TAFSIR AL-AZHAR SUROTUL FATIHAH
 
                                                   بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم  

                                         Di Antara Jahar Dan Siir

Selain daxi khilafiyah tentang Bismillah (Basrnallah) apakah dia terrnasuK ayat di pangkal suatu surat atau hanya dalam surat an­NaMl itu saja, timbul pula pertikaian pendapat tentang; apakah ketika membaca al-Fatihah dan Surat yang berikutnya pada sembahyang ­sembahyang yang dijaharkan , Imam mesti menjaharkan (membaca dengan keras) Bismillah juga ? Ataukah Bismillah dibaca dengan Siir ? Atau yang dijaharkan cuma al-Fatihah dan surat yang berikutnya saja ?

Golongan yang berpendapat bahwa hendaknya Basmallah itu dijaharkan dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w ialah : Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair. Dan yang menjaharkan dari kalangan Tabi'in ialah Said bin Jubair, Abu Qilabah, az-Zuhri, Ikrimah, Athaa', Thaawuus, Mujahid, Ali bin Husain, Salim bin Abdullah, Muhammad bin Ka'ab al Qurazhi, Ibnu Siirin, Ibnul Munkadir, Nafi' Maula Ibnu Umar, Zaid bin Aslam, Makhuul, Umar bin Abdil Aziz, Amir bin Dinar dan Muslim bin Khalid. Dan itu pula pilihan (Mazhab) Imam Syafi'i. Dan begitu pula salah satu pendapat dari Ibnu Wahab, salah seorang pemangku Mazhab Malik. Diriwayatkan orang pula, bahwa Tbnu Mubarak dan Abu Tsaur berpendapat menjaharkan juga.

Yang berpendapat bahwa Bismillahi itu di Siir-kan saja, (tidak dlbaca keras) oleh Imam, dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w ialah : Abu Bakar, Umar, Usman, Ali bin Abu T'halib, Ibnu Mas'ud, Ammaar bin Yasir, Ibnu Maghal dan lain-lain. Dan dari tabi'in, di antaranya ialah Hasan al-Bishri, asy-Syabi, Ibrahim an-Nakhali, Qatadah, al­A'masy dan as-Tsauri. Puluhan Mazhab dari Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal pun condong kepada membacanya dengan Siir.

Alasan dari yang memilih (Mazhab) jahar ialah sebuah Hadits yang dirawikan oleh jamaah daripada sahabat-sahabat,di antaranya Abu Hurairah dan isteri Rasulullah s.a.w. Ummu Salamah. Bahwasanya Rasulullah s.a.w menjaharkan membaca Bismillahir­Rahmanir-Rahim.

Kemudian itu ada pula satu riwayat dari Na'im bin Abdullah al­Mujmar. Dia berkata.

"Aku telah sembahyang  di belakang Abu Hurairah. Aku dengar dia membaca Bismillahir-Rohmanir-Rohim, setelah itu dibacanya pula Ummul Qur'an. Setelah selesai sembahyang diapun mengucapkan salam lalu berkata kepada kami , Sesungguhnya akulah yang lebih mirip sembahyangnya dengan sembahyang Rosululloh s. a. w ".

Hadits ini dirawikan oleh an-Nasai dan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya. Lalu disambungkannya. "Adapun jahar Bismillahir­Rohmanir-Rohim itu maka sesunguhnya telah tsabit dan sah dari Nabi s.a.w ."

Hadits dirawikan pula oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim atas syarat Bukhari dan Muslim. Dan berkata al-Baihaqi : "Shahih isnadnya". Dan meriwayatkan pula ad-Daruquthni dengan sanadnya, daripada Abu Hurairah, daripada Nabi s.a.w :

10. "Adalah beliau apabila membaca sedang dia mengimami manusia, dibukanya dengan Bismillahir-Rahmanir-Rahim."

Ad-Daruquthni mengatakan isnad hadits ini semuanya boleh dipercaya. Dan hadits semacam inipun ada diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi senantiasa memulai sembahyangnya dengan menjaharkan Bismillah. Tentang ini ada riwayat dari ad-Daruquthni, dan ada juga riwayat dari al-Hakim.

