TAFSIR AL-AZHAR
MENAFSIRKAN AL-QUR'AN


Tafsir yang utama dan yang pertama dari al-Qur'an, tidak lain , ialah Sunnah.
Yaitu perkataan (aqwal) dan perbuatan (af 'al) Nabi dan perbuatan orang lain. Yaitu sahabat-sahabatnya, yang mereka kerjakan di hadapan beliau , lalu dibiarkannya saja tidak dicegahnya (taqrir). Itulah tafsir al-Qur'an yang pertama. Ini dijelaskan oleh Tuhan di dalam surat an-Nahl, Surat 16 ayat 44 (ujung ayat).

"Dan telah Kami turunkan kepada engkau peringatan,supaya engkau jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, supaya mereka semuanya berfikir. "(QS. an-Nahl: 44)

Zikir artinya peringatan atau ingatan atau ingat. Artinya segala perbuatan Rasulullah yang kita namai Sunnah itu adalah beliau kerjakan dengan sadar, supaya Sunnah beliau menjadi keterangan dan penjelasan daripada al-Qur'an itu. Sehingga Aisyah seketika ditanya orang bagaimanakah akhlak Rasulullah s.a.w. itu ?
Istri beliau menjawab : "Akhlaknya ialah al-Qur'an itu sendiri !".

Oleh sebab itu maka Sunnah Rasulullah adalah penjelasan dari al-Qur'an, sehingga tidaklah boleh seseorang menafsirkan al-Qur'an yang berlawanan dengan Sunnah. Bahkan wajiblah Sunnah menyoroti tiap-tiap tafsir yang hendak ditafsirkan oleh seorang penafsir. Kalau di dalam al-Qur'an terdapat yang mujmal (secara umum), Sunnahlah yang menjelaskannya (mufashal) secara terperinci. Al-Qur'an menyuruh berwudhu' dan sembahyang, maka Sunnah perbuatan Rasulullah dijadikan teladan bagaimana menjalankan wudhu' dan sembahyang itu.
Sunnahlah pensyarah, penafsir, penjelasan bagi al-Qur'an. Sedang al-Qur' an itu sendiri bila diteropong dari segi Sunnah itu terbagi pada tiga bagian :

Bagian pertama, yaitu dia mengandung hukum-hukum yang bersangkutan dengan halal clan haram, faraidh dan wajibat (suruhan dan perintah yang mesti) atau yang dianjurkan (mandubat), atau yang dilarang Dan dihukum siapa yang melanggarnya (mahzhurat). Di samping itu ialah beberapa peraturan, undang-undang dan hukum yang berkenaan dengan Daulah Islamiyah (kenegaraan Islam), atau lebih jelas lagi. Hal-hal ini dinyatakan dengan tegas tafsirnya oleh Sunnah Nabi, dan akal tidak banyak kesempatan buat menerawang lagi mencari penafsiran lain daripada yang telah ditentukan Nabi itu. Karena bagian pertama inilah saripati dari Risalat Muhamadiyah.

Nabi telah menjelaskannya dengan perkataan dan perbuatan dan pengakuannya. Kalau Nabi tidak menjelaskannya, maka belumlah dia sempurna menjalankan tugasnya sebagai Rasul. Maka mustahillah Nabi tidak menyampaikan dengan sempurna dan lengkap apa yang dia disuruh menyampaikan kepada kita. Lantaran itu maka segala hukum-hukum fikhiyah yang ada dalam al-Qur'an, baik berkenaan dengan ibadat, ataupun dengan mu'amalat ataupun untuk menyusun masyarakat kemanusian yang dimulai dengan dasar pertamanya dari keluarga (usrah), sampai meningkat kepada berkampung halaman, berkota bernegeri, sampai kepada bernegara dengan wilayah kekuasaannya, dan hubungan di antara yang memerintah dan di perintah, sampai kepada hubungan kaum muslimin dengan golongan lain dalam damai atau dalam perang; semuanya itu dijelaskan oleh Sunnah Nabi. Dan syukur Alhamdullilah Sunnah Rasul, sejak dari perkataan- perkataan beliau, sampai perbuatan orang lain yang tidak beliau tegur; dengan kerja keras para ahlinya telah terkumpul menjadi kitab-kitab hadits, mana yang mustafidh (sangat dikenal), mana yang shahih, mana yang hasan dan mana yang dha'if.

Kita jelaskan sekali lagi :
Kalau ada orang yang berani menafsir-nafsirkan saja al-Qur'an yang berkenaan dengan ayat-ayat hukum yang demikian , tidak berpedoman kepada Sunnah Rasul, maka tafsirnya itu telah melampaui, keluar dari garis yang ditentukan oleh syariat.

Sebab itu tidak sepatutnya, tidak masuk akal bahwa seorang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul berani-berani saja menafsirkan al-Qur'an yang berkenaan dengan halal dan haram menurut kehendaknya sendiri, padahal Sunnah Nabi telah ada berkenaan dengan itu. Nabi telah meninggalkan kepada kita jalan yang lurus dan jelas, malamnya sama terang dengan siangnya, dan selama-lamanya kita tidak akan tersesat dalam agama ini, atau terpesong keluar dari dalam garisnya, selama kita masih berpegang teguh kepada yang dua itu, yaitu kitab Dan sunnah. Maka barang siapa yang hendak mengenal Fiqhil-Qur'an, tidaklah akan berhasil maksudnya kalau dia tidak mempelajari Sunnah. Seorang yang berani menafsirkan al-Qur'an yang berkenaan dengan hukum pendapatnya sendiri, padahal Sunnah ada, samalah halnya dengan orang yang masih saja memakai Qiyas, padahal Nash sudah ada dalam hal yang dia tinjau itu. Orang yang bertindak demikian, tidaklah lagi berpikir di dalam garis yang ditentukan oleh Islam.

Pengecualian hal ini hanya satu. Yaitu apabila terdapat Nash a1-Qur'an itu jelas , terang , nyata , sehingga tidak perlu tafsiran lagi , lalu bertemu pula Hadits Aahad , yaitu hadits Rasulullah s. a.w yang diberitakan oleh perawi-perawi hadits dengan jalan yang bukan masyhur, sedang isi makna hadits itu berlawanan dengan Nash yang shahih (jelas) dan nyata dan al-Qur'an itu.

