ِTAFSIR AL-AZHAR SUROTUL FATIHAH
 
                                                                        بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم                     

Al-Fatihah Sebagai Rukun Sembahyang

oleh karena al-Fatihah satu Surat yang menjadi Rukun (tiang) sembahyang, baik sembahyang fardhu yang lima waktu, ataupun sekalian sembahyang yang sunnat dan nawafil, maka dalam hal ini tidaklah cukup kalau kita hanya sekedar menafsirkan arti al-Fatihah, melainkan kita perlengkap lagi dengan hukum atau ketentuan Syariat berkenaan dengan al-Fatihah.
Segala sembahyang tidak sah , kalau tidak membaca al-Fatihah. tersebut dalam hadits-hadits:
Dan hendaklah dibaca pada tiap- tiap rakaat , karena Hadits :

1. Daripada Ubadah bin as-Shamit, bahwasannya Nabi s. a. w berkata: "Tidaklah ada sembahyang (tidak sah sembahyang) bagi siapa yang tidak membaca Fatihatil Kitab. " (Dirawikan oleh al-Jamaah)

2. Dan pada lafadz yang lain : " Tidaklah memadai sembahyang bagi siapa yang tidak mernbaca Fatihatil-Kitab."  (Dirawikan oleh ad­Daruquthni, dan beliau berkata bahwa isnad Hadits ini sahih).

3. "Tidaklah diterima sembahyang kalau tidak dibaca padanya Ummul­Quran. "
 (Dirawikan oleh Imam Ahmad)

Dengan hadits-hadits ini dan beberapa Hadits lain sama bunyinya, sependapatlah sebagian besar Ulama Fiqh bahwa tidak sah sembahyang selain daripada membaca al-Fatihah, walaupun Surat yang mana yang kita baca. Demikianlah Mazhab Imam Malik, Imam Syafi'i dan jumhur Ulama, sejak dari sahabat- sahabat Rasulullah, sampai kepada tabi'in dan yang sesudahnya. Oleh sebab itu baik Imam atau Makmum, wajiblah semuanya membaca al-Fatihah di dalam sembahyang.

"Dari Abu Qatadah, bahwasanya Nabi s. a. w adalah beliau tiap-tiap raka'at membaca Fatihatil- kitab." (Dirawikan oleh Bukhari)

Selain dari itu sunnah pula sesudah membaca al-Fatihah itu diiringkan pula dengan Surat-surat yang mudah dibaca dan dihapal oleh yang bersangkutan ; karena ada Hadits :

5. "Dia menyuruh kita supaya membaca al-Fatihah dan mana-mana yang- mudah. "
(dirawikan oleh Abu Daud daripada Abu Said al Khudri).

Berkata Ibnu Sayidin Nas : "Isnad Hadits ini shahih dan rijalnya semua dapat dipercaya."
Mengiringi al-Fatihah dengan surat-surat yang mudah itu ialah pada sembahyang Subuh dan dua rakaat permulaan dari sembahyang yang lain dan pada sembahyang Jum'at.
Kalau imam sedang membaca dengan jahar hendaklah makmum berdiam diri dan mendengarkan dengan baik. Yang boleh dibaca makmum sedang imam membaca hanyalah al-Fatihah saja, supaya bacaan imam jangan terganggu.

6. "Daripada Ubadah, berkata dia bahwa satu ketika Rosululloh s. a. w. Sembahyang Subuh, maka memberati kepadanya bacaan. Maka tatkala sembahyang telah selesai, berkatalah beliau : Saya perhatikan kamu membaca. Berkata Ubadah : Kami jawab : Ya Rosululloh, memang kami membaca. Walloh. Lalu berkata beliau : jangan lakukan itu, kecuali dengan Ummul Qur'an. Karena sesunggguhnya tidaklah sah sembahyang bagi barangsiapa yang tidak membacanya."

(Hadits dirawikan oleh Abu Daud dan Tirmidzi).
Dan sebuah Hadits lagi dari Ubadah juga; dengan lafadz lain:

7. Dari Ubadah bahwasanya Rosululloh s. a. w. pernah berkata: "sekali­ kali jangan seorangpun di antara kamu membaca sesuatu dari al-Qur'an, apabila aku menjahar, kecuali dengan Ummul Qur'an. "
(Dirawikan oleh Ad-Daruquthni)

Dan ada lagi beberapa Hadits yang lain yang bersamaan maknanya yaitu kalau imam menjahar, yang boleh dibaca oleh makmum di belakang imam yang menjahar itu hanyalah al-Fatihah saja, tetapi tidak boleh dengan suara keras, supaya jangan terganggu imam yang sedang membacanya.