Tetapi apabila kita selidiki agak lebih mendalam, sebagai yang dilakukan oleh Imam asy-Syaukani di dalam Nailul Authaar, tiap-tiap hadits yang jadi pegangan buat menjahar itu ada saja Naqd (kritik) terhadap perawinya, sehingga yang betul-betul bersih dari kritik tidak ada. Sampai Tirmidzi pernah mengatakan. "Isnadnya tidaklah sampai demikian tinggi nilainya."
Tetapi Nailul Authaar pun ada mengemukakan sebuah hadits lagi:

11. "Ditanyakan orang kepada Anas, Bagaimana bacaan Nabi s. a. w . Maka diapun menjawab : Bacaan Nabi adalah panjang. Kemudian beliau (Abu Hurairah) baca Bismillahir-Rahman-Rahim, dipanjangkannya pada Bismillah dan dipanjangkannya pula pada Ar-Rahman, dan Ar-Rahim. " (Dirawikan oleh Bukhari)

Pendapat yang menjahar tidak mungkin Anas berkata sejelas itu kalau tidak didengarnya. Adapun yan menafikan jahar dan yang memandang lebih baik siir saja , mereka berpegang pula
kepada hadits :

12. "Daripada Abdullah bin Mughaffal : Aku dengar ayahku berkata padalzal aku membaca Bismillahir-RahmanirRahim. Kata ayahku : Hai anakku ! Sekali-kali jangan engkau mengada-ada. Dan kata Ibnu Abdullah tentang ayahnya itu : Tidak ada aku melihat sahabat-sahabat Rasulullah s. a. w. dan bersama Abu Bakar, bersama Umar dan bersama Usman, maka tidaklah pernah aku mendengar seorangpun di antara mereka membaca. Sebab itu janganlah engkau baca akan dia. Kalau engkau membaca, maka baca sajalah Alhamdulillahi Rabbil `Alamin. "

(Dirawikan oleh berlima , kecuali Abu Daud) Hadits ini dihasankan oleh Tirmidzi.

Hadits inipun dikaji orang dengan seksama. Al-Jariri merawikannya seorang diri. Sedang al-Jariri ini jadi perbicangan orang pula. Sebab setelah dia tua, pikirannya kacau, sebab itu hadits yang dirawikannya diragukan. Kemudian Abdullah bin Mughaffal, yang jadi sumber pertama hadits ini. Setengah ahli hadits mengatakan bahwa dia itu majhul (seorang yang tidak dikenal).

Kemudian terdapat pula sebuah hadits dari riwayat Anas pula :

13. "Daripada Anas bin Malik, berkata dia : Aku telah sembahyang bersama Rasulullah s. a. w., Abu Bakar, Umar dan Usman, maka tidaklah saya mendengar seorangpun daripada mereka yang membaca Bimillahir­Rahmanir Rahim. "                         

(Dirawikan oleh Ahmad dan Muslim)

Dan beberapa hadits lagi yang sama artinya, semuanya dari Anas. Dan tambahan perkataan dari riwayat Tbnu Khuzaimah : "Mereka semuanya membaca dengan Siir"

Jelaslah sekarang bahwa jika ada di kalangan sahabat-sahabat Nabi sendiri yang menetapkan Jahar, memang ada hadits tempat mereka berpegang, yaitu riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat sendiri. Dan jika ada pula yang mengatakan bahwa rnereka tidak pernah mendengar Nabi menjaharkan Bismillah. Artinya keduanya sama-sama ada pegangan.

Jelas pula terdapat dua riwayat yang berlawanan, datang dari satu orang, yaitu Anas bin Malik, yaitu sahabat Rasulullah dan pelayan beliau 10 tahun lamanya.

Diriwayatkan yang pertama yang kita salinkan di atas , nyata sekali Anas mengatakan bahwa Nabi membaca Bismillahir-Rahmanir-Rahim, dengan panjang : Bismillahnya panjang. Ar-Rahmannya panjang dan Ar-Rahimnya panjang pula. Timbul pertanyaan sekarang, dari mana beliau tahu bahwa Rasulullah s.a.w. membaca masing-masing kalimat itu dengan panjang (Madd), kalau tidak didengarnya sendiri ?

Kalau kita kembali saja kepada Qaidah Ushul fikih dan Ilmu hadits tentu kita dapat menyimpulkan :

"Yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang menidakkan. "

Artinya, riwayat Anas yang mengatakan Rasulullah s.a.w. baca Bismillah panjang, Ar-Rahman panjang dan Ar-Rahim panjang itulah yang didahulukan. Oleh sebab itu Bismillahi-Rahmanir-Rahim kita Jaharkan dan Maddkan membacanya. Ini namanya menetapkan hukum ada Jahar.