Di dalam hal yang seperti ini kita berhadapan dengan Nash al-Qur'an yang jelas nyata, masuk akal, tidak meragukan, bertentangan dengan hadits yang maknanya bertentangan dengan al-Qur'an dan ragu akan kebenaran hadits itu, sebab kebenaran tidak dua, hanya satu. Pada saat itu barulah hadits tadi ditinggalkan . Dengan kesadaran bukanlah Rasulullah yang diragukan kebenarannya, melainkan kekhilafan daripada perawi-perawi hadits itu.
Hal-hal yang seperti ini akan berjumpa dua tiga kali di dalam tafsir kita ini , Insya Allah .

Bagian kedua dari al-Qur'an ialah bersangkutan dengan "
Akidah " atau kepereayaan, dan dikenal juga dengan bahasa asing yang telah kita populerkan dalam bahasa Indonesia, yaitu doktrin. Untuk menegakkan akidah, al-Qur'an kerap kali mengemukakan perbandingan dan anjuran-anjuran supaya meninjau dan mencurahkan perhatian.
Lalu dia membukakan sedikit tabir rahasia kejadian alam, semua langit dan bumi , perjalanan matahari, bulan dan bintang­bintang, perkisaran angin dan awan , turunnya hujan dan suburnya bumi, dan lain-lain.

Segala perumpamaan al-Qur'an yang membawa rahasia alam itu, maksudnya ialah buat mendapat kesadaran iman kepada Allah di dalam jiwa kita. Dia adalah bahan-bahan atau fakta-fakta yang indah sekali untuk diilmukan. Maka di dalam penafsiran ayat-ayat keadaan alam ini adalah dua hat yang perlu:
Pertama pengetahuan kita tentang makna daripada tiap lafadz yang tertulis dalam ayat itu
Kedua ialah pengetahuan kita tentang ilmu alam yang berkenaan dengan ayat itu.

Terus terang kita katakan di sini, bahwa Rasulullah s.a.w atau Sunnah tidaklah banyak meninggalkan penjelasan tentang All. Pengetahuan tentang alam belumlah meluas pada masa itu, baik dalam masyarakat Arab sekeliling ataupun pada diri Rasulullah itu sendiri. Tidaklah kita salah kalau kita katakan bahwa Rasulullah tidak mengetahui ilmu falak dan ilmu hisab dan itu tidaklah satu kehinaan dan cacat bagi beliau, malahan itulah kemegahan beliau. Bacalah Surat Yunus, (surat 10 ayat 5). Di sana diterangkan bahwa Allah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, clan ditentukan jangka ukuran jalannya masing- masing. Dalam ayat itu jelas diterangkan bahwa yang demikian itu ialah supaya kamu mengetahui bilangan tahun ke tahun dan ilmu hitung, tetapi Nabi sendiri tidak pandai ilmu hisab .

Dalam surat al -Isra', Surat 17 ayat 11, pun bertemu makna yang sama. Di sana dikatakan bahwa Allah menjadikan malam dan siang se­bagai dua tanda dari kebesaran Tuhan , pertandaan malam dihapuskan dan pertandaan siangpun datang dengan terang benderang supaya kamu dapat berusaha mencari karunia Allah, dan supaya kamupun tahu bilangan tahun dan hisab. Dan ayat yang serupa maksudnya dari mulut Nabi supaya umatnya mengetahui hat itu dan menambah ilmunya, padahal dalam suatu hadits yang shahih riwayat Bukhari dan Muslim beliau bersabda bahwa beliau dan umat sekelilingnya di waktu itu adalah umat yang ummi, tak tahu tulis dan tak tahu baca; Bilangan bulan yang nyata ialah 29 dan 30. Cuma itu beliau yang tahu .

Maka dalam soal-soal yang berkenaan dengan hal ikhwal dalam alam ini, seorang penafsir hendaklah menuruti perkembangan ilmu pengetahuan. Kalau kita tilik tafsir-tafsir yang dikarang di jaman lampau, dapatlah kita lihat betapa corak ilmu orang jaman itu, yang masih sangat ketinggalan oleh kemajuan ilmu pengetahuan alam di jaman modern ini. Tiap dilihat ayat-ayat itu dengan kaca ilmu pengetahuan yang ada di jamannya, kian tampak perubahan tafsirnya. Adapun ulama jaman kita ini yang banyak menafsirkan panjang lebar tentang ilmu pengetahuan keadaan alam itu ialah Syaikh Thanthawi Jauhari.

Asal saja kita ingat tujuan ayat-ayat itu, yaitu memperkuat tauhid Uluhiyah dan Rububiyah, tidaklah ada salahnya jika kita tafsirkan ayat-ayat itu menurut pengetahuan kita. Dan jika di dalam tafsir kita ini terdapat beberapa keterangan yang tidak memuaskan terhadap ayat­ayat demikian, sekali-kali bukanlah ayat itu sendiri dan makna yang terkandung di dalamnya yang salah, melainkan tentu saja penafsirlah yang kurang pengetahuan. Dan itupun dapat dimaklumi karena pengetahuan penulis "Tafsir" ini tentang ilmu mengenai alam itu sangat kurang .

Bagian ketiga dari al-Qur'an ialah yang bersangkut dengan kisah­kisah clan cerita-cerita jaman lampau. Maksud dan tujuan cerita itu ialah untuk pengajaran dan i'tibar. Di dalamnya banyak disebutkan perjuangan Nabi-nabi dan Rasul-rasul Allah menegakkan paham Tauhid dan soal- jawab di antara mereka dengan umat yang mereka datangi. Banyak kita bertemu nama Nabi-nabi, sejak dari Nuh, Idris, Ibrahim, Musa, Ismail, dan lain-lain, dan yang terbanyak sekali disebutkan ialah kisah Musa, baik saat beliau menentang Fir'aun, ataupun setelah memimpin Bani Israil selepas meyeberangi laut Qulzum menuju Palestina .