Sungguhpun demikian ada juga perselisihan ijtihad di antara Ulama-ulama fikih tentang membaca di belakang iman yang sedang menjahar itu. Kata setengah ahli ijtihad, kalau imam membaca jahar, hendaklah makmum berdiam diri mendengarkan, sehingga al-Fatihahpun cukuplah bacaan imam itu saja didengarkan. Mereka berpegang kepada sebuah hadits

8. "Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rosululloh s.a.w. berkata: Sesungguhnya Imam itu lain tidak telah dijadikan menjadi ikutan kamu. Maka apabila dia telah takbir, hendaklah kamu takbir pula dan apabila dia membaca, maka hendaklah kamu berdiam diri. "
(Dirawikan oleh yang berlima, kecuali Tirmidzi. Dan berkata Muslim: "Hadits ini Shahih")

Dan mereka kuatkan pula dengan ayat 204 dari pada surat 7 (Surat al-A'raf)

"Dan apabila dibaca orang al-Qur'an, maka dengarkanlah olehmu akan dia dan berdiam dirilah supaya kamu diberi rahmat. " (al-A'raf : 204)

Maka buah ijtihad dari golongan yang kedua ini, meskipun dihormati juga golongan yang pertama, tetapi tidaklah dapat menggoyahkan pendirian mereka bahwa walaupun Imam membaca jahar namun makmum masih wajib membaca al-Fatihah di belakang Imam. Sebab kata mereka baik hadits yang dirawikan Abu Hurairah tersebut, ataupun ayat dari akhir surat al A'raf itu ialah perintah yang aam, sedang hadits Ubadah dan Haditst-hadits yang lain itu adalah khash. Maka menurut ilmu Ushul dalam hal yang seperti ini ada undang-undangnya, yaitu:

"Membinakan yang aam atas yang khas adalah wajib"

Jadi kalau kita nyatakan secara lebih mudah dipahami ialah : Isi ayat surat al-A'raf ialah memerintahkan kita mendengar dan berdiam diri ketika Al-Qur'an dibaca orang. Itu aam atau umum di mana saja, kecuali ketika menjadi makmum di belakang imam yang menjahar. Maka pada waktu itu perintah mendengar dan berdiam diri itu tidak berlaku lagi, sebab Nabi telah mengatakan bahwa tidak sah sembahyang barangsiapa yang tidak membaca al-Fatihah. Maka kalau dia mendengarkan bacaan Imam saja dan berdiam diri, padahal dia disuruh membaca sendiri di saat itu tidaklah sah. sembahyangnya.

Hadits Abu Hurairahpun umum menyuruh takbir apabila Imam telah takbir dan berdiam diri, apabila Imam telah membaca. hiipun umum. Maka dikecualikanlah dia oleh hadits Ubadah tadi, yang menegaskan larangan Rasulullah membaca apa-apa juapun, kecuali al-Fatihah.
Dan datang pula sebuah Hadits Anas bin Malik, dirawikan oleh Tbnu Hibban, demikian bunyinya :

9. Berkata Rasulullah s. a. w. :

" Apakah kamu membaca di dalam sembahyang yang kamu di belakang Imam, padahal Imam sedang membaca ? Jangan berbuat begitu. Tetapi hendaknya membaca tiap seorang kamu akan Fatihatul Kitab di dalam dirinya. "                                       

(Artinya, baca dengan tidak keras-keras)

Oleh sebab itu maka golongan pertama tadi menjalankari kedua maksud ini, yaitu mereka menetapkan membaca al-Fatihah, di belakang Imam yang menjahar, tetapi tidakboleh keras, supaya jangan terganggu Imam yang sedang membaca. Dan apabila telah selesai membaca al-Fatihah, merekapun menjalankan maksud hadits, yaitu berdiam diri mendengarkan segala bacaan Imam yang lain.

Masalah ini adalah masalah ijtihadiyah, yang kalau ada orang yang berhenti sama sekali membaca a1-Fatihah karena berpegang pada Hadits Abu Hurairah dan ayat 104 surat al-A'raf tadi , pegangannya ialah semata-mata ijtihad hendaklah di hormati. Adapun penulis tafsir ini, kalau orang bertanya, manakah di antara kedua paham itu yang penulis merasa puas hati memegangnya, maka penulis menjawab :

" Aku memegang paham yang pertama , yaitu walaupun Imam menjaharkan bacaannya, namun sebagai makmum penulis tetap membaca al-Fatihah untuk diri sendiri. Karena payah penulis hendak mengenyampingkan Hadits yang terang tadi, yaitu tidak sah sembahyang barangsiapa yang tidak membaca al-Fatihah".

Adapun waktu membacanya itu, apakah seketika Imam berdiam diri sejenak, atau seketika dia membaca ? Maka Ulama-ulama dalam Mazhab Syafi'i, berpendapat boleh didengarkan Imam itu terlebih dahulu membaca a1-Fatihah dan dianjurkan supaya Imam berhenti sejenak mernberi kesempatan kepada makmum supaya mereka membaca al-Fatihah pula. Tetapi kalau Imam itu tidak berhenti sejenak, melainkan terus saja membaca ayat atau surat-surat yang mudah sehabis membaca al-Fatihah, maka sehabis Imam itu membaca al-Fatihah, terus pulalah si makmum membaca al-Fatihah sedang Imam itu membaca surat. Dan sehabis membaca al-Fatihah itu hendaklah si makmum berdiam diri mendengarkan apa yang dibaca Imam sampai selesai.
 


01   02   03   04   05   06     Back to Main Page           >>>>