Tetapi al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana yang disalinkan oleh as-Syaukani di dalam Nailul Authaar telah mendapat jalan keluar dari kesulitan ini, katanya:

"Hal ini bukanlah semata-mata karena mendahulukan hadits yang menetapkan hukum (jahar) daripada yang menafsirkan (siir). Karena amat jauh dari penerimaan akal kita bahwa Anas yang mendampingi Abu Bakar, Umar dan Usman dua puluh lima tahun dan mendampingi Nabi s.a.w sebagai sahabat sepuluh tahun lamanya, tidak sekali juga akan mendengar mereka menjahar agak sekali sembahyangpun. Tetapi yang terang ialah bahwa Anas sendiri mengakui bahwa dia tidak ingat lagi (sudah lupa) hukum itu. Karena sudah lama masanya tidak dia ingat lagi dengan pasti, apakah mereka (Nabi s.a.w. dan ketiga sahabat itu) memulai dengan Alhamdulillah secara jahar atau dengan Bismillah. Lantaran itu jelaslah diambil hadits yang menetapkan jahar.

 "Sekian penjelaskan al-Hafizh Ibnu Hajar.

Keterangan Ibnu Hajar diiperkuat lagi dengan as-Syaukani dalam Nailul Authaar, katanya :

"Apa yang dikatakan al-Hafizh Ibnu Hajar dikuatkan oleh sebuah hadits yang menjelaskan bahwa memang Anas tidak ingat lagi soal itu. Yaitu hadits yang dirawikan oleh ad-Dar uquthi dari Abu Salamah, demikian bunyinya"
"Aku telah tanyakan kepada Anas bin Malik, apakah ada Rasulullah s. a. w membuka sembahyang dengan Alhamdulillah, atau dengan Bismillah RahmanirRahim ?Beliau menjawab : Engkau telah menanyakan kepadaku suatu soal yang aku tidak ingat lagi, dan belum pernah orang lain menanyakan soal itu kepadaku sebelum engkau. Lalu saya tanyakan pula. Apakah ada Rasululluh s. a. w sembahyang dengan memakai sepasang terompah ? Beliau jawab : Memang ada !"

Dengan demikian selesailah soal dua Hadits Anas, bukan bertentangan, melainkan menambah cenderung kita kepada Jahar ! Setelah kita selidiki dengan seksama, semua Hadits yang membicarakan di antara jahardan siirBi,smillahir-Rahmanir-Rahim itu, jelas bahwa pedoman dari kata-kata atau sabda s.a.w sendiri (Aqwalun Nabi) tidak ada, yang memerintahkan menjahar atau menyuruh mensiirkan, dan sebaliknya.

Yang jadi pedoman ialah riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat beliau. Baik yang menguatkan menjahar atau yang memilih siir saja. Dan setelah diselidiki pula semua sanad hadits­hadits itu, ada saja pembicaraan orang atasnya, baik hadits yang mengatakan jahar atau yang mengatakan siir.

Malahan terdapat dua riwayat berlawanan di antara jahar dan siir dari satu orang. Sebab itulah masalah ini termasuk masalah khilafiyah masalah yang dipertikaikan orang. Atau termasuk masalah ijtihadiyah, artinya yang terserah kepada pertunbangan ijtihad masing-masing ahlinya.
Dalam hal ini terpakailah Qa'idah Ilmu Ushul yang terkenal.

"Ijtihad tidaklah dapat disalahkan dengan ijtihad pula. "

Sampai Ibnu Qayyim di dalam Zaadil-Maad mengambil satu jalan tengah. Dia berkata :

 "Sesungguhnya Nabi s.a.w adalah menjaharkan Bismillahir-Rahmanir-Rahim sekali-kali dan membacanya dengan siir pada kebanyakan kali. Dan tidak syak lagi, tentu tidaklah beliau selalu menjaharkan tiap hari dan tiap malam lima kali selama-lamanya, baik ketika dia sedang berada dalam kota ataupun sedang dalam perjalanan, akan tersembunyi saja yang demikian itu bagi Khalifah-khalifahnya yang bijak dan bagi Jumhur sahabat-sahabatnya dan ahli sejamannya yang mulia itu. Ini adalah hal yang sangat mustahil, sehingga orang perlu menggapai-gapai ke sana ke mari mencari sandaran dengan kata­kata yang Mujmal dan hadits-hadits yang lemah. Meskipun hadits ­hadits yang diambil itu ada yang shahih, namun dia tidaklah sharih, dan meskipun ada yang sharih , tidak pula dia shahih:"                                          Sekian kata Ibnu Qayyim.