Maksud segala kisah itu, termasuk kisah panjang seluruh surat, seperti kisah Nabi Yusuf, bukanlah kisah Nabi itu sendiri, melainkan isi pengajaran dan perbandingan (i'tibar) yang ada di dalamnya. Cara penafsirannya ialah bahwa satu bagian dapat melengkapkan bagian yang lain. Misalnya kisah perjuangan Musa; Kita dapat mengetahui keadaan Musa sejak dia baru lahir di dunia sampai seluruh tingkat-tingkat perjuangan dengan menafsirkan satu bagian ke bagian yang lain. Dan setelah kita selidiki di dalam hadits-hadits Nabi yang sahih, penafsiran tentang kisah ini adalah sedikit sekali. Yang ada agak banyak ialah dari riwayat sahabat Rasulullah s.a.w yang terkemuka sekali, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Mas'ud. Tetapi kadang­kadang beliaupun mengaku bahwa tafsir itu juga yang beliau terima dari riwayat ahlul-kitab. Kemudian itu banyak lagi tabi' in, yaitu murid­ murid dari sahabat-sahabat Rasulullah mengeluarkan riwayat-riwayat sebagai tambahan dari apa yang tertulis dalam al-Qur'an .

Kita kemukan di sini satu misal, yaitu kisah pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Sebagaimana kita ketahui, Nabi Musa berjalan diiringi oleh bujangnya atau pembantu (menurut riwayat setengah ahli tafsir, ialah nabi Yusya'). Dalam al-Qur'an disebutkan bahwa ikan dijinjing bujang itu melompat ke laut dan membuat jalannya sendiri dengan ajaib dalam laut. Maka menurut tafsir dari Said bin Jubair, ikan itu ialah seekor ikan yang telah dikeringkan dan dibelah dan telah diasin, dan sebagian dari kepala telah dimakan oleh Yusya artinya ia akan mati melompat ke laut , Ini adalah tafsir, yang kata Said bin Jubair, diterimanya daripada riwayat Ibnu Abbas , tetapi dari hadits Nabi yang sahih tidak ada dan dalam ayat itu sendiri tidak ada tersebut ikan itu telah mati , dikeringkan dan diasin , sehingga kalau kita tidak membaca tafsir, bahkan langsung saja membaca ayat kita bisa memahamkan bahwa ikan itu adalah hidup, lalu melompat ke laut setelah melihat air, sebagai ikan semelang atau ikan panjang atau ikan belut dan beberapa macam ikan lagi yang bisa tahan berjam jam di luar air, dan langsung melompat ke air kalau ada kesempatan.

Bagian ketiga inilah yang agak rumit di dalam penafsiran al­Qur'an. Di bagian inilah kita kerap kali bertemu dongeng-dongeng yang tidak masuk akal kalau dimasukkan kepada agama Islam yang menghormati kemurnian akal. Sebagai satu tafsir tentang bintang " Seroja" (Bintang Timur) yang menurut satu tafsir, katanya, bintang itu ialah penjelmaan dari seorang perempuan cantik yang pernah diganggu oleh malaikat Harut dan Marut.
Di dalam inilah campur aduk di antara yang masuk akal dengan yang karut, di antara dongeng-dongeng dengan kenyataan, sehingga berkali-kali kebenaran ayat al-Qur'an diliputi oleh lumut khurafat yang tak masuk akal.

Inilah yang dinamakan Israiliyat, yaitu cerita-cerita yang kerap kali dibawa oleh orang yahudi yang masuk Islam.Yang sangat terkenal ialah Ka'bul Ahbar dan Wahab bin Munabbih, keduanya orang Yahudi yang masuk Islam banyak membawa dongeng Israiliyat itu, didengar oleh sahabat, lalu mereka satin. Apatah lagi oleh tabi'in. Kadang-kadang mereka satin dengan tidak memakai komentar, hanya semata-mata untuk bahan saja bagi kita yang datang di belakang.

Maka terhadap bagian ini penafsir hendaklah hati-hati. Tidaklah mengapa kalau suatu riwayat yang bukan sahih dari Nabi ditinggalkan saja, dan tidaklah mengapa kalau dibatalkan riwayat-riwayat yang tidak masuk akal, dan tidak diperdulikan kalau tidak sesuai sama sekali dengan maksud al-Qur'an. Gunanya ialah untuk memberantas pengaruh tafsir-tafsir yang telah beredar dalam masyarakat kita, yang dijadikan alat untuk mengasyikkan orang mendengar tabligh oleh setengah guru-guru yang tidak bertanggung jawab. Dan penafsir bersedia dituduh keluar dari "Ahlus Sunnah wal Jamaah" kalau sekiranya membatalkan riwayat-riwayat yang tidak masuk akal itu dipandang salah oleh golongan-golongan yang hanya menjadibudak dari tafsir-tafsir yang semacam itu.

Barangkali timbul pertanyaan rnengapa sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w atau Tabi'in menyalin juga riwayat yang demikian, dengan tidak ada pertimbangan mereka sendiri atas benar dan tidaknya ? Ialah karena Rasullullah s.a.w pernah berpesan, bahwa kalau mereka mendengar kisah dari ahlul-kitab itu, dengarkan sajalah, jangan diakui kebenarannya dan jangan pula segera didustakan.

Maka jauhlah lebih aman jika ayat-ayat yang mengenai kisah­kisah itu kita turuti bagaimana adanya di dalam al-Qur'an itu saja, dengan sedikit analisa menurut tanggapan sendiri, dengan catatan bahwa analisa itupun barangkali benar atau salah. Sebab yang dimaksudkan dengan segala kisah di dalam al-Qur'an itu bukanlah perincian kisah melainkan tersebut di dalam al-Qur'an sendiri, sebagai tersebut di dalam surat Yusuf, pada ayatnya penghabisan sekali (ayat 111).

"Sesungguhnya dalam kisah orang-orang itu, adalah untuk pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai inti-fikiran; bukanlah dia dongeng yang dibuat-buat, melainkan membenarkan apa yang telah terdahulu daripadanya dan penjelasan bagi segala sesuatu,petunjuk dan rahmat untuk kaum yang berimun. " (QS. Yusuf : 111)

Begitu jelas dimaksudkan Tuhan menerangkan kisah-kisah sebagai wahyu, bukan untuk dongeng yang dibuat-buat, artinya bukan cerita roman atau mitos laksana cerita Ramayana dan Mahabrata. Tetapi apabila penafsir melihat beberapa tafsir, di antaranya Tafsir al-Khaazin bertemulah banyak tambahan yang telah membelokkan tujuan kisah al-Qur'an daripada untukpengajaran dan petunjuk, menjadi dongeug­dongeng yang disadari atau tidak, telah mengotori al-Qur'an , Itulah martabat pertama dari Tafsir .

