iyadh. Menurut beliau Shirothol Mustaqim ialah jalan pergi naik Haji. Memang
dapat menunaikan Haji sebagai rukun Islam yang kelima, dengan penuh
keinsafan dan kesadaran, sehingga mencapai Haji yang Mabrur, sudah sebagian
daripada Shirath al Mustaqim juga.
Apatah bagi orang semacam Fudhail bin
Iyadh sendiri, adapun bagi orang lain belum tentu naik Haji itu menjadi
Shirathal Mustaqim, terutama kalau dikerjakan karena riya, mempertontonkan
kekayaan, mencari nama, atau sebagai politik untuk mencari simpati rakyat
yang bodoh. Dengan ayat ini kepada kita telah ditunjukkan apa yang amat
penting kita mohonkan pertolongan kepadaNya. Mohon ditunjuki jalan yang
lurus.
Kita telah ditakdirkanNya hidup di dunia mi. Melalui hidup di dunia ini,
samalah artinya dengan melalui suatu jalan. Kita takut akan bahaya dan ingin
selamat dalam perjalanan itu. Kita mau yang baik dan tidak mau yang buruk.
Kita mau yang manfaat dan tidak mau yang mudharat. Dengan ayat-ayat yang di
atas kita telah memulai membaca dengan namaNya. Kita telah mengakui bahwa
Dia Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Kita telah memuji Dia, sebagai Tuhan
Pemelihara, Pendidik sekalian alam. Dan kita telah mengakui bahwa
kekuasaanNya meliputi dunia dan akhirat.
Dia Rahman dan Rahim, tetapi Dia juga
menguasai dan mempunyai Hari Pembalasan. Lantaran itu semuanya kita telah,
menyerah kepadaNya ; kepadaNya saja> tidak kepada yang lain. Sehingga kita
telah menyatakan tekad bahwa yang kita sembah hanya Dia dan tempat kita
memohon pertolongan hanya Dia. Sekarang setelah penyerahan demikian mulailah
kita memasukkan permohonan puncak dari segala permohonan, yaitu agar supaya
ditunjuki jalan yang lurus. Kitapun mengaku bahwa petunjuk itu sejak lahir
ke dunia telah diberikan secara berangsur. Pertama sejak mulai lahir telah
diberi kita persediaan petunjuk pertama, sehingga bila terasa lapar kita
menangis, bila terasa basah kitapun menangis ; dan sejak lahir telah diberi
petunjuk kita bagaimana mencucut susu ibu.
Dan setelah itu dengan berangsur-angsur, dari hari ke hari bulan ke bulan
berangsur kita dapat membedakan bunyi yang didengar dan warna yang dilihat.
Dalam masa perangsuran itu kita diberi naluri untuk perlengkapan hidup,
sebagai yang diberikan sekaligus kepada binatang. Tetapi pada binatang
terhenti hingga demikian saja, dan pada kita manusia diteruskan lagi dengan
pertumbuhan akal dan pikiran.
Akallah yang memperbaiki kesalahan pendapat
pancaindera, mata melihat dan merasa seketika kereta api yang kita tumpangi
berhenti di sebuah stasiun dan bahwa dia telah berangkat pula, padahal yang
berangkat itu belum kereta api yang kita tumpangi itu, melainkan kereta api
yang disebelahnya. Dan lain-lain sebagainya. Mata melihat tongkat yang lurus
di dalam air menjadi bengkok, sedang akal menolaknya.
Tetapi akal saja belumlah cukup menjadi pedoman. Sebab dalam diri kita
sendiri bukan akal dan panca indera saja yang harus diperhitungkan. Kita
perhitungkan juga syahwat dan hawa nafsu kita, demikian juga naluri-naluri
yang lain. Kita kepingin makan dan minum, supaya hidup. Supaya berketurunan
kita ingin mempunyai teman hidup ; laki-laki rnencari perempuan dan
perempuan menunggu laki-laki. Kita ingin mempunyai apa-apa, kita ingin
mempunyai persediaan.
Kita ingin orang lainpun ingin. Untuk mencari apa yang kita ingini itu kita
pergunakan alCal, dan orang lain untuk mencari keinginannya mempergunakan
akalnya pula. Kadang-kadang seluruh orang mengingini satu macam barang, maka
terjadilah perebutan. Mendapatlah siapa yang lebih cerdik atau lebih kuat.