Berkata al-Imam as-Syaukani selanjutnya di dalam Nailul­Authaar :

"Dalam soal Ikhtilaf (perkara jahar dan siir Bismillah) ini, paling banyak hanyalah khilafiyah dalam soal Mustahab atau Masnuun. Maka tidaklah soal menjaharkan atau mensiirkan bacaan ini merupakan sembahyang atau membatalkannya. Ijma' Ulama bahwa soal siir dan jahar itu tidaklah membatalkan sembahyang. Oleh karena itu janganlah engkau terpesona pula mengikuti setengah Ulama yang memperbesar-besar soal ini dan mengobar-ngobarkan khilafiyahnya, sehinggga setengah mereka itu sampai memandangnya sebagai satu soal yang mengenai Itikad."                             Demikian kata as-Syaukani.

Tersebut pula dalam kitab Nailul Authaar, menurut berita dari Ibnu Abi Syaibah, bahwa an-Nasai' pernah berkata. "Menjaharkan Bismillahir-Rahmanir-Rahim itu adalah bid'ah."
Ibrahim bebas dengan pendapatnya, tetapi orang lain yang turut pula mencap bid'ah orang yang menjaharkan Bismillah, berkata demikian hanyalah karena taklidnya belaka kepada Ibrahim.
Orang ini bebas buat tidak menjaharkan Bismillah, tetapi menuduh orang lain, termasuk sahabat-sahabat perawi hadits sebagai Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah jadi tukang bid'ah, adalah suatu perbuatan yang jauh daripada sopan santun agama.

Agak panjang kita uraikan jahar atau siir Bismillah ini dalam "Tafsir" ini , gunanya ialah buat menunjukkan bahwa dalam ranting-ranting (furu'-furu') syari'at banyak terdapat hal semacam ini.

Di dalam gerakan hendak kembali kepada al-Qur'an dan hadits pasti terdapat soal-soal, yang meskipun kita telah kembali ke dalam al-Qur'an dan hadits itu , namun kita tidak juga dapat mengambil keputusan pasti, kecuali denggan ijtihad atau dengan taqlid. Bagi yang sanggup dan telah cukup syarat, niscaya dia berijtihad dan bagi yang belum ahli niscaya dia taqlid saja kepada yang pandai, walaupun dia bersorak-sorak menyatakan dia tidak taqlid.

Di negara kita selama ini telah timbul soal-soal khilafiyah atau ijtihadiyah semacam itu. Seumpamanya dijaharkanlah Bismillah atau disiirkan, dibaca al-Fatihah di belakang Imam yang menjahar atau tidak dibaca. Untuk mengambil satu di antara pendirian, tidak lain adalah ijtihad. Sebab itu, meskipun setengah orang mendakwakan bahwa dia tidak lagi berpegang dengan satu Mazhab sendiri, dengan pengikut sendiri pula.

Karena tidak dapat menundukkan soal menurut keadaan yang sebenarnya dan tidak dapat pula memberikan penjelasan kepada pengikut, timbullah perselisihan dan pertentangan batin yang tidak dikehendaki. Ada di beberapa tempat satu "Muballiqh" mendabik dada mengatakan bahwa yang benar adalah pegangannya sendiri, bahwa Bismillah mesti disiirkan, dan barangsiapa yang menjaharkan Bismillah adalah berbuat bid'ah. Atau ada "keputusan" dari satu golongan, yang benar adalah bahwa al-Fatihah di belakang Imam yang menjahar tidak boleh dibaca. Sebab menurut keterangan gurunya, menurut al-Qur'an dan hadits, bid'ah lah barangsiapa yang membaca al-Fatihah juga di belakang Imam yang menjahar. Dan sebagainya, dan sebagainya.

Dengan sebab demikian maka perkara khilafiyah atau ijtihadiyah yang begitu lapang pada mulanya, telah menjadi sempit dan rnembawa fitnah dan perpecahan, dan tidak lagi menurut ukuran yang sebenarnya sebagaimana yang tersebut di dalam kitab-kitab Ushul fikih, yaitu kebebasan ijtihad, dan ijtihad tidaklah Qathi (pasti), melainkan Zhanni (kecenderungan) paham. Dan tidak lagi hormat-menghormati paham, sebagaimana yang dikehendaki oleh agama.

Timbul mau menang sendiri, yang tidak dikehendaki agama. Apatah lagi setelah orang awam bersikeras mempertahankan suatu pendirian yang telah dipilihkan oleh guru-guru.


01   02   03   04   05   06           Back to Main Page          >>>>