Adapun martabat yang kedua ialah perkataan sahabat-sahabat Rasulullah.
Tentu saja sesudah mencari penafsiran daripada Sunnah, kita mencarinya pada pendapat dan perkataan sahabat-sahabat Rasulullah; sebab sudah nyata bahwa mereka hadir di hadapan Rasulullah seketika ayat diturunkan. Dan lagi mereka mengetahui sebab-sebab turunnya ayat (Asbabun Nuzul). Sebab-sebab turun ayat itu tidak dapat tidak, merupakan petunjuk yang jelas dan nyata untuk ditempuh. Kemudian itu, sehabis mengetahui turunnya ayat, tentu disadari pula bahwa ayat ini akan berlaku terus-menerus di dalam hal yang sama `illatnya. Disinilah timbul suatu ungkapan ahli-ahli fikih dan Ushul-Fikih :

" Yang jadi perhatian inilah arti yang umum yang dimaksud oleh lafadz bukan terkhusus kepada sebab mengapa dia diturunkan " .

Kata-kata sahabat-sahabat yang khas di dalam menafsirkan al-Qur'an itu mengungkapkan makna dan maksudnya, hampir sama kedudukannya dengan Sunnah Nabi sendiri bila bersangkutan dengan hukum-hukum syara' sebab kita percaya bahwa pada pokoknya tentu sahabat itu menerimanya daripada Rasulullah s.a.w Tetapi kalau ada dalil bahwa itu hanyalah pendapat sahabat itu sendiri, maka tidaklah sama derajat pendapat beliau-beliau itu dengan sunnah Rasul s.a.w. Malahan kadang-kadang terdapat perlainan pendapat (ra'yi) di antara mereka, seumpama perselisihan pendapat mereka tentang nenek laki­laki, apakah dia mendapat waris dari cucunya yang telah mati atau tidak. Abu Bakar mengatakan nenek mendapat, apabila ayah tidak ada lagi.

Sedangkan Ali bin Abu Thalib berpendapat bahwa nenek laki-laki itu berkedudukan sebagai Kalaalah dari saudara kandung atau saudara sebapak, dengan memperhatikan makna kebapakan padanya. Sebab itu AIi dan yang sepaham dengan dia menempatkan nenek sebagai saudara laki-laki, jika ada saudara kandung atau sebapak. Dan tidak terhalang seseorangpun berhak mengambil bagian faraidhnya. Dia mengambil sisa yang tinggal seorang diri atau bersama-sama beserta `ashabah-'ashabah yang lain dengan syarat bagian nenek laki­laki itu tidak kurang dalam kedua hal itu dari seperenam. Baikpun dia sendiri mengambil yang sisa atau bersama-sama dengan saudara si mati terdapat yang sisa. Lain pula pendapat Zaid bin Tsabit. Beliau memandang nenek laki-laki sebagai kalaalah dari saudara sekandung atau sebapak dengan syarat tidak kurang si nenek itu mendapat dari sepertiga.

Semuanya ini adalah ra'yi atau ijtihad dari sahabat-sahabat itu sendiri, malahan itulah sebabnya maka pendapat mereka berbeda, sebab tidak ada Nash keterangan terperinci dari Nabi sendiri tentang soal itu. Ulama-ulamapun tidak ragu-ragu membahas tentang penafsiran yang timbul daripada pendapat (ra'yi) sahabat-sahabat Rasulullah itu. Mereka tidak ragu buat mengatakan bahwa pendapat sahabat bukan wahyu sebab itu tidak akan sunyi daripada salah dan benar. Ah1i-ahli fikih berpendapat bahwa kalau pendapat sahabat Rasulullah itu hanya satu macam, dan tidak ada bantahan daripada sahabat yang lain, artinya adalah ijma' sahabat adalah hujjah, artinya boleh dipegang. Cuma kaum Syi'ah saja yang mengecualikan diri dari pendapat itu. Bagi mereka ijma' sahabat tidak hujjah.

Kalau terdapat pertikaian pendapat di antara sahabat-sahabat Rasulullah. Maka ulama-ulamapun memperbincangkan pula. Imam Abu Hanifah, Imam Syafi' i dan Imam Ahmad berpendapat, hendaklah dipilih manakah kata-kata mereka yang lebih dekat kepada hukum­hukum fikih yang jelas dari pelaksanaan nabi s.a.w clan yang ada Nashnya di dalam al-Qur'an. Kalau pilihan sudah jatuh kepada pendapat yang lebih dekat menurut pertirnbangan si penimbang kepada al-Qur'an dan sunnah Rasul tadi, hendaklah yang lain ditinggalkan clan pilih yang lebih dekat itu. Imam Hanafi tegas mengatakan bahwa dia tidak mau pindah-pindah saja daripada satu pendapat sahabat kepada pendapat sahabat-sahabat yang lain. Imam Syafi'ipun menuliskan demikian di dalam karangannya ar-Risalah. Imam Malik pun bersikap demikian. Imam Ahmad bin Hambal biasa menguraikan pendapat-pendapat sahabat yang berlain-lain itu di dalam menjelaskan pendapatnya sendiri .

Semuanya itu ialah berkenaan dengan tafsir sahabat-sahabat Rasulullah yang mengenai hukum halal dan haram. Perlainan­perlainan pendapat itu banyak terdapat di dalam kitab fikih. Terutama seketika membicarakan ayat-ayat yang mengenai peperangan atau perdamaian, perjanjian atau jaminan keamanan. Apatah lagi sesudah Rasulullah s.a.w wafat, sahabat-sahabat Rasulullah itu meneruskan jihad, menaklukkan negeri, menundukkan musuh membuat perjanjian­perja.njian damai, pemungutan Jizyah dan sebagainya.

Dalam pelaksanaan hal-hal yang sedemikian banyak terdapat pertikaian cara yang di jaman kita dinamai kebijaksanan atau beleid di antara satu sahabat dengan sahabat yang lain. Tetapi bahan-bahan yang mengenai urusan seperti ini lebih banyak kebijaksanaan atau beleid di antara satu yang di jaman kita dinamai khilafiyah. A1-Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibanilah yang mula-mula mengarang sebuah kitab yang khusus mengenai itu, dengan dokumentasi lengkap yang beliau kumpulkan dari cara pelaksanaan sahabat itu yang berdasar kepada keadilan, perikemanusian, kasih-sayang, rahmat dan kharamah (menghormati hak-hak manusia). Maka di dalam kitab beliau ini banyak bertemu tafsir pendapat dan pelaksanaan sahabat-sahabat rasulullah s.a.w mengenai urusan yang demikian.