Kadang-kadang nampak satu hal yang diperlukan dan sangat diingini.
Dipakailah segala daya-upaya untuk mencapainya. Kemudian setelah didapat
ternyata membawa celaka pada diri. Ada hal yang pahit mulanya dan manis
ujungnya. Dan ada pula sebaliknya. Dengan demikian maka pengalaman manusia
menunjukkan bahwa akal saja tidaklah cukup untuk mencapai keselamatan dan
kebahagiaan.
Mesti ada tuntunan terhadap akal itu sendiri. Itulah Hidayat Agama. Untuk
itulah Rasul-rasul diutus dan Kitab-kitab wahyu diturunkan. Rasul-rasul dan
Kitab-kitab wahyu itu diutus dan dikirim Allah, Tuhan seru sekalian alam,
Maha Pencipta dan Maha Pemelihara.
Dengan perantara Rasul itulah Tuhan mengatakan bahwa dibelakang hidup yang
sekarang ini ada lagi Hari Akhirat. Untuk memperhitungkan perbuatan dalam
perjalanan hidup itu, bagaimana pemakaian panca indera dan bagaimana
pemakaian akal, adakah dia membawa maslahat bagi diri sendiri dan bagi
sesama manusia dan bagi hubungan dengan Allah.
Itulah yang kita mohonkan kepada Allah, agar kita ditunjuki jalan yang lurus
itu.
Menurut pelajaran ilmu ukur ruang, garis lurus ialah jarak yang paling dekat
di antara dua titik. Maka di dalam Shirathal Mustaqim yang kita mohonkan
ini, dua titik itu ialah : yang pertama titik kita sebagai hamba, yang kedua
titik Allah sebagai Tuhan kita.
Kita berjalan menuju Dia dan kita datang dari Dia. Mau atau tidak mau, namun
kita adalah dari Dia, menuju Dia, dan bersama Dia. Oleh karena banyaknya
rintangan, kerapkali kita lupa akan hal itu. Atau ada mengetahui, tetapi
tidak tahu jalan mana yang akan ditempuh. Kadang-kadang disangka sudah jalan
lurus itu yang ditempuh, padahal sudah terbelok kepada yang lain.
Kita memohon agar Dia sendiri menujuki kita jalan lurus itu, sehingga sampai
dengan cepat kepada yang dituju, jangan membuang waktu pada usia yang hanya
sedikit, merencah-rencah dan terperosok ke jalan lain.
Maka yang diminta
ialah agar seluruh keperibadian kita, yang mengandung akal, nafsu syahwat,
perasaan, kemauan, terkumpul menjadi satu dalam petunjuk hidayah Tuhan.
Inilah puncaknya permohonan, yang tadi pada ayat sebelumnya telah kita
nyatakan, bahwa hanya kepadaNya saja kita memohon pertolongan, kita tidak
hendak meminta benda. Kita tidak meminta rum ah bagus, kekayaan melimpah,
dan lain-lain hal yang remeh. Kita memohonkan pokoknya yaitu petunjuk. Dan
yang lain adalah terserah. Kalau petunjuk jalan lurus itu tidak diberi,
walaupun yang lain hal yang remeh diberikanNya, maka yang lain itu besar
kemungkinan akan mencelakakan kita. Kemudian permohonan jalan yang lurus itu
kita jelaskan lagi
صِرَاطَ الَّذِيْنَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
"Jalan orang-orang yang telah Engkau
karuniai nikmat atas mereka " (pangkal ayat 7)
Kita telah mendengar berita, bahwa terdahulu dari kita, Tuhan Allah telah
pernah mengaruniakan nikmatNya kepada orang-orang yang telah menempuh jalan
yang lurus itu, sebab itu maka kita mohon kepada Tuhan agar kepada kita
ditunjukkan pula jalan itu. Telah ada Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang diutus
Tuhan, dan telah ada pula orang-orang yang menjadi syahid dan telah ada
pula orang-orang yang shalih; semuanya dikaruniai kebahagiaan oleh Tuhan
karena
menempuh jalan itu. Bekasnya kita rasakan dari jaman ke jaman. Oleh sebab
itu maka kita memohonkan pulalah agar kepada kita diberikan pula petunjuk
supaya kita menempuh jalan itu dengan selamat.