Mengenai ayat-ayat yang menyebut rahasia alam, kejadian langit dan bumi, bintang, bulan clan matahari, hujan, lautan dan daratan, ombak dan tumbuh-tumbuhan dan sebagainya itu, yang di atas sudah kita katakan bahwa maksudnya ialah untuk memperkuat akidah kepada Tuhan; demikian pula ayat-ayat yang mengandung kisah-kisah. Maka terhadap kedua persoalan ini, tidaklah banyak keterangan dari sahabat-sahabat Rasulullah. Memang terdapat beberapa riwayat tentang itu dari kata-kata sahabat-sahabat, tetapi yang shahih, yang bisa dipertanggungjawabkan sanad (sandaran) adalah teramat sedikit. Itu dapat kita pahami.

Sebab sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w itu lebih banyak perhatiannya kepada menjaga halal dan haram, dan lebih banyak kepada menyusun masyarakat yang baru tumbuh, berperang dan berdamai, menaklukan dan menerima Jizyah. Adapun tentang rahasia alam, kejadian langit dan bumi, atau tentang kisah­kisah Nabi-nabi yang terdahulu itu, mereka percaya penuh saja kepada apa yang dikatakan Al-Qur'an. Tidak usah terlalu dipermasalahkan lagi.

Tetapi setelah jaman Khulafaur Rasyidin (khalifah yang berempat) artinya setelah Nabi wafat, dan setelah banyak orang Yahudi dan orang Nasrani masuk Islam, pada masa itu timbullah satu golongan yang dinamai "Tukang Cerita" (Qashshaash). Tukang-tukang cerita itu duduk membuat halaqah di dalam masjid-masjid, lalu bercerita macam-macam cerita, termasuk kisah yang ada dalam al-Qur'an itu, maksudnya adalah untuk memberikan pengajaran-pengajaran, sebagai tabligh-tabligh di jaman kita sekarang ini. Supaya cerita itu lebih enak didengar, lebih menarik hati, banyaklah ditambahi bumbu-bumbu yang tidak ash, terutama dari cerita-cerita Israiliyat tersebut. Pada waktu itu sahabat-sahabat Rasulullah yang masih hidup menunjukkan kurang suka kepada cara yang demikian. Setelah Saiyidina Ali menjadi khalifah yang keempat, satu kali beliau masuk ke dalam masjid dan dia turut mendengar tukang-tukang cerita itu.

Dengan tegas mulai waktu itu beliau larang, dan beliau beri peringatan bahwa barang siapa yang hendak memakai juga memberi tabligh cara berkisah itu, hendaklah menurut yang tersebut dalam al-Qur' an saja, jangan dilebih­lebihi. Yang beliau suruh meneruskan mengajar atau bertabligh di dalam masjid itu hanya seorang saja, yaitu Imam Hasan al-Bishri yang terkenal, sebab kalau beliau berkisah, tidaklah melebih-lebihi, sehingga maksud kisah sebagai dakwah tidak bertukar menjadi semacam dongeng-dongeng. Bahkan Saiyidina Ali turut pula mendengarkannya sebentar tanda sukanya, lalu keluar.

Kemudian datanglah jaman tabi'in. Kalau mengenai hukum-hukum halal dan haram, sebagian besar mereka tetaplah menuruti saja garis guru mereka, yaitu sahabat-sahabat Rasulullah. Tetapi dalam ayat-ayat yang mengenai ilmu alam tadi, clan mengenai kisah-kisah umat Yahudi dan Nasrani, atau sengaja diambil oleh penafsir sendiri, cerita-cerita yang tidak masuk akal atau dongeng-dongeng. Waktu itulah masuk menyelundup misalnya hikayat bahwa bumi kita ini terletak di atas tanduk lembu, clan kalau lembu bergerak terjadilah gempa bumi.
Bertambah jauh dari jaman Rasul dan Salaf, dan bertambah jauh dunia Islam dari ilmu pengetahuan, bertambah banyaklah dongeng­dongeng semacam ini. Israiliyat itu dapat kita bagi tiga :

Pertama yang sesuai dengan kebenaran, yang ada persetujuannya dengan al-Qur'an, sebab ada riwayatnya yang shahih dari Nabi s.a.w . Yang semacam itu tentu tidak ditolak. Meskipun kita sadar bahwa bukanlah al-Qur'an yang dikuatkan oleh cerita itu melainkan cerita itulah yang menjadi ada nilainya sebab ada kesaksiannya dari al­Qur'an.

Kedua ialah cerita-cerita yang terang dustanya, yang berlawanan dengan riwayat yang shahih dan yang ma'tsur dari Nabi s.a.w atau berlawan dengan maksud ayat, atau tidak sesuai dengan dasar agama Islam, seumpamanya cerita Gharaniq yang terkenal, yang terdapat riwayat bahwa Nabi Muhammad s.a.w telah berdamai dengan kaum Quraisy, sebab beliau telah sudi mengakui berhala Gharaniq.

Ketiga ialah yang tidak membawa persoalan baru, tidak bertentangan dengan al-Qur'an, dan tidak pula membenarkannya, dan kedatangan riwayat itu tidak membawa faedah bagi agama clan kalau ditinggalkan tidak pula merugikan. Yang semacam ini menurut Ibnu Taimiyah tidaklah kita benarkan clan tidak pula kita dustakan. Lain daripada itu riwayat-riwayat semacam ini kadang-kadang ahlul-kitab sendiripun berselisih di dalam membawakan riwayatnya. Misalnya perselisihan cerita ahlul-kitab tentang beberapa orangkah banyaknya pemuda-pemuda yang tidur di d a± i am gua ; ash-habul kahfi); setengah mengatakan hanya bertiga, empat dengan anjingnya. Setengah mengatakan berlima, enam dengan anjingnya (al-Kahfi ayat 22 ).