Inilah yang kita rnohonkan dengan Isti'anah kepada Tuhan, dengan berpedoman
kepada al-Qur'a.n. Kita mohonkan, tunjuki kiranya kami mana yang benar,
karena yang benar hanya satu, tidak terbilang. Metode atas rencana yang
benar di dalam menegakkan akhlak, budi bahasa, pergaulan hidup, filsafat,
Iqtishad (perekonomian), ijtima' (kemasyarakatan) dan siasat (pohtik) dan
sebagainya. Sebab jalan di atas dunia ini terlalu banyak simpang siurnya
jangan sampai kita menjadi "Datuk segala Iya", atau sebagai pucuk aru yang
mudah dicondongkan angin ke mana dia berkisar. Minta ditunjuki jalan tengah
yang lurus yang tidak menghabiskan tenaga dengan percuma : "Arang habis besi
binasa". Kami memohon, pimpin kiranya karni ke jalan itu, jalan bahagia yang pernah
ditempuh oleh manusia-manusia yang Engkau cintai dan mencintai Engkau, yang
menegakkan jalan terang di dunia ini.
Sekali-kali bukanlah karni meminta "kulit" nikmat. Di luar kelihatan menang,
padahal di batin kami kalah. Di luar kelihatan mewah, padahal jiwa kering
dan gersang, karena tidak pernah disirami oleh air hujan hidayatMu. Kami
tidak memohonkan yang demikian. Yang kami mohonkan ya Tuhanku, ialah nikmat
yang kekal abadi, nikmat akan menjadi suluh kami di dalam hidup di dunia
ini, dan bekal yang akan kami menghadap Engkau di akhirat, diliputi oleh
ridha Engkau.
Apabila Allah telah menganugerahkan nikmat ridhaNya kepada seseorang hamba,
tercapailah olehnya puncak kebahagiaan jiwa di dalam hidup yang sekarang
ini. Permulaan dari ridha Allah itu ialah bilamana telah tumbuh dalam jiwa
keinsafan beragama, menjadi Islam yang berarti menyerah diri sukarela
kepada Tuhan, dan iman yang berarti kepercayaan yang penuh. Islam dan Iman
menimbulkan ihsan, yaitu bekerja terus memperbaiki dan mempertinggi mutu
jiwa. Maka timbullah Nur di dalam jiwa, cahaya yang memberi sinar kepada
kehidupan.
Dan cahaya itu jugalah yang akan menyuluhinya sampai ke akhirat.
Nikmat inilah yang kita mohonkan ; tercapai hendaknya oleh kita kehidupan
sebagai Nabi-nabi, Rasul-rasul dan syuhada dan shalihin itu. Karena kalau
nikmat itu telah datang, telah tercapailah oleh kita kekayaan yang sejati.
Dengan kekayaan itu kita tidak merasa takut menghadapi hidup dengan segala
tanggungjawabnya bahkan merekapun tidak gentar menghadapi maut, sebab maut
hanyalah perkisaran sejenak daripada hidup fana kepada hidup yang khulud.
Berapa banyaknya orang yang mati, rnenjadi korban karena menegakkan IMannya
kepada 'Iuhan, namun jejak kebenaran yang mereka tinggalkan dipusakai oleh
anak cucu.
"Bukan jalan mereka yang dimurkai atasnya. "
Siapakah yang dimurkai Tuhan ? Ialah orang yang telah diberi
kepadanya petunjuk, telah diutus kepadanya Rasul-rasul telah diturunkan
kepadanya kitab-kitab Wahyu, namun dia masih saja memperturutkan hawa
nafsunya. Telah ditegur berkali-kali, namun teguran itu, tidak juga
diperdulikannya. Dia merasa lebih pintar daripada Allah, Rasul-rasul
dicemoohkannya, petunjuk Tuhan diletakkannya ke samping, perdayaan syaitan
diperturutkannya.
Dalam hikayat lama ada disebutkan bahwa pada suatu hari seorang pejabat
besar kerajaan datang menghadap raja bersama-sama dengan pejabat besar-besar
yang lain, setelah masuk ke dalam majelis raja, maka baginda menunjukkan
wajah yang girang dan tersenyum simpul melihat tiap-tiap pejabat besar itu,
tetapi kepada seseorang baginda yang tidak melihat, entah karena lupa, entah
karena sibuk. Maka sangatlah duka cita hati pejabat besar yang seorang itu.
Apakah baginda murka kepadanya, ataukah baginda tidak senang lagi. Maka
setelah bubar majelis itu diapun kembali pulang kerumahnya dengan hati
sedih, lalu di minumnya racun setelah rnenulis sepucuk surat yang di
wasiatkannya supaya disampaikan ketangan baginda. Di situ dia tuliskan :
"Oleh karena Sri Paduka tidak berkenan lagi kepada patik, telah patik ambil
keputusan menghabisi hidup patik. Karena tidak ada harga hidup lagi kalau
Sri Paduka tidak senang lagi melihat patik."
Begitulah perasaan orang yang berkhidmat kepada raja apabila dia merasa
bahwa rajanya tidak senang lagi kepadanya. Maka betapalah perasaan kita
wahai insan yang ghafil, kalau Tuhan Allah yang murka kepada kita ? Kitapun
akan dihadirkan juga ke hadapan Tuhan bersama orang yang lain, tetapi kalau
Tuhan murka kepada kita, akan betapalah sikap kita. Dan Tuhanpun bersabda
memang ada orang yang tidak akan dilawan bercakap oleh Tuhan pada waktu itu
karena murkaNya, sebagaimana tersebut di dalam Surat 3 Ali-Imran ayat 77
tentang orang yang memperjual-belikan janji Allah dan mempermudah-mudah
sumpah, karena mengharapkan harga yang sedikit. Padahal walaupun mendapat
tukaran harga sebesar bumi dan langit, masih amat sedikit juga, karena ada
yang akan dibawa ke akhirat.
"Itulah orang yang tidak ada bagian untuk mereka di
akhirat dan tidaklah Allah akan bercakap dengan mereka dan tidak akan
memandang kepada mereka di hari kiamat dan tidak Dia akan membersihkan
mereka, dan bagi mereka azab yang pedih. " (Ali-Imran 77)
Dan seperti itu pula tertulis pada Surat al-Baqarah, ayat 179, Tidak diajak
bercakap oleh Tuhan, tidak dipandang oleh Tuhan, seakan-akan Tuhan dalam
bahasa umum "membuang muka" apabila berhadapan dengan dia. Begitulah nasib
orang yang dimurkai.
Orang yang dimurkai ialah yang sengaja keluar dari jalan yang benar karena
memperturutkan hawa nafsu, padahal dia sudah tahu. Orang yang telah sampai
kepadanya kebenaran agama, lalu ditolak dan ditentangnya. Dia lebih
berpegang kepada pusaka nenek moyang, walaupun dia telah tahu bahwa itu
tidak berat. Maka siksaan azablah yang akan dideritanya.
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ
"Dan bukan jalan mereka yang sesat". (ujung ayat 7).
Adapun orang yang sesat ialah orang yang berani-berani
saja membuat jalan sendiri diluar yang digariskan Tuhan. Tidak mengenal
kebenaran, atau tidak dikenalnya menurut maksud yang sebenarnya.
Sebagaimana telah kita kenal pada keterangan-keterangan di atas, tentang
kepercayaan akan adanya Tuhan, sampai orang-orang Arab mengkhususkan nama
Allah buat Tuhan Yang Maha Esa. Di sini telah kita maklumi bahwa kepercayaan
kepada Tuhan itu telah ada dalam lubuk jiwa manusia. Tetapi kepercayaan
tentang adanya Allah itu belumlah menjadi jaminan bahwa orang itu tidak akan
sesat lagi. Di Eropa pernah timbul suatu gerakan bernama Deisme ; dengan
dasar penyelidikan akal murni, mereka mengakui bahwa Tuhan itu memang ada.
Tetapi mereka tidak mau percaya akan adanya Rasul, atau Wahyu,atau hari
akhirat. Kata mereka dengan kepercayaan akan adanya Allah itu saja sudah
cukup, agama tidak perlu lagi.