Sampai juga pertikaian mereka tentang warna anjing itu dan banyak juga Israiliyat tentang tongkat itu bercabang dua. Bahkan ada pula riwayat bahwa tongkat itu ada beberapa tulisan beberapa rajah "isim" dan beberapa huruf, yang disuntingkan pula oleh al-Buni di dalam kitab "Perdukunan"nya yang terkenal bernama Syamsul Ma'arif al­Kubra.

Tafsir kita ini ditulis di jaman modern, di jaman ahli-ahli agama yang berpengetahuan luas telah bertemu dengan ahli-ahli pengetahuan yang mendapat pendidikan modern. Maka kalau tafsir ini dicampur aduk dengan Israiliyat, niscaya tidaklah ada akan harganya buat menjadi dakwah kepada orang yang hendak langsung mengetahui isi al-Qur'an. Israiliyat itu adalah sebagai dinding yang menghambat orang dari kebenaran Al-Qur'an. Kalau di dalam tafsir ini ada kita bawakan riwayat-riwayat Israiliyat itu, tidak lain adalah buat peringatan saja.

Demikianlah kita uraikan tentang tiga sumber dari penafsiran, mengenai empat bidang dari isi Al-Qur'an yang akan ditafsirkan itu. Penafsiran pertama hendaklah diambil dari sumber Sunnah Ra sulullah s.a.w.. Kedua dari penafsiran sahabat-sahabat Rasulullah dan ketiga dari penafsiran tabi'in.

Bolehkah kita menambah pula ?
Tadi sudah dikatakan panjang lebar, bahwa mengenai halal haram, cara ibadat, nikah, talak, rujuk, pendeknya yang berkenaan dengan hukum, kita tidak boleh menambah tafsir lain. Sebab tafsiran yang lain bisa membawa bid'ah dalam agama. Tetapi dalam hal yang lain­lain terdapat pula perlainan pendapat Ulama. Imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa menafsirkan al-Qur'an dengan ra'yi (pendapat sendiri) dengan tidak berdasarkan dari sumber yang telah ditentukan itu adalah haram.

Di dalam kitab Tuhfatun-Nazhzlzar pengembara Islam yang terkenal di abad keempat belas, yaitu Ibnu Bathuthah mengatakan bahwa dia mendengar berita yang dapat dipercaya, bahwa Imam Ibnu Taimiyah itu selama dalam penjara telah menulis tafsir al-Qur'an, tebalnya 45 jilid. Rupanya naskah itu telah hilang atau belum bertemu sampai sekarang, sehingga tafsir Ibnu Taimiyah yang bertemu sekarang hanya tafsir surat an-Nur dan beberapa naskah lain yang jauh daripada lengkap untuk dikatakan 45 jilid. Maka di dalam tafsir Ibnu Taimiyah yang ada kita melihat bagaimana cara beliau menafsirkan, sehingga tersunyi daripada apa yang beliau beri nama ra'yi.

Mula-mula sekali beliau menafsirkan al-Qur'an ialah dengan al­Qur'an sendiri. Kalau kita ragu memahamkan suatu ayat, hendaknya sambungkan pahamnya dengan ayat yang lain. Sebab hal yang kurang nyata di satu ayat, akan ada kejelasannya di ayat yang lain. Misalnya di Surat Thaha kita baca bahwa Nabi Musa merasa takut melihat tali­tali clan tongkat tukang sihir telah menyerupai ular yang hendak menggigit (lihat surat Thaha ayat 67). Kalau ayat itu saja yang kita baca tentu kesan yang pertama timbul dalam hati kita ialah bahwa Nabi Musa penakut. Maka untuk menghilangkan keraguan karena hanya membaca satu ayat dalam surat Thaha, hendaklah kita baca ayat 116 surat al-A'raf. Di sana dikatakan bahwa orang banyak yang menonton , telah ditakut-takuti oleh tipuan ahli-ahli sihir itu, yang hebat tipuan sulapnya, sehingga tongkat-tongkat dan tali-tali menyerupai ular. Dengan membaca ayat 116 surat al-A'raf ini mengertilah kita bahwa bukanlah Musa takut kepada tongkat-tongkat dan tali-tali tukang sihir yang telah disulap itu, melainkan takut orang banyak yang bodoh-bodoh, terutama Bani Israil yang beliau pimpin akan tergoncang imannya kalau tidak lekas-lekas Tuhan Allah menunjukkan kuat kuasaNya dengan mukjizat.

Adalagi beberapa contoh yang lain, menunjukan bahwa satu ayat hendaklah ditafsirkan dengan ayat yang lain. Di sinilah terasa betapa pentingnya selalu membaca al-Qur'an, sedapat-dapatnya hapal al Qur'an sehingga tahu memasangkan di antara satu ayat dengan ayat yang lain, ayat yang kurang jelas, akan dijelaskan oleh ayat yang lain. Ayat mujmal (secara umum) dirnufashalkan (diperincikan) oleh ayat yang lain pula.
Kalau tidak dapat lagi ayat ditafsirkan dengan ayat, barulah beliau pindah kepada Sunnah Nabi. Sebab Nabi sendiripun pernah mengatakan :

"Ketahuilah olehmu , sesungguhnya aku telah diberi ilmu al-kitab , dan seumpamanya itu pula sertanya ! "

Artinya bahwa Nabi Muhammad s.a.w telah diberi Tuhan ilmu­ilmu yang berkenaan dengan al-kitab, yaitu al-Qur'an dan bersama dengan ilmu al-Qur'an itu diturunkan Tuhan pula tafsirnya dengan Sunnah beliau. Kalau sabda Nabi tidak pula bertemu yang rnengenai itu, beliau tiliklah kata sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w . Sebab riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat itu diterimanya dan disaksikannya dari Nabi. Ibnu Mas'ud pernah mengatakan : "Demi Allah ! Tidak ada Tuhan melainkan Dia. Tidaklah dituracnkczn suatu ayatpun daripada kitab Allah, melainkan sayalah yang tahu kepada siapa dia diturunkan dan dimana dia diturunkan. Dan kalau aku nzengetahui ada seseorarag yang lebih tahu dari padaku tentang kitab Allah, betapa pun jauh tempat kediamannya, asal masih dapat dtcapai dengan kendaraan, niscaya kudatangi dia."