Tentang ketuhanan, ahli filsafat terbagi kepada dua golongan . Yaitu
golongan Spiritualis dengan golongan Materialis. Golongan yang percaya
adanya yang ghaib, terutama Tuhan, yang hanya percaya kepada benda saja,
sudah nyata tersesat. Yang percaya ada Tuhan saja, tetapi tidak percaya akan
adanya syariat yang diturunkan Allah dengan mengutus Nabi-nabi dan
menurunkan wahyu, itupun tersesat, sebab penilaian mereka tentang adanya
Tuhanpun berbagai ragam, sehingga ada aliran Pantheisme, yang mengatakan
bahwa seluruh yang ada ini adalah Tuhan belaka, atau Polytheisme, yaitu yang
mengatakan Tuhan itu berbilang.
Orang-orang yang telah mengaku beragamapun bisa juga tersesat. Kadang-kadang
karena terlalu taat dalam beragama, lalu ibadat ditambah-tambah daripada
yang telah ditentukan dalam syariat, sehingga timbul bid'ah. Disangka masih
dalam agama, padahal sudah terpesong keluar.
Ada sebuah Hadits yang shahih, dirawikan oleh Abdulah
bin Humaid dari ar-Rabbi' bin Anas, dan riwayat Abdulah bin Humaid juga
daripada Mujahid, demikian juga daripada Said bin Jubair dan Hadits lain
yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan lain-lain daripada Abdullah bin Syaqiq,
daripada Abu Zar, dan dirawikan juga oleh Sufyan bin Uyaynah dalam
tafsirnya, daripada Ismail bin Abu Khalid, bahwa seketika orang bertanya
kepada Rasulullah tentang siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat.
Lalu Rasulullah menjawab :
" Yang
dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi dan yang dimaksud
dengan orang-orang yang sesat ialah Nasrani."
Hadits ini dengan berbagai jalan Asbabul Wurudnya dan
riwayatnya telah tercantum pada kitab-kitab tafsir yang masyhur. Tetapi dia
meminta penafsiran kita sekali lagi. Yang wajib kita tekankan perhatian kita
ialah kepada sebab-sebab maka Yahudi dikatakan kena murka dan sebab- sebab
Nasrani tersesat.
Perhatian kita jangan hanya ditujukan kepada Yahudi dan
Nasraninya saja, tetapi hendaklah kita tilik sebab mereka kena murka dan
sebab mereka tersesat. Yahudi dimurkai, sebab mereka selalu mengingkari
segala petunjuk yang dibawa oleh Rasul mereka, kisah pengingkaran Yahudi itu
tersebut di dalam kitab-kitab mereka sendiri sampai sekarang, sehingga Nabi
Musa pernah mengatakan bahwa mereka itu " keras tengkuk", tak mau tunduk,
sampai mereka membunuh Nabi-nabi. Sebab itu Allah murka.
Nasrani tersesat karena sangat cinta kepada Nabi Isa al-Masih, mereka
katakan Isa itu anak Allah, bahkan Allah sendiri menjelma menjadi anak,
datang ke dunia menebus dosa manusia.
Maka bagi kita umat Islam yang membaca al-Fatihah ini sekurangnya 17 kali
sehari semalam, hendaklah diingat jangan sampai kita menempuh jalan yang
akan dimurkai Allah pula, sebagai Yahudi. Apabila satu kali kita telah
memandang bahwa pelajaran yang lain lebih baik dan berguna daripada
pelajaran Nabi Muhammad s.a.w maka mulailah kita diancam oleh kemurkaan
Tuhan.
Di dalam Surat an Nisa (Surat 4, ayat 65), sampai dengan sumpah Tuhan
menyatakan bahwa tidaklah mereka beriman sebelum mereka bertahkim kepada
Nabi Muhamad s.a.w di dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, dan mereka
tidak merasa keberatan menerima keputusan yang beliau putuskan, dan
merekapun menyerah sebenar-benar menyerah, kalau ini tidak kami lakukan,
pastilah kita kena murka seperti Yahudi.
Dan kalau kita katakan pula misalnya bahwa Nabi Muhammad s.a.w. itu adalah
"al-Haqiqatul Muhammadiyah", atau "Nur Muhammad", yaitu Allah Ta'ala sendiri
yang menjelmakan diri (Ibraza Haqiqatihi), ke dalam alam ini sebagai anutan
setengah ahli tasauf, niscaya sesatlah kita sebagai Nasrani. Saiyid Rasyid
Ridha di dalam 'al-Manarnya menguraikan penafsiran gurunya Syaikh Mohammad
Abduh tentang orang yang tersesat , terbagi atas empat tingkat :
Pertama : Yang tidak sampai kepadanya dakwah, atau ada sampai tetapi hanya
didapat dengan pancaindera dan akal, tidak ada tuntunan agama. Meskipun di
dalam soal-soal keduniaan mungkin mereka tidak sesat, namun mereka pasti
sesat dalam mencari pelepasan jiwa dan kebahagiaannya di akhirat. Siapa yang
tidak menikmati agama tidaklah dia akan merasai nikmat dari kedua kehidupan
itu.