Dan Nabi s.a.w pun pernah mendoakan agar Abdullah bin Abbas diberi petunjuk oleh Tuhan : "Ya Allah, berilah kiranya dia paham yang dalam tentang agama dan berilah dia pengetahuan tentang ta'wil. "
Arti ta'wil hampir sama dengan tafsir.
Kalau beliau - Ibnu Taimiyah - tidak mendapat lagi bahan tafsir dari kata-kata sahabat Rasulullah, beliaupun pindah kepada pendapat Tabi'in. Tetapi di sini beliau lakukan seleksi lebih ketat. Yaitu beliau ambil mana yang ijma' di antara mereka. Kalau ada satu pendapat yang mereka perselisihkan, beliau pilihlah pendapat yang lebih dekat kepada bahasa al-Qur'an (lughah) dan pengetahuan tentang Sunnah (Ilmu Sunnah).


Dengan pendirian dan cara demikian belia.u mempunyai keyakinan bahwa tidak ada satu ayatpun daripada ayat yang 6.236 All yang tidak dapat ditafsirkan. Beliau dan orang-orang yang sepaham dengan dia tetap berpendirian bahwa penafsiran al-Qur' an tidak boleh dicampuri dengan pendapat sendiri. Tetapi ada lagi pendapat yang kedua, yang dipelopori oleh al-Imam Jarullah az-Zamakhsyari dan didukung oleh beberapa ahli tafsir yang lain, bahwa menafsirkan al-Qur'an dengan pendapat sendiri yang benar tidak ada salahnya. Malahan yang demikian tidak bisa dielakkan. Sebab bila orang merenung-renting tiap-tiap ayat, menurut peredaran waktu dan tempat, orang selalu akan berjumpa makna baru, orang selalu akan mendapat ilham, yang di dalam tafsir-tafsir yang terdahulu tidak ditemui.

Dasar pendirian ini pernah diuraikan pula oleh Imam Ghazali dalam Ihyaa' Ulumiddin demikian :
Di dalam al-Qur'an terdapat segala ilmu agama. Yang setengah diterangkan secara langsung dan setengahnya lagi cukup dengan isyarat saja. Setengah dengan ijmal dan setengah lagi dengan tafshil. Semuanya itu hanya akan didapat dengan pemikiran yang mendalam clan kesungguhan meneliti. Tidak cukup dengan hanya menilik zahir ayat, bahkan tidak pula cukup dengan hanya menggantungan harapan kepada pendapat Salaf. Bahkan dia meminta renungan yang mendalam dan kesanggupan mengeluarkan butir-butir makna yang tersimpan di dalamnya, laksana mutiara yang tersimpan di dalam kulit giwang di dasar laut, yang tidak bertentangan dengan pokok dasar.

Abdullah bin Mas'ud pernah berkata : "Barang siapa ingin mengetahui ilmu orang purbakala dan ilmu orang yang datang kemudian, hendaklah merenungkan al-Qur'an." Keinginan itu tidak akan tercapai kalau tidak ada perenungan sendiri.

Dan lagi di dalam al-Qur'an itulah yang selengkap-lengkapnya diterangkan sifat-sifat dan nama-nama Allah (al-Asmaul Husna) dan diterangkan juga perbuatanNya dan zatNya yang suci. Di dalam kehidupan tauhid, akal manusia tidak cukup hanya membaca yang tertulis. Dia menghendaki pemahaman yang mendalam. Nabi s.a.w. pernah bersabda :

"Barang siapa yang memahamkan al-Qur'an, dia dapat menafsirkan sejumlah besar ilmu."

Selain dari itu, di dalam Surat al-Baqarah ayat 269 Tuhan memfirmankan bahwa Dia akan mengaruniakan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan orang yang telah diberi karunia hikmah itu samalah artinya dengan mendapat anugerah yang sangat banyak sekali. Hikmah diartikan orang juga kebijaksanaan, diartikan orang juga filsafat, diartikan orang juga mengetahui yang tersembunyi. Bangsa Indonesia pernah membuat satu ungkapan kata, bahwa "Hikmah" itu artinya " mengetahui yang tersirat di balik yang tersurat."

Bagaimana akan dapat dikeluarkan hikmah itu kalau kita tidak dibolehkan menafsirkan al-Qur'an di luar garis yang ditunjukkan oleh pendapat yang dipelopori Tbnu Taimiyah itu ?
Ibnu Abbas pernah dido'akan oleh Rasulullah s.a.w supaya dia dapat memahami agama lebih maendalarn dan mengetahui ta'wil atau tafsir. Di dalam al-Qur'an ada ayat yang terang-terang menyuruh manusia supaya memohonkan kepada Tuhan agar ditambahi kiranya ilmu.

"Katakanlah : Ya Tuhanku, tambahilah untukku ilmu."

Sedang ilmu itu sangatlah luasnya, sehingga berapapun yang dimohonkan manusia, tidaklah cukup umurnya buat menampung ilmu yang sangat banyak itu. Orang-orang yang arif bijaksana, bila merenung al-Qur'an, bukan saja akan mendapat ilmu agama, bahkan ilmu yang umumpun.
Imam Ghazali bukan saja mengemukakan dalil sebagai yang kita simpulkan di atas itu, bahkan mengatakan pula bahwa menafsirkan al-Qur'an hanya semata-mata berpedoman pada Sunnah tidaklah mencukupi, karena hadits yang ma'tsur dari Nabi s.a.w dengan sanad­nya yang shahih, yang mengenai tafsir al-Qur'an sangatlah sedikit. Dan tafsir dari sahabat-sahabat kebanyakan pula hanya dari pendapat mereka. Maka oleh sebab itu kata Imarn Ghazali sebaiknyalah kita ikuti jejak sahabat-sahabat Rasulullah itu, yaitu membanting tulang dan memikirkan al-Qur'an dengan mendalam pula, sehingga kitapun dapat mengeluarkan ra'yi, sebagai sahabat-sahabat itu pula. Demikian juga terhadap tabi'in.

Kata Imam Ghazali lagi, bila direnungkan pendapat-pendapat penafsiran sahabat-sahabat dan tabi'in, nyata sekali dalam banyak hal mereka tidak sama penafsirannya. Itulah bukti bahwa mereka telah memakai ra'yi sendiri di dalam menafsirkan al-Qur'an.

Imam Ghazali pun mengakui bahwa menafsirkan al-Qur'an tidak boleh hanya semata-mata dengan akal, demikianpun tidak boleh hanya semata-mata berpegang kepada naqal. Artinya jangan hanya semata mata berpegang kepada pendapat sendiri, dan hanya semata-mata menaqal atau meniru pendapat orang-orang yang telah terdahulu. Di dalam hal yang mengenai ibadat tentu kita wajib berpegang kepada Sunnah Rasul. Tetapi kita tahu bahwa isi al-Qur'an yang 6.236 ayat bukanlah semata-mata peraturan. Menyuruh merenungkan alam, jauh lebih banyak ayatnya daripada menguraikan dari hal ibadat. Sedang Salaf, sejak sahabat-sahabat Rasulullah sampai kepada tabi'in dahulu kala itu, dengan segala kerendahan hati, harus kita katakan dengan tegas bahwa pengetahuan beliau-beliau tentang ilmu alam belumlah semaju jaman sekarang ini.

Bahkan dalam tafsir-tafsir selanjutnya penafsiran ayat-ayat demikian masih saja mencerminkan tingkat hasil pengetahuan manusia jaman itu belaka. Masih kita dapati dalam tafsir­tafsir jaman lampau itu bahwa bumilah pusat alam, dan mataharilah yang mengelilingi bumi. Ketika menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan pengembaran Zulkarnain ke Timur dan ke Barat masih saja di dapati tafsir berkata bahwa matahari itu benar-benar terbenam ke dalam lumpur di ujung dunia.

Demikian juga berkenaan dengan kisah-kisah yang terdapat di dalam al-Qur'an. Masih didapati penafsiran bahwa kepala kaum `Ad itu sebesar kubah sebuah masjid clan tinggi mereka 30 hasta mereka sendiri, sehinggga bila mendengar berita itu sudah dapat dipastikan bahwa panjang tangan mereka tidak seimbang dengan panjang badan mereka, padahal di ayat yang lain, yaitu di dalam surat at-Tin, Tuhan bersabda bahwa Allah menjadikan manusia adalah dalam sebaik-baik rupa dan bentuk (ayat 4). Lantaran itu maka dengan sendirinya pendapat Imam Zamakhsyari dan Imam Ghazali inilah yang akan dapat diterima oleh kita yang datang di belakang ini. Sebab ibadat kepada Allah clan akidah tentang Tauhid selamanya tidak akan berubah.

Tetapi pengetahuan tentang alam selalu berkembang, dan luarbiasa perkembangannya. Padahal al-Qur'an mengatasi seluruh jaman yang dihadapinya. Oleh sebab itu maka al­Qur'an akan tetap ditafsirkan, sesuai dengan ilmu pengetahuan, melalui ruang dan waktu, tidak berhenti-henti. Sebab Islam adalah melengkapi dan mengatasi segala agama dan Muhammad s.a.w adalah Nabi untuk akhir jaman, dan sesudah dia tidak ada Nabi lagi.

Imam al-Qisthallani, pengarang kitab Farhul Bari yaitu syarah hadits Bukhari yang terkenal telah menyatakan pula pahamnya di dalam kitab tersebut, bahwasanya seorang alim Tawaz (boleh saja) mengeluarkan pendapatnya, sebagai hasil pemahamannya terhadap al-Qur' an, meskipun hasil pendapatnya itu tidak sama dengan hasil pendapat ahli-ahli tafsir yang terdahulu. Dan ulama-ula ma yang terkemuka di dalam soal-soal tafsir telah pula menentukan dua syarat di dalam seseorang penafsir mengeluarkan pendapat yang baru dalam menafsirkan al-Qur'an. Pertama hendaklah sesuai pokok-pokok alasan yang dikeluarkannya dengan bahasa Arab, bahasa al-Qur' an itu. Kedua hendaklah paham baru itu jangan menyalahi pokok-pokok ajaran agama yang pasti (Ushuluddin al Qath' iyah).
Baik golongan Ibnu Taimiyah, ataupun golongan Imam Ghazali atau jalan lapang yang diber ikan oleh al-Qisthallani, sama pendapat mereka bahwa penafsiran al-Qur'an menurut hawa nafsu sendiri, atau mengambil satu-satu ayat untuk menguatkan satu pendirian yang telah ditentukan terlebih dahulu adalah terlarang (haram), penafsiran seperti ini adalah tafsiran yang curang.

Yang kedua ialah segera saja, dengan tidak menyelidiki terlebih dahulu, menafsirkan al-Qur'an, karena memaharnkan zahir maksud ayat, dengan tidak terlebih dahulu memperhatikan pendapat dan penafsiran orang yang dahulu. Dan tidak mernperhatikan 'uruf (kebiasaan) yang telah berlaku terhadap pemakaian tiap-tiap kata (lafadz) dalam al-Qur'an itu. Dan tidak mengetahui uslub (gaya) bahasa dan jalan susunan. Hal yang semacam inilah yang dinamai berani-berani saja memakai pendapat sendiri (ra'yi) dengan tidak memakai dasar. Inilah yang dinamai Tahajjum atau ceroboh dan bekerja dengan serampangan.

Pendeknya, betapapun keahlian kita memahamkan arti dari tiap­tiap kalimat al-Qur'an, kalau kita hendak jujur beragama, tidak dapat tidak, kita mesti memperhatikan bagaimana pendapat ulama-ulama yang terdahulu, terutama Sunnah Rasul, pendapat sahabat-sahabat Rasulullah dan tabi'in dan ulama ikutan kita. Itulah yang dinamai riwayah, terutama berkenaan dengan ayat-ayat yang mengenai hukum-hukum. Dan dalam hal yang lain tadi, akal dan luasnya penyelidikan kita dalam berbagai ilmu, adalah amat penting dan perlu dalam menafsirkan al-Qur'an. Dengan syarat asal saja akal itu jangan sampai menyimpang daripada Nur yang telah diterangkan oleh syariat !

Maka supaya menafsir dengan akal dapat diterima hendaklah kita isi empat syarat :
1. Mengetahui bahasa Arab, dengan pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan, supaya dapat mencapai makna dengan sejelas-jelasnya.
2. Jangan menyalahi dasar yang diterima dari Nabi Muhammad s.a.w
3. Jangan berkeras urat-leher mempertahankan satu mazhab pendirian lalu dibelok-belokkan maksud ayat al-Qur'an agar sesuai dengan mazhab yang dipertahankan itu.
4. Niscaya ahli pula dalam bahasa tempat dia ditafsirkan.


Back to main page