Akan berjumpalah bekas kekacauan dan kegoncangan dalam kepercayaan
sehari-hari, diikuti oleh macam-macam bahaya dan krisis yang tidak dapat di
atasi. Yang demikian adalah Sunnatullah dalam alam ini, yang tidak dapat
jalan lain untuk mengelakkannya. Adapun nasib mereka di akhirat kelak,
nyatalah bahwa kedudukan mereka tidak sama dengan orang yang beroleh hidayat
dan petunjuk. Mungkin juga diberi maaf oleh Tuhan, karena dia berbuat
sekehendakNya.
Kedua : Sampai kepada mereka dakwah, atas jalan yang dapat membangun pikiran
; merekapun telah mulai tertarik oleh dakwah itu, tetapi sebelum sampai
menjadi keimanannya, diapun mati.
Bagian ini terdapat pada orang-orang seorang dalam satu-satu bangsa, tidak
umum, sehingga tidak ada kesannya kepada masyarakat banyak. Adapun nasib
orang -orang seperti ini kelak, menurut pendapat Ulama-ulama Mazhab Asyari,
diharapkan juga moga-moga mereka mendapat Rahmat belas-kasihan Tuhan. Abul
Hasan Asy'ari sendiri berpendapat demikian.
Tetapi menurut pendapat Jumhur ( golongan terbesar) Ulama, tidaklah
diragukan bahwa persoalan mereka lebih ringan daripada persoalan orang yang
mengingkari sama sekali, yakni orang yang tidak percaya akan nikmat akal dan
yang lebih senang dalam kejahilan.
Ketiga : Dakwah sampai kepada mereka dan mereka akui,
tetapi tidak mereka pergunakan akal buat berpikir dan menyelidiki dari
pokoknya, tetapi mereka berpegang teguh juga kepada hawa nafsu atau
kebiasaan lama atau menambah-nambah. Inilah tukang-tukang bid'ah tentang
akidah, inilah orang, yang i'tikadnya telah jauh menyeleweng dari al-Qur'an
dan dari teladan yang ditinggalkan Salaf. Inilah yang membawa pecah ummat.
Keempat : Yang sesat dalam beramal, atau memutar-mutarkan hukum dari maksud
yang sebenarnya. Seumpama orang yang mengelak supaya jangan sampai dia
mengeluarkan zakat. Setelah dekat habis tahun dipindahkannya pemilikan harta
itu kepada orang lain, misalnya kepada anaknya dan setelah lepas masa
membayar zakat itu, dengan persetujuan berdua, anak itu menyerahkan pula
kembali kepadanya. Dengan demikian dia merasa bangga karena telah merasa
berhasil mempermainkan Tuhan Allah, disangkanya Tuhan Allah bodoh !
Kesesatan orang-orang ini timbul dari kepintaran otak tetapi batinnya kosong
daripada iman. Diruntuhkan agamanya , tetapi dia sendiri yang hancur.
Sekian kita ringkaskan dari keterangan tentang orang yang sesat, adh-dhoolin
menurut pembagian Ustadz Imam Muhammad Abduh.
Maka kalau sudah sampai kepada derajat yang keempat itu, meskipun umat tadi
masih kelihatan beragama pada kulitnya, masih terletak merk lslam pada
lainnya, dan masih diberi tanda "hijau" *
dalam peta negerinya, samalah artinya dengan agamanya tidak ada lagi. Akan
beruntunlah kecelakaan menimpa umat itu, kecuali apabila datang pembaharuan
(tajdid) dan pembangkitan semangat.
Kalau pembaharuan tidak datang , umat itu akan hancur dan hilang , mungkin
kelaknya berbondong keturunannya memeluk agama lain yang lebih kuat
mengadakan propaganda.
01 02 03
04 05
06 Back to Main Page
>>>> |